Kabar Utama
Jangan Kasih Ruang kepada Pedofil
Perkara kekerasan terhadap anak belakangan menjadi tren yang mengkhawatirkan.
JAKARTA — Pembebasan mantan narapidana pencabulan anak, Saipul Jamil, yang disambut meriah dan disiarkan sejumlah saluran televisi swasta telah menuai kontroversi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun ikut angkat suara dengan melarang stasiun televisi untuk menayangkan pembebasannya yang terkesan dirayakan.
"Menindaklanjuti respons negatif publik terkait pembebasan atas Saipul Jamil dan penayangan keterlibatan yang bersangkutan di beberapa lembaga penyiaran televisi, KPI pusat meminta kepada seluruh lembaga penyiaran untuk tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi terhadap peristiwa yang bersangkutan," ujar Ketua KPI pusat Agung Suprio dalam surat yang ditujukan kepada 18 lembaga penyiaran pada Senin (6/9).
Agung menekankan, KPI berharap lembaga penyiaran dapat memahami sensitivitas dan etika kepatutan publik terhadap kasus yang telah menimpa Saipul Jamil dan tidak berupaya untuk membuka dan menumbuhkan kembali trauma korban.
"Agar tidak terulang di kemudian hari, kami berharap muatan terkait hal-hal seperti, penyimpangan seksual, prostitusi, narkoba, dan tindakan melanggar hukum lainnya yang dialami oleh artis atau figur publik dapat disampaikan secara berhati-hati dan diorientasikan kepada edukasi publik. Agar hal serupa tidak terulang serta sanksi hukum yang telah dijalani tidak dipersepsikan sebagai risiko biasa," kata Agung.
Di antara saluran televisi yang diberi peringatan adalah TVRI, ANTV, Kompas TV, MNC TV, iNews TV, Trans7, GTV, Indosiar, TV One, Metro TV, RTV, NET, RCTI, SCTV, Trans TV, JPM TV, MY TV, dan O Channel.
Saipul Jamil, seorang penyanyi dangdut yang kemudian beralih menjadi figur televisi, divonis bersalah melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur oleh PN Jakarta Utara pada 14 Juni 2016. Ia diganjar hukuman penjara selama tiga tahun yang kemudian diperberat menjadi lima tahun oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Upaya peninjauan kembalinya di Mahkamah Agung pada 2017 juga kandas.
Saipul Jamil kemudian mendekam di Lapas Cipinang, Jakarta Timur. Kala itu, Saipul Jamil juga terbukti menyuap panitera PN Jakarta Utara sebesar Rp 250 juta sehingga hukumannya ditambah tiga tahun penjara.
Menerima total remisi sebanyak 30 bulan, Saipul keluar penjara pada Kamis (2/9). Ia keluar disambut keluarga dan kuasa hukum dengan pengalungan bunga. Penyambutan itu disiarkan berbagai stasiun televisi yang kemudian memicu keberatan masyarakat.
Pernyataan sikap tegas juga datang dari sutradara yang juga CEO Visinema Group, Angga Sasongko. Angga dengan tegas menghentikan pembicaraan kesepakatan distribusi film Nussa dan Keluarga Cemara dengan saluran televisi terkait.
“Menyikapi hadirnya Saipul Jamil di televisi dengan cara yang tidak menghormati korban, kami memberhentikan semua pembicaraan kesepakatan distribusi film Nussa dan Keluarga Cemara dengan stasiun TV terkait karena tidak berbagi nilai yang sama dengan karya kami yang ramah anak,” cicit Angga dalam akun Twitter-nya.
“Pemberitahuan ini dimaksudkan untuk mendukung gerakan yang melawan dirayakannya pelaku kekerasan seksual pada anak di media-media serta menjadi kesadaran bersama pentingnya media-media yang menghargai anak-anak kita,” cicitnya lagi.
Ia menyatakan, sikap ini bukan hanya berlaku pada satu stasiun televisi nasional itu, melainkan juga untuk semua stasiun televisi jika ikut melakukan hal serupa.
Menyikapi hadirnya Saiful Jamil di televisi dengan cara yang tidak menghormati korban, maka kami memberhentikan semua pembicaraan kesepakatan distribusi film Nussa & Keluarga Cemara dg stasiun TV terkait karena tidak berbagi nilai yang sama dengan karya kami yang ramah anak. — Nonton BioskopOnline.Com (@anggasasongko) September 5, 2021
Kritik keras juga datang dari pelopor jurnalistik infotainment Indonesia, Ilham Bintang. Ia melihat glorifikasi dalam penyambutan bebasnya Saipul Jamil. “Nah, Saipul Jamil, saya sudah kontak semua production house (PH) dan beberapa televisi, sebagian besar tidak akan menayangkan (lagi),” kata Ilham Bintang saat dihubungi Republika, Senin (6/9).
Keputusan semua PH dan beberapa televisi itu disebabkan mereka sependapat bahwa Saipul Jamil mantan narapidana kasus yang melanggar perlindungan anak-anak sehingga teknik pemberitaan pun menuntut keahlian. “Jangan sampai jadi bumerang. Kita mau beritakan fakta peristiwanya, tapi impresi yang muncul seolah-olah pers glorifikasi. Jadi, konteksnya glorifikasi,” ujar dia lagi.
Lalu, apakah artis yang pernah melanggar hukum punya hak untuk muncul di publik? Ilham menyatakan, boleh saja. Jika yang bersangkutan ingin membuat karya lagi pun boleh saja. Namun, menurut Ilham, penyambutan dengan dikalungi bunga dan dijemput mobil mewah hingga diliput dan melambaikan tangan ke kamera jelas glorifikasi.
Media harus taat pada kode etik dan perundang-undangan yang berlaku. Media juga harus punya kepekaan terhadap nilai-nilai di masyarakat. “Jangan sampai itu dianggap mempahlawankan seseorang yang melakukan pedofilia, yang telah merusak kenyamanan tatanan sosial kita. Glorifikasi sampai dia dikalungkan bunga itu jelas salah,” kata dia.
Ramainya hal ini diperbincangkan membuat stasiun televisi nasional Trans TV menyatakan permintaan maafa. Pihak Trans TV akan menerima kritik dan saran serta hal ini akan menjadi perhatian khusus oleh mereka.
“Kami menerima kritik dan masukan terkait program ‘Kopi Viral’ yang tayang di Trans TV pada Jumat, 3 September dengan bintang tamu Saipul Jamil,” tulis Trans TV dalam akun Instagram dan Twitter mereka, Senin (6/9).
“Kami mohon maaf atas tayangan tersebut. Hal ini menjadi perhatian khusus dan kami telah melakukan evaluasi menyeluruh untuk menjadi pembelajaran dan perbaikan ke depannya. Terima kasih atas perhatiannya.”
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana menekankan bahwa glorifikasi pembebasan Saipul Jamil bukanlah produk jurnalistik. Ia juga menilai tepat tindakan KPI menyurati sejumlah stasiun televisi. “Bagaimanapun, ini frekuensi milik publik, bagaimana publik dijamin mendapatkan acara-acara yang mencerdaskan, menginspirasi, dan lainnya,” kata Yadi.
Perkara kekerasan terhadap anak belakangan menjadi tren yang mengkhawatirkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat lonjakan tajam sejumlah modus kekerasan terhadap anak pada 2020 lalu.
Terkait kekerasan fisik, misalnya, KPAI mendapati aduan sebanyak 249 anak jadi korban. Jumlah ini melonjak dibandingkan 157 korban pada 2019. Sedangkan terkait kekerasan psikis, angka 32 anak pada 2019 meningkat berkali lipat menjadi 119 kasus pada 2020.
Angka korban kekerasan seksual lebih mengkhawatirkan. Terjadi lonjakan lebih dari 100 persen dari 190 kasus pada 2019 menjadi 419 kasus pada 2020. Sepanjang 2016 hingga 2019, KPAI tak mencatat ada satu pun kasus pedofilia atau sodomi. Sementara pada 2020 lalu, KPAI menemukan 20 kasus.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.