Haedar Nashir | Daan Yahya | Republika

Refleksi

Islamofobia di Negeri Muslim

Hadapi Islamofobia dan isu radikalisme-ekstremis Islam dengan orientasi aksi konstruktif.

Oleh PROF HAEDAR NASHIR

OLEH  PROF HAEDAR NASHIR

Sungguh berani dan ironis. Orang makin terbuka mengolok-olok Islam dan umat Islam di negeri Indonesia tercinta. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan tercatat sebagai negara muslim terbesar di dunia.

Mengapa sebagian orang begitu terbuka menunjukkan ketidaksukaan terhadap Islam dan umat Islam? Ketika sejatinya Islam dan mayoritas kaum Muslim Indonesia menampilkan diri dengan sikap moderat yang mengedepankan damai, toleran, menyatu, maju, dan meng-Indonesia!

Islam dikatakan agama impor, “penjajah”, dan “agama perang” dengan nada sinis dan apologi. Menghina Alquran dan mengganti sebutan Allah dengan “yang lain”.

Menghina Nabi Muhammad dengan berbagai julukan buruk, bahkan disebut “pendusta” dan “berteman jin”. Umat Islam juga dilecehkan dengan nama “kadrun” (kadal gurun) dan sebutan lain yang merendahkan.

Pelakunya oknum non-Muslim maupun Muslim. Di Pekanbaru yang menghina Alquran seorang Muslim. Ada ustaz menyebut Nabi Muhammad “dekil”, “kotor”, dan berlatarbelakang jelek. Kadang ingin memberi tekanan pada aspek ajaran tertentu dengan logikanya sendiri, tetapi hasilnya bias dan salah pandang tentang Islam.

 

 
Islam dikatakan agama impor, “penjajah”, dan “agama perang” dengan nada sinis dan apologi.
 
 

Kalau sebutan Islam dan umat Islam sebagai “radikal”, “ekstrem”, dan “teroris” sudah lama dan membuana. Mengukur kebenaran ajaran Islam dengan paradigma lain yang sejatinya memang tidak sejalan dan bertentangan dengan Islam.

Auranya semua bermuatan pada penyakit lama, Islamofobia, yaitu sinisme, prasangka buruk, salah paham, ketidaksukaan, dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam. 

Sama halnya, pelecehan dan narasi kebencian juga sering menimpa agama lain di negeri manapun. Menghina agama dan pemeluknya. Pelakunya mirip, yakni oknum pindah agama, dari pemeluk agama yang sama, maupun dari penganut beda agama.

Mengukur agama lain dengan agamanya sendiri. Inilah masa ketika orang sangat terbuka dan leluasa menista agama dan pemeluk agama.

Islamofobia masif

Islamofobia adalah pandangan dan sikap yang mengandung prasangka, ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan orang-orang Islam.  Istilah ini sudah lama berkembang awalnya di Barat dan dalam era mutakhir menguat menjadi pandangan global setelah tragedi serangan teroris 11 September 2001.

Pelaku teror itu beragama Islam. Sejak itu berkembang Islamofobia yang mendiskriminasi umat Islam bukan hanya dalam hal beragama, tetapi dalam aspek kehidupan lain di ruang publik.

Islamofobia merupakan pandangan anti Islam, baik yang dilakukan secara terbuka maupun tersembunyi. Apa yang terjadi di Denmark, Norwegia, Swedia, dan Prancis dalam kurun terakhir dengan kampanye terbuka anti Islam, Nabi Muhammad, imigran Muslim, dan atribut keislaman lainnya merupakan Islamofobia yang makin terbuka. 

Di ranah global maupun di Tanah Air Indonesia kecenderungan alergi dan anti Islam ini bercampur aduk dengan berbagai masalah yang tidak sederhana. Termasuk terkait dengan kontestasi politik aliran.

Apalagi di masyarakat Barat yang liberal-sekuler yang menempatkan agama di ranah privat dan domestik dengan kecenderungan anti-agama (agnotis) dan anti-tuhan (ateis) yang memiliki kebebasan untuk hidup di masyarakat dan dijamin kebebasannya.

 

 
Di ranah global maupun di Tanah Air Indonesia kecenderungan alergi dan anti Islam ini bercampur aduk dengan berbagai masalah yang tidak sederhana.
 
 

Kehadiran media sosial makin membuka ruang segala ekspresi dalam kehidupan beragama, berbangsa, bernegara, dan relasi antar manusia secara global, sehingga setiap orang atau kelompok seolah boleh bependapat dan berbuat apa saja. Sebagian orang bahkan sengaja berbuat kontroversi, termasuk menghina agama dan pemeluknya, demi mengejar viral untuk popularitas dan kepentingan diri secara menerabas.

Medsos menjadi sumber masalah baru dalam relasi antarmanusia yang sering menyebarkan sentimen-sentimen keagamaan, kesukuan, ras, dan golongan atau SARA.

Islamofobia makin menguat dan memperoleh tenpat dalam multikulturalisme yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan toleransi sebagai ideologi dunia yang saat ini dominan. Menurut Derya Iner (2018), kelompok Islamofobia ada yang secara fanatik anti Muslim dengan mengampanyekan antimasjid, antimakanan halal, dan segala atribut keislaman. Sebagian ada pula yang tidak terang-terangan dalam menunjukkan sikap tidak suka terhadap Islam dan orang-orang Islam. 

Islamofobia itu secara sosiologis masif, berimpitan dengan alam pikiran liberalisme-sekuler atau humanisme-sekuler. Di antara orang yang menunjukkan pandangan dan sikap anti atau tidak suka pada Islam tidak mengakui sebagai penganut Islamofobia.

Salman Rushdie dan para pendukungnya pada 2006 mengumandangkan manifesto berjudul "Together facing the new totalitarianism", yang menyebutkan Islamofobia adalah "konsep buruk yang mencampurkan kritik terhadap Islam sebagai agama dengan stigmatisasi terhadap para penganutnya.".

Kelompok anti Islam atau Islamofobia tidak selalu terbuka dan verbal, mereka terselebung bermantelkan paham multikulturalisme yang naif  seperti paham toleransi, pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia yang memandang Islam dan pemeluknya sebagai sumber masalah kekerasan, terorisme, dan intoleransi dengan tolok ukurnya sendiri.

Di Barat maupun di Indonesia, Islamofobia sering berimpitan dengan isu melawan “radikalisme Islam”, yang memandang Islam dan Muslim sebagai sumber atau terkait intoleransi, ekstremisme, terorisme, dan kekerasan. Mereka yang menganut paham anti terhadap radikalisme Islam sering terjebak pada Islamofobia. 

 

 
Di Barat maupun di Indonesia Islamofobia sering berimpitan dengan isu melawan “radikalisme Islam”.
 
 

Respons Islam

Penganut Islamofobia dalam teori maupun praktik tidak otomatis mereka yang beragama non Islam, agnotis atau alergi terhadap Islam bahkan ateis, boleh jadi dilakukan pula oleh mereka yang beragama Islam. Derya Iner (2018) melakukan kajian bahwa Islamofobia dapat ditemukan di dalam isu dan pandangan radikalisme sehingga menyebabkan penaksiran berlebihan terhadap terorisme Islam yang kemudian menempatkan Muslim secara umum di bawah kategori yang dicurigai.

Islamophobia dan Islamist radicalism merupakan ideologi yang bertahan dan berkembang dengan melakukan penyalahan (blaming), fitnah (defaming), dan pengecaman terhadap pihak lain (other). 

Islamofobia, baik yang terpisah maupun terkait melawan “Islam radikal” merupakan pandangan bias dan sarat prasangka buruk terhadap Islam mesti diakhiri, sebab tidak menguntungkan siapa pun. Pendukung multikulturalisme tidak diuntungkan oleh Islamofobia.

Sebab, arus utama Islam dan kaum Muslim di dunia lebih-lebih di Indonesia prodemokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi sehingga dapat saling mendukung dan bekerja sama. Kuncinya berdialog agar tidak saling memaksakan alam pikirannya secara absolut dan membuka garis toleransi ketika satu sama lain berbeda.

Umat Islam tentu dirugikan oleh Islamofobia karena menjadikan dirinya sebagai objek diskriminasi dan perlakuan buruk. Padahal Islam pada dasarnya agama damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal yang rahmatan lil-‘alamin.

Namun, Islam juga penting dihormati ketika memiliki dan menyebarluaskan nilai ajarannya yang khusus yang boleh jadi berbeda dengan alam pikiran multikulturan, liberalisme, dan humanisme sekuler. Cara berpakaian Muslimah yang khas, antiminuman keras, hukum pernikahan, dan praktik Islam lainnya yang sejatinya ajaran-ajaran Islam itu untuk menjaga atau memelihara kehidupan yang berkeadaban.

Namun, kaum Muslim dalam menghadapi Islamofobia tentu mesti dengan sikap cerdas dan pandangan luas sesuai dengan ajaran damai Islam. Sejauh yang mengangkut penghinaan, kebencian, penodaan, dan segala bentuk penistaan terhadap Islam, Nabi, dan segala aspek keislaman maka dapat dilakukan melalui jalur hukum yang semestinya.

Jauhi sikap main hakim sendiri yang bertentangan dengan hukum dan nilai luhur kemanusiaan semesta. Bersamaan dengan itu penting terus mempromosikan dan manampilkan pandangan serta praktik Islam yang mencerdaskan, mendamaikan, menyatukan, mencerahkan, dan menjadi rahmatan lil ‘alamin.

 

 
Kuncinya berdialog agar tidak saling memaksakan alam pikirannya secara absolut dan membuka garis toleransi ketika satu sama lain berbeda.
 
 

Menurut Keskin & Tuncer (2018), dalam konteks radikalisme-ekstremis, misalnya, narasi keagamaan yang menyimpang yang berakar dalam teologi Islam tidak dapat diabaikan sebagai faktor yang berkontribusi dalam terjadinya sebuah tindakan kekerasan.

Menganalisis masalah dari sudut pandang teologis menjadi sebuah keharusan untuk memahami pola pikir yang ada di balik skenario ini. Namun hal ini sama sekali tidak membuat hubungan langsung antara Islam dan penyebab ekstremisme kekerasan, tetapi justru menunjukkan bahwa interpretasi yang salah dari kitab suci Islam berkontribusi terhadap radikalisasi umat Islam, khususnya pada kaum pemuda Muslim.

Sejumlah kajian menunjukkan munculnya Islamofobia tidaklah berada dalam kondisi yang vakum. Bagi pihak yang memang pada dasarnya sudah tidak suka kepada Islam, maka Islamofobia akan terus tereproduksi.

Bersamaan dengan itu, baik terkait keagamaan maupun aspek kehidupan lainnya, Islamofobia akan terus mengalami politisasi oleh banyak kepentingan sebagaimana halnya fenomena radikalisme Islam.

Menurut Schmid (2013), pada beberapa tahun terakhir, istilah 'radikalisasi', layaknya istilah terorisme, menjadi sangat terpolitisasi, yaitu telah digunakan dalam permainan politik pelabelan (labeling) dan penyalahan (blaming). Termasuk pemakaian tolok ukur Barat dengan paham multikulturalisme yang liberal-sekuler.

Bagi kaum Muslimin sendiri penting untuk saksama dan waspada. Hadapi pandangan negatif tentang Islam seperti Islamofobia dan isu radikalisme-ekstremis Islam dengan orientasi muwajahah (aksi konstruktif) baik dalam ranah pemikiran maupun praktik berislam.

Penting terus menyuarakan dan mempraktikkan keteladanan Islam yang berkeadaban mulia dan rahmatan lil ‘alamin sebagaimana misi kerisalahan Nabi akhir zaman. Umat Islam melalui para mubaligh, ulama, dan tokohnya penting makin bijak dan saksama dalam menarasikan pesan-pesan Islam agar tidak menjurus atau membawa muatan-muatan keagamaan yang radikal-ekstrem, yang membenarkan tudingan pihak lain dalam bias radikalisme Islam dan Islamofobia.

Buktikan bahwa kaum Muslim, baik pribadi maupun kolektif, adalah uswah hasanah dalam segala aspek kehidupan untuk membangun peradaban mulia di muka bumi ini!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat