Opini
Menuju Sistem Pendidikan Mapan
Mampukah sistem pendidikan saat ini melahirkan generasi yang siap bersaing.
HARSONO, ASN pada Itjen ini Kemendikbudristek
Semangat kemerdekaan Indonesia kental terasa meski dirayakan dengan berbagai bentuk pembatasan aktivitas guna menghentikan pandemi Covid-19. Semangat ini diharapkan terus dirasakan pada tahun-tahun ke depan sehingga mengantar Indonesia menjadi maju.
Memperkirakan wajah Indonesia di masa depan, misalnya saat menapaki usia seabad, jelas bukan perkara mudah. Namun, dari sudut pandang pendidikan, seberapa besar perhatian pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi dapat memberikan indikasi.
Asumsi ini bukan tanpa alasan, peserta didik jenjang menengah dan tinggi yang saat ini berusia 15-20 tahun, kelak saat seabad Indonesia, pada kisaran usia 40-45 tahun.
Merujuk batasan Organisasi Kesehatan Dunia, usia produktif pada rentang 15-64 tahun, maka peserta didik saat ini akan mencapai puncak usia produktif. Pertanyaannya, mampukah sistem pendidikan saat ini melahirkan generasi yang siap bersaing?
Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Namun, setidaknya, posisi dunia pendidikan Indonesia saat ini dapat ditilik dari beberapa aspek, yaitu tata kelola pendidikan dikaitkan dengan sentralisasi pendidikan dan pembangunan karakter.
Secara sederhana, dalam otonomi daerah, pendidikan menjadi rawan kepentingan politik.
Sejak pemberlakuan otonomi daerah yang diatur UU 24/ 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pendidikan diserahkan kepada daerah.
Semua yang terkait pendidikan seperti tenaga pendidik dan kependidikan, pendanaan, dan sarana prasarana pada jenjang SD-SMP dikelola pemerintah kabupaten/kota dan jenjang SMA/SMK dikelola pemerintah provinsi.
Dalam konteks itu, muncul kecenderungan politisasi pendidikan. Sektor pendidikan dapat dikatakan memiliki ‘nilai jual’ tinggi dalam perspektif politik. Besarnya jumlah pendidik dan tenaga kependidikan serta peserta didik pemilih pemula adalah pemilih potensial pada pilkada.
Secara sederhana, dalam otonomi daerah, pendidikan menjadi rawan kepentingan politik. Masalah lainnya terkait tenaga pendidik, dengan status pegawai daerah yang diangkat dan digaji sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda). Kondisi ini cukup menyulitkan penataan guru secara nasional.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendikbudristek, sulit melakukan penataan karena setiap guru (pendidik) adalah pegawai daerah.
Kecenderungan politisasi pendidikan dan sulitnya menata guru secara nasional, cukup menggambarkan rumitnya tata kelola pendidikan saat ini. Ada tiga entitas pengelola pendidikan yang tidak memiliki hubungan hierarki. Proses pendidikan tak terpadu dan tak berkesinambungan.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendikbudristek, sulit melakukan penataan karena setiap guru (pendidik) adalah pegawai daerah.
Sentralisasi pendidikan
Memperhatikan kompleksitas pengelolaan pendidikan tersebut, sudah saatnya stakeholder pendidikan, mulai akademisi sampai pembuat kebijakan menyusun redesain tata kelola pendidikan terpadu, terintegrasi, dan terarah.
Terkait tata kelola, sudah saatnya urusan pendidikan kewenangan pengelolaannya dikembalikan pada pemerintah pusat dalam satu kementerian yang mengelola pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Urgensi sentralisasi pendidikan juga tecermin pada pentingnya memastikan pencapaian standar nasional pendidikan secara tepat dan merata di seluruh pelosok negeri.
Standar nasional pendidikan meliputi standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan pendidikan, serta penilaian pendidikan.
Pemerintah perlu memastikan semua standar terimplementasikan dengan baik di semua daerah. Potret anggaran pendidikan juga bisa mengindikasikan pentingnya sentralisasi pendidikan. Sejak otonomi daerah, anggaran pendidikan sebagian besar ditransfer ke daerah.
Pada 2021, anggaran pendidikan sebesar Rp 550 triliun, dari jumlah ini Rp 299 triliun atau sekitar 54 persen ditransfer ke daerah sebagai Anggaran Pendidikan Melalui Transfer Daerah dan Dana Desa.
Saatnya, membuang ego politik dan daerah demi melahirkan generasi emas yang kelak mengelola negara ini.
Selebihnya, dikelola sebagai Anggaran Pendidikan Melalui Belanja Pemerintah Pusat yang terbagi untuk sejumlah kementerian dan lembaga.
Dana pendidikan yang dikelola pusat pun masih ada skema berupa bantuan sosial yang dialokasikan ke daerah berupa pelatihan, pengadaan laboratorium, rehabilitasi sekolah, dan lain-lain yang seluruhnya ditransfer ke daerah.
Fakta di lapangan, banyak pemda kesulitan membiayai sendiri penyelenggaraan pendidikan. Dari sisi pengawasan keuangan negara, ini menyulitkan pengendalian. Jika terjadi penyimpangan, aparat pengawasan hanya bisa merekomendasikan sanksi disiplin pegawai. Keputusan akhir, ada pada pimpinan daerah masing-masing.
Dalam kondisi seperti itu, pendidikan harus menghadapi tantangan besar terkait pembangunan karakter. Padahal, pendidikan saat ini sesungguhnya merupakan tahapan sangat strategis dalam keberlangsungan bangsa.
Pemangku kepentingan pendidikan, sudah saatnya menatap jauh ke depan. Usia 76 tahun merdeka selayaknya menjadi momentum untuk menyusun peta jalan, cetak biru, atau apapun namanya menuju sistem pendidikan yang mapan dan tidak lagi bereksperimen.
Saatnya, membuang ego politik dan daerah demi melahirkan generasi emas yang kelak mengelola negara ini.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.