Ekonomi
Pajak Jadi Kunci Penyehatan APBN
Optimalisasi pajak perlu dilakukan pada sektor yang benar-benar sudah pulih.
JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, salah satu kunci konsolidasi dan penyehatan kembali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah penerimaan pajak. Sri mengatakan, APBN telah bekerja keras menahan gejolak pandemi dan memulihkan ekonomi sejak tahun lalu.
Pemerintah pun menyiapkan sejumlah strategi reformasi perpajakan untuk mendukung upaya konsolidasi fiskal. “Salah satu kunci penting bagi konsolidasi dan penyehatan APBN kita adalah peningkatan pendapatan negara terutama bidang pajak. Oleh karena itu, reformasi bidang pajak dan perpajakan menjadi penting,” ujar Sri dalam DJP TI Summit 2021, Rabu (18/8).
Pemerintah mengajukan Rancangan APBN (RAPBN) 2022 dengan komposisi belanja negara Rp 2.708,7 triliun dan pendapatan negara Rp 1.840,7 triliun. Khusus untuk penerimaan pajak, pemerintah menargetkan akan mencapai Rp 1.262,92 triliun atau tumbuh 10,5 persen dari outlook pada 2021.
Dari postur itu, APBN mengalami defisit senilai Rp 868 triliun atau 4,85 persen terhadap PDB. Sebelumnya, angka defisit mengalami pelebaran dari Rp 384,7 triliun pada 2019 menjadi Rp 947,7 triliun pada 2020 atau setara 6,14 persen dari PDB. Hal ini terutama dilakukan untuk meredam dampak pandemi terhadap perekonomian. Sedangkan dalam APBN 2021, defisit anggaran diperkirakan menurun ke level Rp 961,5 triliun atau 5,82 persen terhadap PDB.
Kinerja penerimaan pajak pun menjadi faktor penting untuk mendukung penurunan tingkat defisit fiskal. Menurut Sri, ada dua hal penting di dalam reformasi perpajakan, antara lain reformasi bidang kebijakan dan bidang administrasi perpajakan. “Teknologi digital pun disebut sebagai elemen penting untuk mendesain reformasi perpajakan,” ucapnya.
Pengamat pajak Center for Indonesian Taxation Analysis, Fajry Akbar, menyampaikan, optimalisasi penerimaan pajak tanpa mengganggu pemulihan ekonomi menjadi tantangan tersendiri pada 2022.
Menurut Fajry, rencana kebijakan penerimaan pajak pemerintah seperti perluasan basis pemajakan, perluasan kanal pembayaran, penegakan hukum yang berkeadilan, dan evaluasi pemberian insentif sejalan dengan pemulihan ekonomi. Namun, dia mengingatkan, optimalisasi perlu dilakukan pada sektor yang benar-benar sudah pulih.
“Optimalisasi perlu dilakukan ke wajib pajak (WP) yang tidak atau paling sedikit terdampak pandemi. Selain itu, jangan sampai optimalisasi mengorbankan tingkat kepatuhan wajib pajak selama ini yang telah patuh serta jangan sampai mengorbankan tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas,” ujarnya.
Fajry menyampaikan, periode pascapandemi dapat dijadikan momentum untuk melakukan reformasi perpajakan secara besar-besaran. Secara historis, reformasi pajak lahir setelah masa-masa sulit seperti krisis ekonomi. Krisis keuangan global pada 2008 misalnya, menjadi momentum bagi negara-negara OECD untuk melakukan reformasi perpajakan secara radikal.
“Oleh karena itu, reformasi perpajakan seperti revisi UU Perpajakan yang sedang berlangsung memang perlu dilakukan,” ujarnya.
Fajry menilai, rencana reformasi perpajakan tak hanya memberikan peningkatan penerimaan, tapi juga berkelanjutan. Menurut diaa, dalam reformasi kebijakan ke depan, insentif perpajakan perlu dievaluasi.
View this post on Instagram
Dia menilai, selama ini pemberian insentif telah menggerus penerimaan pajak. Jika diberikan secara tidak tepat maka pemerintah perlu merevisi insentif tersebut.
Begitu pun dengan memperbaiki progresivitas pajak. Ini dibutuhkan mengingat basis pajak yang kuat membutuhkan pendapatan per kapita yang semakin merata dan tak hanya tinggi.
“Administrasi pajak yang lebih sederhana dan efisien serta menjamin kepastian hukum akan mampu mendorong penerimaan melalui peningkatan kepatuhan,” ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.