Opini
Afghanistan: Kuburan Para Raksasa
Afghanistan adalah bangsa yang tidak dapat menoleransi pendudukan asing.
SMITH ALHADAR, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Ketika Alqaidah pimpinan Usamah bin Ladin menyerang AS pada 11 September 2001, Pemerintah AS di bawah Presiden Goerge Walker Bush langsung memutuskan untuk menginvasi Afghanistan di bawah rezim Taliban.
Tawaran Taliban agar Usamah diadili di negara ketiga tak digubris AS. Tawaran Taliban ini sebenarnya adil dan murah untuk menyelesaikan masalah terorisme pada saat itu. Namun, tawaran itu tidak memenuhi kebutuhan psikologis AS yang terluka oleh serangan itu.
Perlu diketahui, serangan terhadap menara kembar World Trade Center di New York dan Pentagon di Washington menewaskan hampir 3.000 warga AS.
Serangan bunuh diri itu juga telah menampar wajah AS karena mengungkap kerentanan sistem keamanan dalam negeri AS. Memang hampir tidak mungkin mengharapkan AS yang luka bernegosiasi dengan Taliban.
Namun, siapa sangka, 20 tahun kemudian, AS meninggalkan Afghanistan secara dipermalukan.
Apalagi, pengadilan terhadap Usamah di negara ketiga belum tentu memenuhi rasa keadilan AS. Dan sebagai negara adidaya tunggal, AS perlu menciptakan preseden bahwa tak ada pihak yang akan dibiarkan bebas atas tanggung jawabnya melukai AS.
Maka itu, hanya dalam waktu satu bulan, AS dan sekutu NATO menginvasi Afghanistan dan langsung merobohkan rezim Taliban. Memang Taliban, dengan persenjataan seadanya, bukan saingan AS.
Namun, siapa sangka, 20 tahun kemudian, AS meninggalkan Afghanistan secara dipermalukan. Taliban, kelompok yang sama yang ditaklukkan AS dua dekade lalu, hanya memerlukan 10 hari sejak 6 Agustus untuk menaklukkan sebagian besar ibu kota-ibu kota provinsi.
Taliban mulai melindas distrik-distrik di seluruh Afghanistan sejak Mei, bersamaan dengan dimulainya penarikan pasukan AS dan NATO dari Afghanistan. Pembentukan 300 ribu tentara Afghanistan yang dilatih, dipersenjatai, dan didanai ratusan miliar dolar AS sia-sia.
Tak ada perlawanan berarti dari mereka yang memiliki persenjataan mutakhir dan didukung payung udara vis a vis Taliban, yang hanya didukung 40 ribu-50 ribu personel dengan persenjataan terbatas.
Namun, alasan itu tidak mampu menutupi kenyataan yang sesungguhnya bahwa AS benar-benar telah kalah perang di Afghanistan.
Jatuhnya Kabul pada 15 Agustus ke tangan Taliban, menandai kekalahan total AS.
Ketika dikritik atas ketergesaan menarik pasukan dari Afghanistan dan ketidakmampuan mengevaluasi kemampuan Taliban, Presiden AS Joe Biden berdalih bahwa misi AS ke Afghanistan adalah menghukum mereka yang menyerang AS dan itu sudah berhasil.
Namun, alasan itu tidak mampu menutupi kenyataan yang sesungguhnya bahwa AS benar-benar telah kalah perang di Afghanistan.
Bahkan, warga AS menyamakan evakuasi warga AS dari Kedutaan Besar AS di Kabul dengan mengevakuasi warga AS dari Saigon, ibu kota Vietnam Selatan, pada 1975 saat tentara Viet Kong memasuki Saigon.
Kekalahan AS ini membuat kita berpikir, seandainya AS menerima tawaran Taliban ketika itu, kerugian material dan politik AS tidak sebesar sekarang.
Perlu diketahui, dalam invasi AS ke Afghanistan, berperang di sana selama 20 tahun, dan menopang Pemerintah Afghanistan, AS menghabiskan triliunan dolar dengan lebih dari 4.000 personelnya tewas.
Kekalahan AS hanya meneguhkan Afghanistan sebagai kuburan para raksasa dunia.
Kekalahan AS ini membuat kita berpikir, seandainya AS menerima tawaran Taliban ketika itu, kerugian material dan politik AS tidak sebesar sekarang.
Pada abad ke-4 SM, pasukan Alexander The Great yang menyapu Timur Tengah bagai badai, bahkan menaklukkan Imperium Persia yang digdaya dalam waktu singkat, ternyata dibinasakan dengan mudah ketika memasuki Afghanistan.
Sama seperti AS, pasukan Alexander juga meremehkan Afghanistan, yang hanya dilihat sebagai perlintasan menuju penaklukan Anak Benua India.
Sekiranya pasukan Alexander (Iskandar Zulkarnain) tak ditaklukkan pasukan Afghanistan, Anak Benua India akan menjadi salah satu pusat kebudayaan Helenis. Tapi cerita keangkeran Afghanistan tidak sampai di situ.
Pada akhir abad ke-19, negara adidaya Inggris menyerbu Afghanistan dari Anak Benua India dalam perebutan pengaruh di Asia Tengah dengan Rusia.
Inggris juga meremehkan Afghanistan yang miskin dan terisolasi setelah berhasil menekuk Imperium Mughal yang perkasa di India. Nyatanya, Inggris mundur dari Afghanistan setelah dipukul secara telak oleh orang-orang Afghanistan.
Sama seperti AS, pasukan Alexander juga meremehkan Afghanistan, yang hanya dilihat sebagai perlintasan menuju penaklukan Anak Benua India.
Tentara Uni Soviet yang perkasa adalah raksasa terakhir yang dikubur di Afghanistan sebelum AS.
Dengan penuh percaya diri, memanfaatkan kesibukan AS menghadapi revolusi Iran 1979, Uni Soviet mengirimkan 100 ribu tentara merah ke Afghanistan untuk menopang rezim komunis. Sepuluh tahun kemudian (1989), Uni Soviet harus mengakui ketangguhan kaum Mujahidin dan keluar secara memalukan dari Afghanistan.
Bahkan, perang Uni Soviet di Afghanistan yang memakan ongkos besar, baik sumber daya manusia, ekonomi, maupun politik, mempercepat keruntuhan Uni Soviet pada 1991. Semua kekalahan para raksasa itu diakibatkan oleh ketidakpahaman mereka mengenai budaya Afghanistan. Afghanistan adalah bangsa yang tidak dapat menoleransi pendudukan asing.
Maka itu, setiap pemerintahan di Afghanistan yang didudukkan oleh kekuatan asing, seperti rezim komunis oleh Uni Soviet dan pemerintahan demokratis oleh AS, tak dapat diterima oleh penduduk Afghanistan. Inilah yang menjelaskan mengapa rezim-rezim yang dicangkokkan pihak asing tak dapat bertahan di Afghanistan.
Tidak seperti pada masa lalu, Taliban harus membuat konsesi ideologis yang memungkinkan perempuan bersekolah dan bekerja di luar rumah secara bebas.
Bagaimanapun, kendati mudah saja menguburkan AS dan sekutu NATO di Afghanistan, tentu tidak mudah bagi Taliban untuk memerintah Afghanistan yang plural secara etnis ataupun mazhab keagamaan. Untuk mengelola Afghanistan yang miskin dan terkoyak-koyak oleh perang panjang, tidak saja Taliban memerlukan dukungan seluruh rakyatnya, tetapi juga memerlukan pengakuan internasional.
Untuk itu, Taliban harus menciptakan pemerintahan yang inklusif dengan mengakomodasi seluruh etnis dan golongan, terutama harus menghormati hak-hak perempuan. Tidak seperti pada masa lalu, Taliban harus membuat konsesi ideologis yang memungkinkan perempuan bersekolah dan bekerja di luar rumah secara bebas.
Penerapan aturan-aturan Islam yang keras, yang mengabaikan kebebasan, HAM, dan khususnya hak perempuan akan menjadikan Taliban sebagai rezim pariah, yang tentunya menyulitkan membangun Afghanistan menjadi negara modern yang maju.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.