Kabar Utama
Kabul Terkepung, Presiden Afghanistan Kabur
Pembagian kekuasaan dinilai jadi solusi konflik di Afghanistan.
KABUL – Agresi militer kelompok Taliban menguasai sepenuhnya Afghanistan berlangsung kian lekas. Pada Ahad (15/8) pasukan Taliban dikabarkan telah memasuki ibu kota negara, Kabul.
President Ashraf Ghani juga dilaporkan telah meninggalkan Afghanistan. "Presiden Afghanistan terdahulu telah meninggalkan negara ini," ujar Kepala Dewan Rekonsiliasi Nasional Abdullah Abdullah, seperti dilansir Aljazirah, Ahad (15/8) malam.
Ashraf Ghani disebut melarikan diri di tengah upaya negosiasi peralihan kekuasaan secara damai. Ia kabur menyusul telah dikepungnya Kabul oleh pasukan Taliban dari segala arah.
Laman Al Arabiya, mengutip beberapa sumber, melaporkan, tentara Afghanistan dan Taliban terlibat konfrontasi di wilayah Kabul selatan dan utara. Tiga pejabat Afghanistan mengatakan, pasukan Taliban telah berada di distrik Kalakan, Qarabagh, dan Paghman. Sementara, para pekerja di ibu kota Kabul tampak panik melarikan diri dari kantor-kantor pemerintah.
Pihak Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia menyatakan, terus memantau kondisi di Afghanistan agar memastikan keselamatan WNI dan staf KBRI di negara tersebut. "Kondisi WNI di Afghanistan terus diobservasi dan komunikasi dengan mereka masih terus berlangsung," ujar Juru Bicara Kemenlu RI Teuku Faizasyah kepada Republika, Ahad.
Faiza mengatakan, pihak Kemenlu telah menyiapkan rencana evakuasi WNI yang berada di Afghanistan. Kendati demikian, dia belum memberikan keterangan secara mendetail kapan dan apakah evakuasi WNI dan staf Kedutaan akan secepatnya terlaksana.
"Rencana kontijensi disiapkan semua perwakilan RI di luar negeri berdasarkan peraturan untuk mengantisipasi perkembangan politik yang dramatis atau suatu bencana," ujarnya.
Menurut Faiza, sejauh ini, ada enam WNI di negara tersebut. Sementara, staf KBRI di Kabul berjumlah 18 orang, termasuk Duta Besar RI untuk Kabul Arif Rahman. Dubes RI belum memberikan respons terkini terkait kondisi Kabul dan Afghanistan maupun keadaan WNI ketika diminta komentar Republika.
Pemimpin Taliban yang kini berada di Qatar mengatakan, para anggota kelompok tersebut telah diperintahkan untuk menahan diri dan tak melakukan aksi kekerasan di Ibu Kota. Mereka diminta membuka jalan aman bagi siapa pun yang hendak keluar dari kota tersebut.
"Tidak ada nyawa, harta benda, dan martabat yang akan dirugikan dan nyawa warga Kabul tidak akan terancam," diterangkan pihak Taliban.
Taliban sebelumnya berhasil merebut Kota Jalalabad yang terletak di sebelah timur Afghanistan pada Ahad (15/8). Artinya, sejak memulai agresi pada 1 Mei 2021 lalu, Taliban telah menguasai setidaknya 24 dari 34 ibu kota provinsi.
“Kota Jalalabad, pusat (Provinsi) Nangarhar, benar-benar ditaklukkan,” kata juru bicara Taliban Zabiullah Mujahed lewat akun Twitter-nya, dikutip laman Anadolu Agency.
Mujahed mengungkapkan, kelompoknya turut berhasil menguasai kantor gubernur, intelijen, polisi, dan fasilitas-fasilitas lain di kota tersebut. “Semua alat, perlengakapan, dan sumber daya di provinsi itu juga jatuh ke tangan mujahidin,” ucapnya.
Dengan jatuhnya Nangarhar, saat ini, Kabul secara efektif dikepung dari tiga arah oleh Taliban. Pada Jumat (13/8) malam Taliban juga berhasil merebut Mazar-e-Sharif. Itu merupakan gerbang utara Afghanistan menuju Asia Tengah.
Jatuhnya Mazar-e-Sharif memiliki efek signifikan dalam hal kepentingan strategisnya di jantung provinsi utara Afghanistan. Di sana terdapat markas regional tentara dan benteng utama politisi kunci, seperti Abdul Rasheed Dostum, Atta Muhammad Noor, dan Muhammad Muhaqiq.
Pejabat setempat mengatakan, Mazar-e-Sharif yang merupakan ibu kota Provinsi Balkh, sekaligus kota terbesar keempat di Afghanistan sebagian besar jatuh kepada Taliban tanpa adanya perlawanan berarti.
Abas Ebrahimzada, seorang anggota parlemen dari Balkh, mengatakan bahwa tentara nasional adalah yang pertama menyerah dan kemudian mendorong pasukan propemerintah serta milisi lainnya untuk menyerah.
Sementara, Menteri Dalam Negeri Pakistan Sheikh Rashid Ahmed, pada Ahad (15/8) mengungkapkan, Taliban telah melewati perbatasan Torkham. Saat diwawancara saluran televisi lokal, Geo TV, Ahmed menyebut, Pakistan menghentikan sementara lalu lintas antarperbatasan karena hal itu. Torkham mewakili pos terakhir yang masih berada di bawah kendali Pemerintah Afghanistan.
Sementara, seorang warga Mazar-i-Sharif mengatakan, sangat takut ketika banyak anggota Taliban berjalan di kota itu. "Mereka pergi dari pintu ke pintu dan kami di rumah dan sayangnya kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami sangat takut,” ujar warga yang tidak ingin disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Taliban merupakan kelompok yang lahir menyusul perang sipil selepas invasi Uni Soviet ke Afghanistan pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an. Kelompok yang menerapkan tafsir ekstrem terhadap agama Islam tersebut sempat menguasai Afghanistan hingga dikalahkan pasukan Amerika Serikat pada 2001.
Pasukan AS kala itu menginvasi Afghanistan dan menyerang Taliban dengan dalih kelompok itu melindungi Usamah bin Ladin yang dituduh sebagai otak serangan teror 11 September 2001.
Selama dua dekade keberadaan pasukan AS di Afghanistan, Taliban tak juga berhasil dienyahkan. Pada 2020, AS kemudian melakukan perjanjian damai dengan Taliban dengan syarat penarikan seluruh pasukan NATO dan AS dari Afghanistan.
Saat agenda penarikan pasukan itu dijalankan, Taliban memulai agresi. Tentara Afghanistan yang didanai dan dilatih bertahun-tahun oleh Amerika Serikat, sementara ini, belum bisa membendung pergerakan pasukan Taliban.
Sejauh ini, ribuan pasukan Taliban dan militer Afghanistan telah gugur dalam agresi selama empat bulan belakangan. Sekitar seribu warga sipil juga meninggal dan seperempat juta warga Afghanistan mengungsi.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani telah mengadakan pembicaraan darurat dengan para pemimpin lokal dan mitra internasional pada Sabtu (14/8). "Sebagai presiden, fokus saya adalah mencegah ketidakstabilan lebih lanjut, mencegah kekerasan, dan pengungsian rakyat saya," kata Ghani dalam pidato singkat yang disiarkan televisi nasional.
Ghani menambahkan, ia tidak akan menanggapi permintaan Taliban untuk mengundurkan diri. Ghani mengatakan, prioritasnya tetap pada konsolidasi pasukan keamanan dan pertahanan Afghanistan. "Langkah-langkah serius sedang diambil dalam hal ini," kata Ghani.
Evakuasi AS
Sejauh ini, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengizinkan tambahan 1.000 tentara AS untuk ditempatkan di Afghanistan. Total tentara AS yang dikirim ke Afghanistan menjadi sekitar lebih dari 5.000 untuk memastikan penarikan yang tertib dan aman bagi personel Amerika dan sekutu dari Afghanistan.
Pasukan AS juga bakal membantu evakuasi warga Afghanistan yang bekerja dengan militer selama hampir dua dekade perang. Keputusan menit terakhir untuk memasukkan kembali ribuan tentara AS ke Afghanistan mencerminkan keadaan keamanan ketika Taliban menguasai beberapa kota Afghanistan dalam beberapa hari yang singkat.
Biden mengaitkan sebagian besar kekacauan yang terjadi di Afghanistan dengan upaya mantan presiden Donald Trump untuk mengakhiri perang. Menurutnya, hal itu menciptakan blue print yang memosisikan pasukan AS di tempat yang sulit.
"Ketika saya menjabat, saya mewarisi kesepakatan yang dibuat oleh pendahulu saya, yang dia undang Taliban untuk dibahas di Camp David pada malam 9/11 tahun 2019, yang membuat Taliban berada di posisi terkuat secara militer sejak 2001," ujar Biden dalam sebuah pernyataan, Sabtu.
"Saya adalah presiden keempat yang memimpin kehadiran pasukan Amerika di Afghanistan, dua Republik, dua Demokrat. Saya tidak akan, dan tidak akan, meneruskan perang ini ke seperlima," ujarnya menegaskan.
Biden telah memberi Pentagon waktu hingga 31 Agustus untuk menyelesaikan penarikan 2.500 hingga 3.000 tentara yang berada di Afghanistan ketika dia mengumumkan pada April bahwa akan mengakhiri keterlibatan AS dalam perang. Jumlah itu telah turun menjadi hanya di bawah 1.000, dan semua kecuali sekitar 650 personel dijadwalkan akan pergi pada akhir bulan; 650 tentara akan tetap untuk membantu melindungi kehadiran diplomatik AS, termasuk dengan pesawat dan senjata pertahanan di Bandara Kabul.
Mencari Damai di Afghanistan
Ulama-ulama Indonesia beberapa tahun belakangan memberi masukan kepada pihak-pihak di Afghanistan agar tercipta perdamaian di sana. Campur tangan asing dan perseteruan internal di antara persoalannya.
High Peace Council (HPC) Afghanistan sempat melakukan dialog bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama di Jakarta pada November 2017. Selain itu, Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga melakukan kunjungan pada akhir 2020.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, KH Muhyiddin Junaidi, yang ikut dalam pertemuan itu menjelaskan, di Afghanistan etnis-etnis punya peran yang sangat penting di Afghanistan. "Akan tetapi, mereka (etnis-etnis di Afghanistan) punya kelemahan, yaitu tidak bisa bersatu karena lebih mengutamakan etnis masing-masing," kata Kiai Muhyiddin saat diwawancarai Republika, Ahad (15/8).
Ia juga menerangkan, Muslim di Afghanistan bermazhab Hanafi. Sementara jumlah Syiah di sana sekitar 13 persen sampai 20 persen. Tetapi, kehidupan Syiah dan Sunni tidak menjadi masalah di Afghanistan.
Yang menjadi masalah dan membuat kekacauan di Afghanistan, Kiai Muhyiddin mengatakan, adalah kekuatan asing dan para panglima perang (war lord). "Siapa war lord itu? Yaitu, orang di dalam negeri dari etnis Afghanistan, warga negara Afghanistan, tapi mereka menjualbelikan opium untuk kepentingan bisnis. Opium dijual dengan harga murah diekspor ke mancanegara," ujarnya.
Ada pemain bisnis dari negara asing yang mengambil keuntungan dari konflik di Afghanistan. "Jadi, para pebisnis dari negara tetangga ini juga akan rugi, kalau terjadi perdamaian di Afghanistan," ujarnya.
Selain itu, memang ada faktor eksternal, yakni kekuatan asing. Kekuatan asing itu dari Eropa, negara-negara Muslim, dan Amerika Serikat. Ia mencontohkan, dari negara-negara Muslim, ada beberapa kelompok ekstremis atau gerakan Islam radikal.
Kiai Muhyiddin melihat, Taliban 25 tahun yang lalu berbeda dengan Taliban sekarang. "Sekarang ini mereka sudah mulai berkomunikasi dan kenal serta membentuk jaringan, berkunjung ke mana-mana," ujarnya.
Dalam kunjungan Taliban ke Indonesia beberapa kali, Kiai Muhyiddin bertemu dengan mereka. Menurut dia, sesungguhnya Taliban itu ingin perdamaian dan sudah bosan konflik.
Terlepas hal itu, Kiai Muhyiddin mengingatkan agar Taliban tidak mengambil alih pemerintahan dengan cara kekerasan. Sebab, masyarakat dunia tidak akan mengakui pemerintahan yang dibentuk dengan cara kekerasan.
Kiai Muhyiddin juga melihat power sharing alias pembagian kekuasaan adalah keniscayaan. Ia juga menegaskan, masalah Afghanistan tidak bisa diselesaikan kecuali oleh orang Afghanistan. Kehadiran kekuatan-kekuatan asing justru akan merusak dan akan memecah-belah persatuan dan kesatuan Afghanistan.
"Kita berharap, sudahlah tidak usah lagi perang, masing-masing duduk sama-sama memecahkan masalah demi kepentingan nasional Afghanistan. Kalau itu bisa disepakati, saya optimistis pemerintahan Afghanistan di bawah Taliban dengan versi barunya ini, insya Allah cepat menikmati perdamaian dan kesejahteraan," kata Kiai Muhyiddin.
Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla (JK) juga menilai, perdamaian di Afghanistan harus dimulai dengan gencatan senjata dan solusi, yang bersifat saling menguntungkan melalui power sharing.
"Power sharing itu katakanlah bikin kabinet, siapa presidennya, siapa perdana menterinya, siapa menterinya, itu kan menjadi suatu pemerintah nasional, yang didukung kedua belah pihak," kata JK dalam wawancara khusus dengan Anadolu Agency di Jakarta, pekan lalu.
JK sudah beberapa kali bertemu dengan Pemerintah Afghanistan serta pihak Taliban untuk membicarakan solusi perdamaian tersebut selama beberapa tahun terakhir. JK mengatakan, sudah lima kali membahas solusi perdamaian di Afghanistan dengan Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, yakni dua kali di Indonesia dan tiga kali di Kabul.
"Mereka setuju, tapi yang sulit ini Taliban, apalagi dia sudah mencapai perjanjian dengan Amerika bahwa Amerika akan menarik diri," ujarnya.
Menurut JK, Taliban berpikir kemenangan bagi pihak mereka sudah semakin dekat dengan penarikan pasukan Amerika Serikat, sehingga membuat solusi perdamaian sulit dicapai. JK mengatakan, perbedaan pandangan antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban terhadap sistem pemerintahan hingga pendidikan juga membuat solusi belum tercapai.
"Jadi tujuannya sama untuk memajukan negeri, tapi yang satu dengan cara konservatif, satu lagi secara moderat. Nah ini yang tidak bisa ketemu, kalau ini tidak bisa ketemu, akhirnya kuat-kuatan," ucap JK.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.