Resonansi
Afghanistan Kembali ke Titik Nol
Pertanyaannya, apa yang bisa dibanggakan atas kehadiran pasukan AS selama 20 tahun di Afghanistan?
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI
Kalau saja Presiden AS Joe Biden punya waktu membuka catatan tentang perang di Afghanistan, apa yang akan ia dapatkan?
Apakah tujuan AS tercapai setelah pasukan mereka mengintervensi Afghanistan selama 20 tahun? Apakah mereka beruntung atau justru buntung? Lalu bagaimana nasib bangsa Afghanistan sendiri?
Afghanistan tampaknya akan kembali ke titik nol, tulis pengamat Timur Tengah, Elias Harfoush di media al Sharq al Awsat. Kembali ke titik awal, kata ahli strategi. Ketakutan melanda berbagai pihak, utamanya rakyat Afghanistan.
Ketakutan tentang kembalinya negara berpenduduk sekitar 36 juta jiwa ini ke tangan Taliban, seperti saat pasukan AS dan sekutunya di NATO menginvasi Afghanistan pada 7 Oktober 2001. Invasi ini balasan atas serangan 11 September 2001.
Ketakutan tentang kembalinya negara berpenduduk sekitar 36 juta jiwa ini ke tangan Taliban, seperti saat pasukan AS dan sekutunya di NATO menginvasi Afghanistan pada 7 Oktober 2001. Invasi ini balasan atas serangan 11 September 2001.
Hari itu, teroris Alqaidah pimpinan Usamah bin Ladin menabrakkan pesawat yang mereka bajak ke menara kembar World Trade Center di New York dan Pentagon di Virginia. Sekitar 4.000 orang tewas.
Menurut George Bush, presiden AS waktu itu, ada dua tujuan invasi ke Afghanistan. Pertama, memastikan Afghanistan tak lagi digunakan sebagai tempat aman bagi kelompok teroris yang bisa mengancam keamanan AS.
Kedua, menghabisi Taliban, saat itu memerintah Afghanistan, yang dianggap melindungi Usamah bin Ladin dan Alqaidah.
Biaya invasi, dilanjutkan 20 tahun kehadiran pasukan AS di Afghanistan, sangat besar. AS mengeluarkan dana dari pajak rakyatnya, mendekati 1 triliun dolar AS. Lebih dari 2.300 tentara AS tewas, lebih dari 20 ribu lainnya terluka.
Dari pasukan Inggris, lebih dari 450 orang tewas, belum termasuk ratusan personel dari negara lain. Namun, paling banyak menjadi korban sebenarnya rakyat Afghanistan, lebih dari 180 ribu orang tewas.
Dari jumlah itu, 60 ribu orang dari pasukan keamanan dan sekira 120 ribu masyarakat sipil. Setelah 20 tahun, Taliban boro-boro habis, justru kembali eksis, bahkan bisa jadi lebih kuat. Tragisnya, presiden AS tahu kekuatan Taliban itu.
Presiden Donald Trump pada hari-hari terakhirnya di Gedung Putih, mengajak Taliban berunding soal masa depan Afghanistan, tanpa melibatkan pemerintahan Presiden Ashraf Ghani.
Pertanyaannya, apa yang bisa dibanggakan atas kehadiran pasukan AS selama 20 tahun di Afghanistan?
Perundingan di Doha, Qatar, ini lebih menitikberatkan jaminan selama proses penarikan pasukan AS dari Afghanistan yang tuntas September, Taliban tak menyerang pasukan AS. Hingga kini, Taliban tampaknya menepati janji.
Perjanjian itu tampaknya tak menyinggung serangan Taliban ke pemerintahan Presiden Ashraf Ghani. Terbukti, Taliban bebas bergerak menyerang dan berhasil merebut satu demi satu kota di Afghanistan.
Presiden Joe Biden memilih 11 September menuntaskan penarikan pasukan AS. Pertanyaannya, apa yang bisa dibanggakan atas kehadiran pasukan AS selama 20 tahun di Afghanistan?
‘Warisan’ AS yang coba dibudayakan di Afghanistan, seperti demokrasi, kebebasan, pendidikan, hak perempuan, dan nilai Barat lainnya runtuh dengan sendirinya begitu Taliban berkuasa. Itu mungkin terjadi pada masa depan Afghanistan.
Harapan Afghanistan lebih baik tentu ada. Salah satunya, perubahan dalam diri Taliban dan pemimpinnya. Mereka mendukung sistem politik yang mengakomodasi aliran dan suku yang adil di lembaga negara.
Namun, bila Taliban tidak berubah, dikhawatirkan, Afghanistan kembali ke titik nol seperti 20 tahun lalu. Presiden Joe Biden menganggap, Taliban tanggung jawab rakyat Afghanistan dan pasukan Presiden Ashraf Ghani.
Di mana tanggung jawab AS yang selama 20 tahun ‘mengatur’ semua urusan Afghanistan lalu meninggalkannya begitu saja?
Kata Biden, ‘’Ini (Afghanistan) negara Anda dan Anda harus mempertahankannya. Ini (rakyat) Anda dan Anda harus melindunginya. Akhirnya, Anda (rakyat Afghanistan) memilih kepemimpinan yang Anda inginkan untuk negara Anda.’’
Pernyataan ini sahih kalau kondisi normal. Namun, Afghanistan kini genting. Kejatuhan ibu kota Kabul dan otomatis Afghanistan ke tangan Taliban, menurut pengamat, tinggal menunggu waktu.
Di mana tanggung jawab AS yang selama 20 tahun ‘mengatur’ semua urusan Afghanistan lalu meninggalkannya begitu saja?
Para penguasa di Gedung Putih tampaknya putus asa dengan kondisi Afghanistan.
Simaklah pengakuan Presiden AS Joe Biden dan sebelumnya Donald Trump, "Darah yang tumpah (dari pasukan AS) di tanah Afghanistan tak banyak gunanya. Bahkan, bila perang berlangsung 20 tahun lagi, hasilnya akan sama."
Sistem pemerintahan yang dipaksakan Barat di Afghanistan gagal mengakar dalam masyarakat setempat.
Siapa pun yang membaca sejarah Afghanistan, tahu pemerintahan seperti itu tak bertahan lama setelah dukungan militer asing dicabut.
Siapa pun yang membaca sejarah Afghanistan, tahu pemerintahan seperti itu tak bertahan lama setelah dukungan militer asing dicabut. Ini yang berlangsung di Afghanistan sekarang dan terjadi dulu dengan Uni Soviet.
Presiden AS tentu mempunyai hak melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap nasib Afghanistan. Katanya, "Tugas Amerika bukan untuk memutuskan masa depan Afghanistan."
Pesan yang dikirim lewat penarikan pasukan dari Afghanistan sangat jelas. AS tak selamanya berdiri satu saf dengan sekutunya, kecuali ada kepentingan AS di dalamnya. Ini bukan hanya dengan Afghanistan, sebelumnya Irak dan lainnya.
Irak hingga sekarang dilanda instabilitas politik, keamanan, sosial, hingga ekonomi. Kini Afghanistan pun ditinggalkan dalam kondisi serba-ketidakpastian.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.