Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Kartu Vaksinasi, Antara Keharusan dan Keadilan

Setujukah bila keberadaan kartu vaksinisasi menjadi syarat beraktivitas dan memasuki tempat umum?

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Setujukah bila keberadaan kartu vaksinisasi menjadi syarat beraktivitas dan memasuki tempat umum? 

Pro dan kontra terjadi. Dokter sampai pejabat pemerintah, selebritas, dan berbagai pihak bicara. Ingin menggali lebih banyak respons masyarakat awam, pertanyaan di awal tulisan ini kemudian saya gulirkan di media sosial. Hasilnya hanya sedikit --jika tidak bisa dihitung dengan jari-- yang setuju kartu vaksinisasi dijadikan syarat administrasi.

Dengan vaksin bukan berarti kita sudah kebal terhadap Covid-19. Tetap saja di masa pandemi harus jaga jarak dan meminimalkan keluar rumah. 

Tidak setuju karena vaksin itu hak perorangan dan akan menyulitkan mengingat banyak wilayah yang belum tersebar vaksin.

Saya setuju karena kartu vaksin lebih sederhana dibandingkan tes swab/vcr, selain sertifikat vaksin lebih simpel karena sekarang sudah bisa pakai aplikasi. Juga lebih menghemat supaya tidak bolak balik RS sekadar buat tes yang jangka pendek. - RR

Tidak setuju, sebab tidak semua orang bisa divaksin—

setuju sekali dengan syarat kartu tersebut juga memberikan diskon sebesar 50% tiap kali kita belanja di mall/pasar!

Beragam jawaban memberi kita bayangan masalah apa yang sebenarnya menjadi kendala bagi agenda ini. Sebagai sebuah ide untuk memperlancar vaksinasi, langkah ini harus diapresiasi. Akan tetapi, bagaimana dan kapan penerapannya? 

 
Kenyataan di lapangan rakyat masih berhadapan dengan banyak kesulitan untuk mendapatkan vaksin.
 
 

Di Amerika, menurut informasi, mereka yang awalnya segan atau menunda, mulai mendatangi pusat vaksin sejak muncul ketentuan dari banyak perusahaan bahwa pegawai hanya boleh bekerja bila membawa kartu vaksinisasi. 

Bukti lain, wacana di atas memang jitu untuk “memaksa” vaksinasi. Namun ada banyak tantangan menanti agar persyaratan ini tidak menodai prinsip keadilan. 

Tantangan pertama adalah mengimbangi kewajiban vaksinasi dengan ketersediaan vaksin yang mudah diakses. Pemerintah harus menjamin pasokan vaksin di Nusantara sebelum menjadikannya sebagai syarat administrasi.

Kenyataan di lapangan rakyat masih berhadapan dengan banyak kesulitan untuk mendapatkan vaksin. Dari persediaan yang minim atau alasan belum mendapatkan giliran entah karena tempat, waktu, pekerjaan, dan lain-lain. 

Selama ini harus diakui kegiatan vaksinasi seolah masih menjadi program insidental yang belum mampu diakses seluruh rakyat. Kalaupun bisa diakses bebas, informasinya lebih bersifat dari mulut ke mulut atau melalui media sosial dan ruang percakapan. Intinya masih belum menjangkau semua lapisan hingga sangat mungkin banyak pihak yang membutuhkan, tapi tidak memiliki akses. 

Dengan pola insidental seperti saat ini, informasi vaksinasi terkesan eksklusif atau menjadi milik mereka yang beruntung. Berbeda dengan pemilihan umum di mana semua masyarakat punya akses sama dan mengantungi jadwal masing-masing secara pasti. 

 
Dengan pola insidental seperti saat ini, informasi vaksinasi terkesan eksklusif atau menjadi milik mereka yang beruntung.
 
 

Sebenarnya persoalan ini bisa diminimalisasi salah satunya jika program vaksinasi mandiri diberlakukan. Meskipun agenda ini ramai menuai pro dan kontra.  Vaksin yang seharusnya gratis mengapa malah dikomersilkan? Keluh sebagian orang. 

Beberapa pihak yang setuju berpendapat bila ini diizinkan maka masyarakat yang mampu bisa meringankan beban pemerintah. Selama mereka tidak keberatan untuk membayar sendiri vaksinasi di lembaga penyelenggara yang mereka pilih, mengapa tidak? 

“Yang diam-diam terbang ke sana ke mari untuk vaksin toh banyak!” ujar beberapa yang setuju vaksin mandiri,   

Bukan rahasia, bila sebagian masyarakat bahkan rela sampai merogoh kocek untuk tiket pesawat dan akomodasi hingga puluhan juta, terbang ke suatu negara demi mendapat suntikan vaksin.  

Mereka yang tidak setuju khawatir, persediaan vaksin yang langka akan semakin langka, sebab banyak pihak akan tergoda untuk meraih keuntungan pribadi.

Tantangan kedua wacana kartu vaksinisasi adalah mengakomodasi mereka yang belum melakukan vaksin karena penyakit bawaaan atau menanti masa tunggu. Mudah untuk mengatakan apa sulitnya mendapatkan surat keterangan dokter.

Namun di tengah pandemi apalagi kengerian terhadap varian virus baru, banyak masyarakat yang berpikir ulang dan sebisa mungkin berusaha menghindari kunjungan ke dokter atau rumah sakit. 

Khususnya mengingat beberapa penyakit tidak mengharuskan penderitanya rutin berkonsultasi, selama mereka sudah memiliki resep yang mendapat izin dokter untuk ditebus berulang, hingga konsumsi obat terjamin. Kecuali sangat mendesak, mengurus surat sekadar demi kepentingan administrasi rasanya tidak sepadan, dibanding risiko terpapar Covid-19 di rumah sakit. 

 
Tantangan ketiga adalah standarisasi saat melakukan pemeriksaan atas persyaratan. Pemerintah harus membuat kejelasan untuk validasi.
 
 

Tantangan ketiga adalah standarisasi saat melakukan pemeriksaan atas persyaratan. Pemerintah harus membuat kejelasan untuk validasi. Apakah bukti digital cukup? Atau harus dalam bentuk  tertulis atau cetak?

Jangan-jangan keduanya harus dihadirkan untuk menghindari kericuhan yang tidak perlu seperti yang dialami beberapa kawan. Satu pihak menunjukkan bukti digital bahwa dia sudah divaksin. Namun petugas tetap menuntut selain versi daring. Padahal bukti digital justru lebih valid, sebab lebih sulit direkayasa. Pengisian harus dilakukan petugas IT dari pusat, sedangkan bukti fisik lebih membuka ruang untuk dipermainkan. 

Tantangan keempat adalah jangka waktu. Berapa lama kebijakan tersebut akan diperlakukan. Apakah selama PPKM atau hingga tercapai kekebalan komunitas. Jika memang rencana ini akan dijalankan sampai tercapai kekebalan masyarakat, maka tidak ada jalan lain kecuali menyiapkan ketersediaan vaksin sebanyak dan sesegera mungkin, serta mengawal pelaksanaannya secara efektif hingga vaksin tidak rusak atau kedaluwarsa sebelum dipakai.

Ikhtiar pemegang kebijakan dalam memotivasi masyarakat untuk segera melakukan vaksinasi sudah tepat. Tetapi apakah semacam program kartu vaksinisasi ini harus dilakukan ketika persentase perbandingan masyarakat yang belum dan sudah divaksin masih teramat pincang? 

Seyogianya, sebuah wacana yang baik harus diimbangi dengan kesiapan yang juga baik. Tanpa itu, akan terjadi ketidakadilan dan bukan mustahil membuat kita terjebak masalah lain lebih dalam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat