KH Mahrus Amin | Republika/Adhi.W

Opini

Ayahanda KH Mahrus Amin, Darunnajah, dan Cinta Indonesia

Melalui Darunnajah KH Mahrus Amin mencurahkan cintanya kepada Indonesia dengan mendidik ribuan santri.

MUHLISIN IBNU MUHTAROM: alumnus dan guru TMI Darunnajah 2 Cipining Bogor

Ahad, 24 Mei 2015/ 5 Sya’ban 1436 H menjadi salah-satu hari bersejarah bagi Pondok Pesanren Darunnajah 2 Cipining Bogor karena pada hari Wisuda Santri/Haflah Takharruj tersebut hadir Duta Besar Kerajaan Arab Saudi untuk Republik Indonesia, Syaikh Musthafa Ibrahim al Mubarak. Para orang tua wali santri, dewan guru, calon alumni sudah stand by mengikuti pembukaan rankaian acara, termasuk KH. Drs. Mahrus Amin (Pendiri, Pengasuh dan Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah). 

Sementara Ketua Dewan Nazir Yayasan Darunnajah sekaligus Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining Bogor, KH. Jamhari Abdul Jalal, Lc., beserta beberapa pimpinan pesantren lain, termasuk KH. Muhammad Nasir Zein, MA., masih bersama Duta Besar di wisma tamu kampus 3 yang berjarak 70 meter di sebelah selatan aula.

Sebagai bagian acara, pada saat itu saya siap di aula bersama personalia panitia lainnya. Nah, pada saat Kepala Biro Pelayanan Sosial Pemerintah Propinsi Jawa Barat sedang berdiri di mimbar mewakili dan membacakan sambutan tertulis Gubernur Jawa Barat, H. Ahmad Heryawan (Kang Aher), tetiba Kiai Mahrus Amin memanggil saya yang berdiri di bagian belakang pojok panggung aula di samping meja pembawa acara, “Ustadz, sampaikan ke bapak dari Provinsi agar mempercepat sambutannya, Dubes sudah sampai!”, meski agak kaget dan kikuk, saya dekati utusan Gubernur dan sampaikan pesan dari Kiai Mahrus Amin.

Pas pada saat itu Duta Besar bersama Kepala Bagian Urusan Keislaman, Ustadz Fahd Al Syhiry memasuki aula didampingi Pimpinan dan Pengasuh Darunnajah 2 Cipining, Anggota Dewan Nazir Drs. KH. Mahfudh Makmun, beberapa fungsionaris yayasan dan tetamu lainnya. Maka saya bisikan lagi kepada utusan Gurbernur untuk sekalian menyampaikan ‘Ahlan wa Shalan’ kepada rombongan Duta Besar, kemudian beliau mengakhiri sambutannya dan pertemuan dilanjutkan dengan rangkaian acara berikutnya. Dalam sambutannya, Duta Besar menyampaikan pidato dengan poin utama ‘Bencana Terbesar Ummat Ini Adalah Kebodohannya’ (selengkapnya dapat dilihat dalam Warta Darunnajah/WARDAN, No. 42, Volume XXVI, Juni 2015, halaman 15-17). 

KH. Drs. Mahrus Amin juga pernah hadir dan memberikan nasehat dalam acara Wisuda Santri/Haflah Takharruj di Darunnajah Cipining pada Ahad, 13 Mei 2007 / 25 Rabi’uts Tsani 1428 H. Beliau dalam nasehatnya kepada para calon alumni berpesan agar terus-menerus meningkatkan kualitas dan kualitas ibadah mereka, terutama yang sangat pokok adalah Sholat fardhu dan Nawaafil, “Hendaknya kita terus-menerus memperbaiki iman, ubudiyah dan ahlaq kita, sehingga kita akan menjadi waliyullah (kekasih Allah SWT)!”. (lihat Warta Darunnajah/WARDAN, No.37, Volume XVIII, Juni 2007, halaman 9). Selain dua pertemuan tersebut, tentu beliau juga beberapa kali hadir di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining yang berdiri sejak 18 Juli 1988 dan merupakan pondok pesantren cabang tertua dari 18 cabang lainnya di bawah naungan Yayasan Darunnajah.

Meski bertugas di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining Bogor, kami terhitung sering mendengar nasehat dari KH. Drs. Mahrus Amin, antara lain dalam Halal Bi Halal Keluarga Besar Yayasan Darunnajah, Khutbatul ‘Arsy/ Khutbatul Iftitah Guru, ketika mengikuti program/pertemuan di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta, dan atau agenda bersama lainnya. Salah-satu nasehat beliau yang terkesan adalah bahwa Darunnajah maju berkembang karena istiqomah menjaga Sholat Berjama’ah. Beliau menegaskan bahwa waktu kegiatan yang harus menyesuaikan dengan waktu sholat, bukan waktu sholat yang menyesuaikan waktu kegiatan.

Dalam pertemuan Rapat Evaluasi Kinerja Biro Pengasuhan Santri Darunnajah pusat dan cabang, di villa Darunnajah di Cipanas Cianjur Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2009, beliau menyampaikan pencerahan, antara lain Enam Amalan Agar Umur Panjang: 1). Shodaqoh, 2). Do’a, 3). Birrul Walidain (berbakti kepada kedua orang tua), 4). Silaturrahim, 5). Qiyamullail (sholat malam), dan 6). Istighfar qobla Fajar. Pernah dalam suatu kesempatan beliau ditanya rahasia kesehatannya termasuk rambutnya yang masih tetap berwarna hitam meski usia sudah mulai senja, beliau menjawab “Agar sering mandi pagi sebelum Qiyamullail atau Sholat Shubuh!”.

Nasehat, taujihat dan Irsyadat KH. Drs. Mahrus Amin juga bisa dibaca dalam buku: K.H. Mahrus Amin, Dakwah Melalui Pondok Pesantren, Pengalaman Merintis dan Memimpin Darunnajah Jakarta, diterbitkan oleh Penerbit Grup DANA Jakarta tahun 2008. Pada halaman 98-103 beliau berkisah: Tidak semua umat Islam berkesempatan dan mampu menunaikan ibadah Haji dalam rentang hidupnya. Begitu pula tidak semua jama’ah haji atau umroh bisa mendapatkan kesempatan memasuki Ka’bah, bangunan yang menjadi kiblat sholat umat Islam di seluruh dunia. Namun saya amat bersyukur, karena memimpin pesantren saya bisa pergi ke Tanah Suci dan memasuki Ka’bah.

Tak Cuma sekali. Allah menganugerahi saya dua kali untuk memasuki Ka’bah. Semuanya tak lepas dari aktifitas saya memimpin pesantren. Sejak 1980 Pesantren Darunnajah berkali-kali menjadi tempat pelatihan persiapan Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) untuk tingkat propinsi DKI maupun tingkat nasional. Berkah dari ini, pada tahun 1986 ada seorang guru Darunnajah yang mengikuti Musabaqoh Tilawatil Qur’an di Arab Saudi, namanya Ustadz Aminudin, peristiwanya terjadi 9-19 Februari 1986. Sebagai pengasuh pesantren, saya diajak oleh Pak Azhari – saat itu ketua LPTQ – untuk mendampingi peserta MTQ ke Makkah.

Undangan ini tak saya tampik. Lagipula taka ada alasan saya menolaknya. Saya pun berharap bisa berumrah di sana karena saat itu bukan musim haji. Di Makkah, selain mengikuti kegiatan MTQ, ada banyak acara dihelat panitia bagi anggota delegasi. Beberapa diantaranya ziarah ke tempat-tempat seperti pabrik pembuatan Kiswah (kain penutup Ka’bah), istana Raja, dan lokasi percetakan Al Qur’an. Semula saya menduga hanya orang-orang Arablah yang bekerja di pabrik Kiswah.

Rupanya saya sedikit keliru karena sebagian pekerja pabrik itu justru orang-orang dari Tasikmalaya Jawa Barat. Mereka bersama pekerja-pekerja dari berbagai bangsa berbaur membuat Kiswah baru untuk mengganti kain lama yang ‘masa tugasnya’ akan selesai. Setiap tahun, pergantian kiswah digelar oleh kerajaan dengan upacara khusus. 

Masih menurut kisah KH. Drs. Mahrus Amin dalam buku tersebut, dari semua lokasi yang dikunjungi, ada satu yang selalu ditunggu-tunggu oleh anggota delegasi yaitu memasuki Ka’bah. Tentang hari dan jam pelaksanaannya, sengaja dirahasiakan dan akan diberitahukan secara mendadak oleh panitia. Benar saja, tanpa persiapan terlebih dahulu, panitia tiba-tiba saja mengumumkan akan mengajak anggota delegasi ke Ka’bah. Hari itu (tanggalnya saya lupa) sekitar pukul 10.00 pagi waktu Arab Saudi peserta dan anggota kontingen yang berjumlah 300 orang diajak ke Ka'bah.  Saat memasuki Masjidil Haram, lokasi sekitar Ka’bah sudah dijaga ketat oleh Asykar (tentara Arab Saudi).

Para Asykar ini membentuk pagar betis di samping kiri dan kanan pintu Ka’bah. Maksudnya tentu saja mencegah orang yang bukak anggota kontingen MTQ ikut masuk ke dalam Ka’bah. Pintu itu letaknya di antara Multazam dan Rukun Iraqi (sudut Ka’bah yang menghadap ke Iraq) dan terbuat dari emas. Tidak persis di tengah-tengah tetapi lebih dekat ke arah Hajar Aswad. Inilah batu berwarna hitam yang menurut riwayat diberikan Malaikat Jibril kepada Nabi Ibrahim AS ketika membangun Ka’bah. Dalam rukun haji, Hajar Aswad dijadikan patokan untuk memulai dan mengakhiri Thawaf yaitu mengitari Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Sedangkan bagian antara pintu dan Hajar Aswad terdapat dinding yang disebut Multazam, tempat yang dianggap mustajab untuk berdo’a. Persis di depan pintu terdapat tangga yang harus kami daki sebelum memasuki Ka’bah. Lantai bagian dalam lebih tinggi 2,2 meter dari tempat Thawaf. Walau sudah dijamin bisa masuk Ka’bah, para peserta baik tua maupun muda tetap saja berebut.

Mereka berharap bisa mendapat kesempatan pertama masuk terlebih dahulu. Karena kapasitas ruang di dalam Ka’bah tak mencukupi untuk 300 orang sekaligus (ukuran bagian dalamnya 13 x 9 meter), panitia memasukkan kami secara bergelombang. Saya yang selalu bersama Pak Azhari masuk dalam gelombang yang sama dan langsung menjalankan sholat sunat di dalamnya. Panitia tak membiarkan kami berlama-lama di dalam Ka’bah. Hanya sekitar 15-20 menit waktu tang diberikan. Setelah itu para Asykar akan memaksa kami keluar bila membandel.

Bagaimana kiat Kiai Mahrus Amin agar bisa lebih lama di dalam Ka’bah?, berikut trik menurut penuturannya dalam buku tersebut: bagaimanapun juga, bisa masuk Ka’bah adalah kesempatan yang belum tentu terulang seumur hidup. Maka saya berusaha berkelit dari pemeriksaan Asykar. Mencoba berlama-lama berada di dalamnya. Caranya dengan sholat sunat dan berpindah-pindah lokasi sholat. Alhamdulillah dengan cara ini, saya bisa sholat menghadap ke berbagai penjuru di dalam Ka’bah sekaligus lolos setiap kali ada Asykar yang memeriksa.

Gambar bagian dalam Ka’bah memang jarang terlihat di televisi, koran atau majalah. Di tengahnya ada tiga tiang terbuat dari kayu berdiameter 44 cm berdiri tegak menyangga atap terbuat dari kayu. Pada bagian atas tiang-tiang itu tergantung kurang lebih 20 ceret (teko) berwarna emas yang bentuknya mirip lampu. Lantai dan dindingnya terbuat dari marmer putih yang berkilat tertimpa cahaya. Saya juga melihat hijab (kain yang melindungi dinding) bagian dalam Ka’bah tidak berwarna hitam seperti penutup bagian luarnya.

Hijab di dalam Ka’bah justru berwarna hijau dengan tulisan berwarna putih. Satu hal lagi yang baru saya ketahui saat berada di dalam Ka’bah adalah keberadaan sebuah pintu yang disebut Babut Taubah yang menghubungkan tangga menuju atap. Pintu itu letaknya di sisi dinding Ka’bah yang menghadap Hijir Ismail. Saya menyaksikan beberapa orang keluar masuk melalui pintu tersebut. Sebenarnya saya penasaran dan berniat menyelinap masuk ke pintu tersebut. Tetapi saya keburu dicegah oleh Asykar yang berjaga yang kemudian menghalau saya keluar dari Ka’bah.

Kiai Mahrus meneruskan kisahnya, setahun kemudian pada 1987 saya kembali diundang menyertai delegasi Indonesia mengikuti MTQ di Arab Saudi. Seperti sebelumnya, kami pun diberi kesempatan memasuki Ka’bah. Ini berarti saya akan kedua kalinya memasuki Ka’bah. Bahkan penduduk Makkah sekalipun belum tentu bisa memasukinya kendati hanya sekali. Saya yang sudah tahu waktu yang diberikan panitia sangat pendek, memanfaatkan sebaik-baiknya. Di dalam Ka’bah selesai sholat sunat, saya berdoa memohon ke hadirat Allah SWT dengan membaca Al Qur’an sebanyak-banyaknya.

Saya baca ayat-ayat Al Qur’an yang berkisah tentang Zulqurnen, sosok penguasa yang wilayah kekuasaannya membujur dari timur ke barat. Saya berharap Allah SWT mengabulkan doa saya agar mampu membangun pesantren di mana-mana. Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena doa saya akhirnya dikabulkan. Dalam catatan saya, tahun-tahun setelah itu adalah masa periode pengembangan Pesantren Darunnajah. Sejak tahun 1986 yaitu saat pertama kali saya masuk Ka’bah, Pesantren Darunnajah mulai membuka jaringan pesantren di seluruh Indonesia.

Kecintaan Kiai Mahrus Amin kepada Islam dan Indonesia merupakan sebuah aksioma, di samping mendirikan banyak pesantren, baik di bawah Yayasan Darunnajah maupun filial dan mitra Darunnajah, di seantero Nusantara. Beliau yang ketika masa nyantri di Gontor aktif dalam berbagai kegiatan, terutama dalam kepanduan, dan ketika memimpin pesantren mencetuskan ide SABELANA (Santri Bela Negara). Maka tidak berlebihan jika SANTRI selalu Siap Amankan Negara Tercinta Republik Indonesia. Indonesia tanpa kaum santri adalah ahistoris.

Pada 1 Agustus 2021 usia Darunnajah genap 60 tahun dengan total santri yang tinggal di asrama 11.926 orang yang bernanung dalam 66 satuan pendidikan. Tidak kurang dari 9.683 orang alumni telah dilahirkan dari Darunnajah pusat dan cabang, mereka berkiprah dan berkhidmah dalam berbagai profesi di dalam dan luar negeri. Total tanah wakaf yang berawal dari 5 hektar kini sudah menjelma menjadi ratusan hektar yang diperuntukkan meninggikan agama Allah SWT (Lii’laai Kalimaatillah) via pendidikan Islam.

Dalam kondisi kesyukuran atas berbagai pencapaian dan kemajuan ini, KH. Drs. Mahrus Amin bin Casim bin Yanggi (lahir di Cirebon 14 Februari 1940), pada sore hari pukul 16.20 wib, Sabtu, 7 Agustus 2021 M / 28 Dzulhijjah 1442 H, di Rumah Sakit Premerie Bintaro, beliau telah berpulang ke haribaan kekasih sejati Ilahi Rabbi. Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilaihi Raaji’uun, kami bersaksi beliau termasuk Ahlul Khair, dikaruniai Husnul Khatimah dan menjadi Ahlul Jannah, Amin.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat