Ekonomi
Indef: Waspada Krisis Akibat APBN
APBN berupaya memberikan fungsi countercyclical guna menjaga perekonomian.
JAKARTA – Kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sakit dapat memicu krisis ekonomi. Menurut ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini, APBN saat ini mengalami tekanan berat karena harus menanggung belanja penanganan pandemi Covid-19.
"Dulu krisis lewat nilai tukar sekarang lewat APBN karena kondisinya APBN sangat berat," kata Didik dalam Forum Guru Besar dan Doktor Indef dengan tajuk ‘Ekonomi Politik APBN, Utang, dan Pembiayaan Pandemi Covid-19’ yang digelar virtual, Ahad (1/8).
Didik menyampaikan, beban berat APBN sudah terasa sejak tahun lalu ketika defisit harus dirancang mencapai Rp 1.039,22 triliun atau 6,34 persen dari PDB. Angka itu melonjak dari rencana awal sekitar Rp 650 triliun.
Sementara itu, defisit anggaran pada 2021 dirancang mencapai Rp 1.006,38 triliun atau 5,70 persen terhadap PDB. Hingga akhir Juni 2021, tingkat defisit APBN mencapai Rp 283,24 triliun atau 1,72 persen terhadap PDB. Angka itu meningkat dibandingkan posisi defisit periode sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 257,16 triliun atau 1,67 persen terhadap PDB.
Menurut Didik, beban yang berat itu dapat menyebabkan APBN sakit. Dia mengatakan, seharusnya APBN dijaga dan penyelesaian pandemi diusahakan dengan menggunakan sektor yang tidak kritis. Pada masa yang akan datang pemerintah akan dipaksa menambal defisit yang ada sekaligus melaksanakan operasional normal. APBN yang sakit juga akan menurunkan tingkat kepercayaan investor dan berdampak pada risiko fiskal lainnya.
Didik juga mengkritisi, meski APBN sudah mengambil beban defisit yang relatif tinggi, penanganan Covid-19 belum mencapai keberhasilan. "Covid-19 kita sekarang juara dunia, tapi pertumbuhan ekonominya tetap rendah," katanya.
Didik menilai, risiko dalam kebijakan APBN itu muncul karena ada banyak kepentingan politik. Menurutnya, hal itu telah mengganggu kinerja fiskal dan membuat APBN sakit.
"Demokrasi kita mundur, saya tahu Bu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) menyadari beratnya ini," katanya.
Didik mengingatkan, APBN harus kembali rasional agar tidak menjadi beban di masa yang akan datang. Menurutnya, risiko fiskal menjadi semakin berat karena rasio penerimaan pajak sangat rendah pada 2020. Rasio pajak turun hingga 8,33 persen dan mencapai titik terendah dalam setengah abad terakhir.
Dia khawatir, menteri keuangan nantinya harus menjual obligasi dalam jumlah yang sangat besar seiring dengan tingginya defisit anggaran. Risiko penyerapannya yang rendah akan membuat Indonesia menaikkan imbal hasil sehingga berisiko tinggi pada beban pembayaran bunga utang.
Pemerintah menekankan, APBN terus berupaya memberikan fungsi countercyclical guna menjaga perekonomian. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebutkan, terdapat alasan tertentu yang menjadi dasar pemerintah memilih untuk menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di tengah Covid-19 dibandingkan lockdown seperti negara lain.
"Jadi, memang sempat ada perdebatan, tetapi esensinya yang terjadi dari keduanya adalah pembatasan kegiatan ekonomi," ungkap Suahasil.
Menurut Suahasil, alasan utama penerapan PPKM adalah lapisan masyarakat di Indonesia yang sangat beragam. Dia mencontohkan, terdapat kelompok masyarakat miskin atau rentan dan kaya. Ada pula kelompok masyarakat yang berada di perkotaan ataupun perdesaan dengan kemampuan ekonomi berbeda-beda.
Dalam konteks yang beragam itu, pemerintah pun menyiapkan berbagai bantuan bagi masyarakat yang memerlukan, terutama untuk orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Akan tetapi, masyarakat yang memerlukan bantuan dan hidup di atas garis kemiskinan juga perlu dibantu.
Oleh karena itu, tambah dia, pemerintah menyiapkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga dan Kartu Sembako kepada 18,8 juta keluarga. Bantuan itu diberikan meski masyarakat yang berada di garis kemiskinan hanya sekitar 6,5 juta keluarga.
Selain itu, terdapat pula Bantuan Sosial Tunai (BST) untuk 10 juta keluarga hingga bantuan tunai dari dana desa yang diberikan sesuai dengan ketentuan desa itu sendiri. Untuk itu, ia menegaskan, pemerintah terus memikirkan bagaimana menciptakan satu rangkaian kebijakan untuk membantu masyarakat sesuai dengan lapisannya di tengah pandemi.
"Negara kita bukan negara kecil, ada 270 juta penduduk dengan 34 provinsi yang karakteristiknya berbeda-beda. Ini yang perlu kita perhatikan, setiap level pemerintahan perlu memperhatikan dengan baik," ujar Suahasil.
View this post on Instagram
Pembiayaan APBN berlebihan akan membawa risiko fiskal membahayakan di masa depan. Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM, Mudrajat Kuncoro menyampaikan fungsi APBN terdiri dari Fungsi Alokasi, Fungsi Distribusi dan Fungsi Stabilisasi yang mengupayakan stabilitas ekonomi, menstimulasi aktivitas ekonomi, dan counter-cyclical.
APBN tahun 2020 mempunyai payung hukum bagi kebijakan fiskal yang ekspansif di era pandemi yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang mengizinkan batas defisit anggaran melampaui tiga persen dari PDB selama masa penanganan Covid 19 sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Namun Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 menyatakan defisit anggaran di tahun 2020 sebesar 6,34 persen dari PDB.
"Konsekuensi dari pelebaran defisit itu adalah melonjaknya nilai pembiayaan utang pada 2020," katanya dalam Webinar Indef dan Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita, Ahad (1/8).
Masih merujuk ke Perpres 72, pembiayaan utang untuk tahun 2020 mencapai Rp 1.039,2 triliun, melonjak 158,4 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ditinjau dari Belanja APBN 2021, mencapai Rp 2.750 triliun.
Namun demikian, APBN belum menjadi prime mover ekonomi nasional dan menimbulkan dampak pengganda yang besar bagi ekonomi rakyat. Pengeluaran pemerintah hanya menyumbang 6,7-12,3 persen terhadap PDB, jauh di bawah konsumsi rumah tangga yang antara 56-58 persen dan investasi sebesar 32 persen.
Tercatat selama pandemi, pengeluaran pemerintah hanya tumbuh 1,8-3,8 persen. Pada kuartal I 2021 tumbuh 2,96 persen. Di sisi lain, kapasitas dan ruang fiskal justru semakin menurun dalam lima tahun terakhir.
Tax ratio atau rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB menurun tajam dari 10,9 persen pada 2014 menjadi hanya 9,6 persen pada 2019 dan 7,9 persen tahun 2020. Belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara. Akibatnya, terjadi defisit anggaran yang terus meningkat di atas tiga persen dari PDB.
"Tax ratio pada 2020 turun hingga 7,9 persen mencapai tingkat terendah dalam setengah abad terakhir," katanya. Penurunan penerimaan perpajakan akibat pandemi dan resesi membuat tax ratio hanya satu digit, keempat kalinya selama pemerintahan Jokowi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.