Mujadid
KH Muhyiddin, Ulama-Pejuang dari Tanah Sunda
Kiai Muhyiddin, mubaligh kelahiran Garut ini turut berjuang mengusir penjajah dari Tanah Air.
OLEH MUHYIDDIN
Masyarakat Sunda biasa memanggilnya Mama Pagelaran. Tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, ulama ini pun turut serta dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia. Dialah KH Muhyiddin.
Pendiri delapan pesantren itu mulai berjuang sejak zaman penjajahan Belanda di Tanah Air. Sepanjang hayatnya, ia ikut berkiprah dalam merintis, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Adapun lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya tersebar di sejumlah wilayah Provinsi Jawa Barat, termasuk Subang, Purwakarta, dan Sumedang.
Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, ulama karismatik tersebut lahir di Garut, Jawa Barat, pada tahun 1878 M. Tanah kelahirannya berada di Kampung Banyuresmi. Ia adalah putra dari pasangan suami-istri, Ahmad Narif dan Eno.
Sejak berusia anak-anak, spirit pembelajar telah terpatri dalam dirinya. Ketertarikannya untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman pun mulai terbentuk. Untuk belajar agama lebih dalam, ia pun nyantri di beberapa pesantren di daerah Garut. Pesantren terakhir tempatnya menimba ilmu adalah milik KH Abdul Hamid. Di kemudian hari, seorang putri Kiai Abdul Hamid menjadi istrinya.
Masyarakat Muslim setempat sangat mendambakan hadirnya sosok yang mengerti tentang agama Islam dan mampu mengajarkannya. Karena itu, lulusnya Muhyiddin muda dari pengembaraan intelektualnya di pesantren-pesantren disambut gembira. Ia menjadi seorang tokoh panutan. Bersama dengan mertuanya, dirinya berdakwah di tengah umat, khususnya para warga yang masih sangat awam akan ajaran agama.
Lulusnya Muhyiddin muda dari pengembaraan intelektualnya di pesantren-pesantren disambut gembira.
Sebagai seorang mubaligh, Kiai Muhyiddin berprinsip menebar maslahat bagi semua (rahmatan lil ‘alamin). Sebab, itulah sifat agama ini. Dengan cara demikian, dirinya mampu menyelesaikan berbagai persoalan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Keberhasilan dakwahnya di daerah Garut rupanya menggaungkan reputasinya hingga ke daerah Sumedang.
Profilnya menarik perhatian seorang bupati Sumedang, yang lantas memintanya untuk hijrah ke daerah tersebut. Kiai Muhyiddin menyanggupi permintaan itu. Ia berharap bisa turut mengubah kondisi masyarakat Sumedang menjadi lebih baik.
Sekitar tahun 1893, dia mulai pindah ke sana, tepatnya kawasan Cimalaka. Ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam, yakni Pondok Pesantren Cimalaka. Dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, pesantren tersebut kian berkembang pesat. Jumlah santrinya pun bertambah banyak.
Setelah 25 tahun berdakwah dan mengajar di Cimalaka, Kiai Muhyiddin kemudian berencana untuk pindah ke daerah lain. Masih dengan tujuannya, mengembangkan dakwah Islam dan menyebarkan ilmu-ilmu agama. Pada 1918, ia memboyong keluarganya untuk hijrah ke Desa Cimeuhmal, Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Cimeuhmal dulu berbeda dengan yang sekarang. Daerah tersebut kala itu mayoritasnya masih berupa hutan belantara. Lantas, Kiai Muhyiddin dengan dibantu sejumlah pengikutnya membabat hutan tersebut secara terukur untuk membuka lahan baru. Di sanalah, ia membangun sebuah lembaga pendidikan yang kemudian diberi nama Pesantren Pagelaran I.
Di Cimeuhmal, ia membangun sebuah lembaga pendidikan yang kemudian diberi nama Pesantren Pagelaran I.
Berdiri pada 1920, Pesantren Pagelaran 1 sempat ramai dipenuhi santri-santri. Mereka berdatangan dari berbagai daerah, baik dalam maupun luar Jawa Barat.
Akan tetapi, keberadaannya sempat ditutup karena kekacauan yang timbul pascarevolusi kemerdekaan di Tanah Air. Terlebih lagi, Jawa Barat terimbas agresi militer yang dilancarkan Belanda. Barulah beberapa tahun kemudian, pesantren tersebut dapat dibuka kembali oleh seorang putri Kiai Muhyiddin, Hajjah Endeh Hayati.
Aktif berjuang
Sosok KH Muhyiddin yang merupakan salah satu pejuang dan dianggap sosok berpengaruh dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Ia adalah salah satu pemimpin yang ikut serta melakukan penyerangan terhadap Sekutu di Bandung Utara pada masa revolusi.
Dalam dakwahnya, ia selalu mengajak rakyat untuk menentang setiap bentuk penjajahan, termasuk yang dilakukan Belanda atas Bumi Pertiwi. Karena itu, ia pun sempat ditahan oleh pemerintah kolonial pada 1939. Dia ditahan di penjara Sukamiskin, Bandung, bersama dengan tokoh nasionalis terkemuka, Ir Sukarno. Selama menjadi narapidana, keluarga dan santri-santrinya tetap setia melanjutkan perjuangan kemerdekaan.
Setelah proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, KH Muhyiddin kemudian membentuk pasukan Hizbullah Pagelaran. Laskar itu terdiri atas kalangan santri, alumni santri, jamaah pengajian, dan masyarakat Subang umumnya.
Mereka dengan semangat jihad yang begitu berkobar ikut terlibat dalam berbagai aksi perjuangan. Misalnya, penyergapan konvoi tentara Nederlands Indie Civil Administration (NICA) di Ciater. Itu dilakukannya bersama dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dia ditahan di penjara Sukamiskin, Bandung, bersama dengan tokoh nasionalis terkemuka, Ir Sukarno.
Besarnya peran Kiai Muhyiddin dalam sejarah bangsa menggerakkan pelbagai pihak. Mereka mengharapkan, sang kiai dapat diakui negara sebagai salah satu pahlawan nasional. Dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu, guru besar ilmu sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Nina Herlina Lubis mengatakan, tokoh tersebut tergolong ulama pejuang. Perannya tak mungkin dinafikan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan RI.
“Tidak hanya bergabung dengan Hizbullah, KH Muhyiddin pun menjadikan Pesantren Pagelaran I (Tanjung Siang) sebagai markas pelatihan dan penggemblengan mental para pejuang Hizbullah,” ujar Prof Nina H Lubis.
Tak hanya itu, Kiai Muhyiddin juga pernah memimpin pasukan yang lebih besar. Mereka bermarkas di Ciwakari, bersama dengan sepasukan BKR yang dipimpin Kolonel Sukanda Manggala Brata. Mubaligh tersebut mengarahkan santri-santrinya untuk ikut berjuang melawan bangsa asing yang hendak menjajah kembali Tanah Air.
View this post on Instagram
Namun, dalam perjuangan meraih kemerdekaan ini, ia sempat mendapatkan ujian. Salah seorang putranya, Kiai Edeng Abdurohim, gugur dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Momen perjuangan itu terjadi pada masa revolusi, sekitar tahun 1946.
Setahun berikutnya, Kiai Muhyiddin ikut meredam pemberontakan yang dilakukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pihak yang hendak meneguhkan pemerintahan sendiri itu mengancam keutuhan Indonesia.
Sebagai seorang ulama yang disegani, Kiai Muhyiddin dengan tegas bersikap menolak keberadaan DI/TII. Sayangnya, justru terdapat sejumlah murid Kiai Muhyiddin di Hizbullah yang masuk dalam kelompok pimpinan Kartosuwiryo itu. Kondisi demikian tentu merugikan Kiai Muhyiddin karena bisa dianggap sebagai simpatisan DI/TII.
Sebagai seorang ulama yang disegani, Kiai Muhyiddin dengan tegas bersikap menolak keberadaan DI/TII.
Akhirnya, pasukan TNI pun sempat terseret arus kecurigaan. Mereka mulai memata-matai pergerakan Kiai Muhyiddin. Dikiranya, sang ulama adalah seorang pro-pemberontak DI/TII. Menyadari adanya kecurigaan tersebut, ia dan para pengikutnya pun terpaksa mengungsi ke Kabupaten Sumedang.
Setelah sampai di sana, Kiai Muhyiddin kemudian mendirikan Pesantren Pagelaran II. Ia pun membuka lagi majelis-majelis pengajian bagi para santri dan masyarakat setempat. Adapun Pondok Pesantren Pagelaran I di Cimeuhmal,Tanjungsiang, saat itu sudah mulai ditinggalkan. Sebab, area yang ada terlanjur direbut dan dijadikan sebagai salah satu markas DI/TII.
Pada 1962, para tokoh masyarakat kecamatan Cisalak Kabupaten Subang tiba-tiba mendatangi Kiai Muhyiddin dan memohon kepadanya untuk pindah ke Desa Gardusayang. Sebab, mereka memerlukan pengajaran agama dari seorang ulama. Tanpa berpikir panjang, ia pun pindah ke desa tersebut. Warga setempat merasa sangat suka cita.
Di desa ini, Kiai Muhyiddin kembali mendirikan sebuah pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Pagelaran III. Di sanalah, sang alim mendidik para santri serta membina masyarakat lokal.
Seiring berjalannya waktu, pesantren Pagelaran III terus mengalami perkembangan. Para santrinya pun tidak hanya berasal dari daerah Cisalak, tetapi juga dari daerah-daerah lain, seperti Subang, Purwakarta dan Sumedang.
View this post on Instagram
Pada masa Orde Lama, tidak sedikit kalangan ulama di Jawa yang mendapatkan tekanan dari kaum komunis. Apalagi, di pusat Presiden Sukarno seperti kian akrab dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhirnya, pada 1965 pemberontakan G30S/PKI bergejolak.
Di Jawa Barat, KH Muhyiddin termasuk kalangan yang diintimidasi komunis. Keadaan waktu itu sangat mencekam dan penuh ketakutan. Namun, berkat pertolongan Allah, Kiai Muhyiddin dan para santrinya selalu selamat dari ancaman pembunuhan para pemberontak.
Perjuangan KH Muhyiddin dalam membela Tanah Air mendapat perhatian dari pemerintah saat itu. Demi mengenang jasa-jasanya yang luhur, ia dianugrahi penghargaan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan.
Pada usia senja, KH Muhyiddin sudah mulai sakit-sakitan. Namun, ia tetap setia mengajar dan menebarkan dakwah Islam. Harapannya, generasi muda—khususnya para santri—dapat menyerap ilmu-ilmu agama dan spirit perjuangan. Hingga akhirnya, pada 30 November 1973, kiai tersebut berpulang ke rahmatullah dalam usia 95 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Cimeuhmal, Tanjungsiang, Subang, Jawa Barat.
Mama Pagelaran Layak Menjadi Pahlawan Nasional
KH Muhyiddin (1878-1973) merupakan seorang ulama besar yang berasal dari Garut, Jawa Barat. Sosok yang biasa disapa Mama Pagelaran itu tidak hanya istikamah di jalan dakwah. Sejarah mencatat, dirinya pun turut berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Berbagai pihak saat ini telah berupaya mengajukan nama Kiai Muhyiddin sebagai salah satu pahlawan nasional. Mereka beranggapan, negara sudah sepatutnya memberikan gelar tersebut kepada sang alim. Dengan begitu, riwayat hidup dan keteladanannya dapat kian diingat, terutama oleh generasi muda.
Pemerintah Kabupaten Subang dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat diketahui beberapa kali melakukan pertemuan untuk membahas usulan penganugerahan tanda jasa ini. Berdasarkan hasil laporan tim Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), Kiai Muhyiddin diyakini telah memenuhi kriteria sebagai pahlawan nasional.
Di antaranya, sang kiai tercatat telah melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya. Jerih payahnya itu dianggap telah melebihi tugas yang diembannya sebagai seorang pendakwah Islam.
Selain itu, perjuangan yang dilakukannya memiliki jangkauan yang luas serta berdampak secara nasional. Ia juga dinilai memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi. Dalam berjuang, tidak pernah dirinya menyerah pada musuh.
View this post on Instagram
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, Pemkab Subang mendukung penuh proses pengusulan Kiai Muhyiddin serbagai pahlawan nasional. Harapannya, pemerintah pusat dapat menganugrahi gelar pahlawan kepada ulama karismatik tersebut.
Pada 2020 lalu, Legiun Veteran RI, Dewan Harian Daerah Badan Pembudayaan Kejuangan ’45 Jawa Barat, dan Pemuda Panca Marga (PPM) menginisiasi pemancangan simbolis bambu runcing pada makam Mama Pagelaran di Subang. Kegiatan itu dimaksudkan sebagai tanda dukungan, sang ulama layak diakui negara sebagai pahlawan nasional RI.
“Semoga ini menjadi penyemangat kepada semua keturunannya, murid, jamaah dan masyarakat umum," ujar KH Banin Muhyiddin, salah seorang kerabat, seperti dikutip Republika dari laman resmi Pemprov Jawa Barat.
Turut hadir dalam kesempatan itu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Pria yang akrab disapa Kang Emil itu merupakan cucu dari KH Muhyiddin.” Banyak ulama di Jabar berjuang dengan ikhlas tanpa disebut nama. Generasi kini wajib memuliakanya," tutur mantan wali kota Bandung itu.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.