Kabar Utama
BMKG: Risiko Multibencana Meningkat
Indonesia memiliki risiko bencana geohidrometeorologi yang sangat tinggi.
JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan seluruh pihak untuk mewaspadai perubahan fenomena cuaca, iklim, dan tektonik. Menurut BMKG, perubahan fenomena alam itu menyebabkan risiko multibencana geohidrometeorologi semakin meningkat.
Imbauan itu disampaikan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional (Rakorbangnas) dan Peringatan ke-74 Hari BMKG yang digelar secara virtual pada Kamis (29/7). "Dari monitoring BMKG, fenomena cuaca, iklim dan tektonik di Indonesia cenderung makin dinamis, kompleks, tidak pasti, dan ekstrem, sehingga risiko kejadian multibencana geohidrameteorologi makin meningkat," kata Dwikorita dalam sambutannya.
Untuk itu, Dwikorita menekankan pentingnya peran edukasi dan literasi dalam mitigasi bencana. Tanpa kedua unsur itu, masyarakat bisa saja kesulitan atau bahkan tak paham peringatan dini yang dikeluarkan BMKG.
Menurut dia, BMKG terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan semua unsur guna menggencarkan edukasi dan literasi. "Ini penting untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan dalam respons informasi BMKG demi mewujudkan sikap waspada bahaya bencana," ucap Dwikorita.
Peringatan BMKG untuk mewaspadai bencana bukan tanpa alasan. Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah bencana terjadi di berbagai daerah.
Pada Selasa (28/7), gempa bumi dengan magnitudo 5,2 mengguncang wilayah Pacitan, Jawa Timur. Gempa terjadi di kedalaman 10 km. Koordinator Bidang Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami BMKG Daryono sebelumnya mengatakan, lokasi gempa dekat dengan sumber gempa besar yang merusak Pulau Jawa pada 27 September 1937.
Beberapa hari sebelum gempa Pacitan, gempa dengan magnitudo 6,5 melanda Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Tengah, Senin (26/7) malam. Ini merupakan gempa susulan setelah pada pagi hari gempa ber magnitudo 5,9 memicu guncangan kuat sekitar dua hingga tiga detik yang dirasakan masyarakat setempat.
Selain gempa, cuaca ekstrem berupa angin puting beliung menerjang sejumlah rumah warga Kecamatan Sei Balai dan Kecamatan Datuk Tanah Datar, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, Jumat (23/7) pukul 05.00 WIB. Meski 50 kepala keluarga (KK) terdampak, tidak ada korban jiwa akibat peristiwa tersebut.
View this post on Instagram
Dwikorita mengatakan, BMKG mengembangkan sejumlah inovasi teknologi guna mewujudkan upaya evakuasi "zero victim" atau nihil korban jiwa dalam menghadapi bencana geohidrometeorologi. Hal tersebut diperlukan guna mencegah terjadinya korban jiwa dan kerusakan akibat semakin kompleks, dinamis, dan ekstremnya fenomena cuaca iklim dan tektonik di Indonesia.
"Adapun inovasi yang telah dan sedang kami lakukan, antara lain, dengan adanya modernisasi teknologi, sistem dan peralatan observasi, dan processing data cuaca maritim, cuaca penerbangan, cuaca publik dan iklim yang terintegrasi dalam single platform," ujar Dwikorita.
BMKG, kata Dwikorita, bertekad beradaptasi maupun melakukan inovasi dari segi peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang cakap dan terampil dalam memonitor, menganalisis, memprediksi, serta memberikan informasi dan peringatan dini terhadap potensi multibencana geohidrometeorologi secara lebih cepat, tepat, dan akurat. Selain itu, melakukan penguatan flight information region (FIR) di 10 wilayah timur dan barat Indonesia di beberapa bandara.
Langkah lainnya, BMKG berinovasi dengan Integrated Global Greenhouse Gas Information System (IG3IS). Ini merupakan sistem integrasi untuk memberikan layanan informasi gas rumah kaca berupa prediksi sebaran ke depan dan estimasi gas rumah kaca dari berbagai jenis tata guna lahan.
Inovasi berikutnya adalah penguatan dan pengembangan teknologi untuk monitoring dan peringatan dini gempa bumi dan tsunami versi merah putih. "Kemudian pengembangan sistem peringatan dini multibahaya geohidrometeorologi," kata Dwikorita.
Perintah Presiden
Presiden Joko Widodo yang menghadiri Rakorbangnas BMKG mengatakan, Indonesia memiliki risiko bencana, baik geologi, hidrologi, dan meteorologi yang sangat tinggi. Bahkan, kata dia, jumlah kejadian bencana semakin meningkat signifikan tiap tahunnya.
“Frekuensi dan intensitasnya juga terus meningkat bahkan melompat. Kita bahkan mengalami multibencana dalam waktu bersamaan,” kata Jokowi saat memberikan sambutan.
Ia mencontohkan, rata-rata bencana gempa bumi yang terjadi pada kurun 2008-2016 sebanyak 5.000-6.000 dalam satu tahun. Namun, jumlah ini terus meningkat, pada 2017 menjadi 7.169 kali dan pada 2019 naik signifikan menjadi lebih dari 11.500 kali.
Jumlah gempa terus meningkat, pada 2017 menjadi 7.169 kali dan pada 2019 naik signifikan menjadi lebih dari 11.500 kali.JOKO WIDODO, Presiden RI
Begitu juga dengan cuaca ekstrem dan siklon tropis yang mengalami peningkatan frekuensi, durasi, dan intensitasnya. Ia mengatakan, periode ulang terjadinya El Nino atau La Nina pada 1981-2020 cenderung semakin cepat, yakni sekitar 2-3 tahunan, dibandingkan periode 1950-1980 yang berkisar 5-7 tahunan.
Untuk menghadapi tantangan yang semakin meningkat ini, Presiden menginstruksikan BMKG agar terus meningkatkan ketangguhan dalam menghadapi bencana, menguatkan manajemen penanganan bencana, dan meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi dan memitigasi bencana. Upaya ini penting agar dapat mengurangi risiko korban jiwa, kerusakan, dan kerugian harta benda.
Karena itu, Jokowi meminta agar BMKG mampu berinovasi dengan mengikuti perkembangan teknologi terbaru dalam memberikan layanannya kepada masyarakat. Adaptasi teknologi untuk observasi, analisis, prediksi, dan peringatan dini harus ditingkatkan lebih cepat dan akurat untuk meminimalkan risiko bencana.
Selain itu, ia meminta agar peringatan BMKG digunakan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan pemerintah di berbagai sektor. “Informasi dari BMKG seperti kekeringan, cuaca ekstrem, gempa, dan kualitas udara harus menjadi perhatian dan acuan bagi berbagai sektor dalam merancang kebijakan dan pembangunan,” tambah dia.
Presiden menekankan, kebijakan nasional dan daerah harus sensitif dan adaptif terhadap tingkat kerawanan bencana. Karena itu, sinergi dan kolaborasi antara BMKG dan kementerian lembaga serta pemerintah daerah harus diperkuat. “BMKG harus mampu memberikan layanan informasi yang akurat, yang dapat diperoleh dengan cepat dan mudah,” ucap Jokowi.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang sering dilanda bencana. Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat agar siap mencegah dan menghadapi bencana.
Muhadjir memaparkan data kebencanaan di Tanah Air yang terjadi dalam 1,5 tahun terakhir. Mayoritas bencana yang terjadi hidrometeorologi. "Indonesia negara di cincin api, bencana di Indonesia adalah keniscayaan sampai kapan pun. Sepanjang 2020 ada 2.925 kejadian bencana. Pada 2021 sampai Juli ada 1.500 bencana. 99 persen bencana hidrometeorologi," kata Muhadjir.
Muhadjir mengajak masyarakat untuk meningkatkan kapasitasnya dalam menghadapi berbagai jenis bencana. Sebab, segala macam bencana berpotensi terjadi di Tanah Air, seperti banjir, longsor, gempa, tsunami, angin topan, badai, erupsi gunung api. "Bangsa Indonesia ke depan ditarget siap hadapi bencana multisektor, multidimensi, kompleks," ujar Muhadjir.
Muhadjir menekankan segala hal tentang bencana dari mulai prabencana tanggap bencana, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana harus jadi perhatian. Menurutnya, seluruh rakyat Indonesia seharusnya siap berpatisipasi dalam proses tersebut. "Khusus tahap prabencana, maka pengurangan risiko bencana didorong. Investasi pengurangan risiko bencana kurangi kerugiaan akibat bencana," ucap Muhadjir.
Di sisi lain, Muhadjir mengakui betapa strategis dan vitalnya peran BMKG dalam informasi kebencanaan. Ia meminta BMKG untuk bisa menempatkan diri sebagai acuan pemerintah dalam mengambil kebijakan.
Perkuat Aturan Lingkungan
Greenpeace Indonesia mendorong pemerintah memperkuat payung hukum atau aturan yang berkaitan dengan lingkungan. Hal ini dinilai mendesak dilakukan demi mengurangi tingkat kerusakan lingkungan, sehingga dampak bencana di Indonesia dapat diminimalkan.
Direktur Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menilai, persoalan lingkungan di Indonesia sudah terlanjur kompleks. Hal ini pula yang menurutnya ikut menyumbang semakin tingginya frekuensi bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Menurut dia, banjir besar di Kalimantan Selatan awal 2021, banjir di DKI Jakarta awal 2020, dan bencana serupa di daerah lain punya korelasi erat dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. "Itu dari sisi kehutanan. Kalau dari sisi energi, pemerintah perlu mempercepat transisi ke energi baru terbarukan," kata Leonard, Kamis (29/7).
Terkait peraturan, Leonard menilai pemerintah perlu membuat kebijakan moratorium izin perkebunan sawit menjadi permanen. Leonard menyebutkan, aturan yang sebelumnya masih berwujud Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2018 tersebut, perlu dinaikkan kekuatan hukumnya menjadi peraturan presiden (Perpres).
Aturan lainnya yang perlu dinaikkan kekuatan hukumnya, yakni soal moratorium izin kawasan hutan yang tertuang dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2019. Aturan ini memang menyetop perizinan untuk kawasan hutan primer dan gambut, namun dianggap belum terimplementasi maksimal di lapangan.
Leonard menekankan, Indonesia perlu menjaga hutan yang tersisa di Indonesia. Kerusakan hutan di Sumatra dan Kalimantan sudah terlanjur parah. Usaha terakhir yang bisa dilakukan adalah menjaga tutupan hutan yang tersisa, terutama di Papua.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Rakorbangnas BMKG pada Kamis (29/7) mengatakan, seluruh pihak mesti mewaspadai meningkatnya risiko multibencana geohidrometeorologi. Risiko meningkat seiring perubahan iklim, cuaca, dan tektonik yang semakin tak pasti.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah terus mendorong pengembangan skema pendanaan baru untuk mendukung upaya mitigasi bencana atas dampak perubahan iklim. Salah satu skema yang telah dikembangkan adalah blended finance.
"Contohnya adalah green sukuk, fasilitas de-risking untuk menarik investasi swasta dalam proyek infrastruktur yang berdampak pada perubahan iklim, green financing, serta platform SDG Indonesia One," kata Luhut, Kamis (29/7).
Luhut menambahkan, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Selama lima tahun terakhir, rata-rata pengeluaran untuk aksi perubahan iklim mencapai Rp 86,7 triliun per tahun.
Sekitar 76,5 persen dari anggaran tersebut dimanfaatkan untuk aksi mitigasi dan lintas sektor dan 23,5 persennya digunakan untuk mendanai aksi adaptasi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.