Mujadid
KH Mustofa Kamil, Berjuang Hingga Titik Penghabisan
KH Mustofa Kamil turut serta dalam jihad nasional 10 November 1945.
OLEH MUHYIDDIN
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sangat menghormati para ulama dan pejuangnya. Mereka dinilai telah berjasa besar, khususnya dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri. Semangat juangnya pun terus menginspirasi dari generasi ke generasi.
Di Garut, Jawa Barat, terdapat banyak alim yang berkiprah dalam memajukan Indonesia. Di antara mereka ialah KH Mustofa Kamil. Khususnya bagi masyarakat setempat, ketokohan sang dai tak lekang oleh waktu.
Dari Kota Intan, julukan untuk Garut, Kiai Mustofa mengobarkan semangat perjuangan. Dalam tiga masa berturut-turut, yakni era penjajahan Belanda, pendudukan Belanda, dan zaman revolusi, dirinya terus berusaha membangkitkan gelora jihad fii sabilillah di tengah masyarakat, khususnya kaum santri.
Pada 10 November 1945, ia terjun ke medan perang untuk melawan sekutu bersama Bung Tomo di Surabaya, Jawa Timur. Demi mengenang jasa-jasanya, pemerintah Indonesia pun menetapkan KH Musofa Kamil sebagai perintis kemerdekaan Republik Indonesia. Itu sebagaimana tertuang dalam surat Keputusan Menteri Sosial No Pol 159/PK tertanggal 23 Februari 1959.
Tokoh ini memiliki nama asli Muhamad Lahuri. Ia lahir di Garut pada 5 Agustus 1884. Kedua orang tuanya bernama KH Muhammad Jafar Sidiq dan Hajjah Siti Habibah. Ayahnya sudah menanamkan dasar-dasar ilmu agama kepadanya sejak dini.
Selain belajar langsung kepada bapaknya, Mustofa Kamil juga mengaji bersama teman-temannya di pesantren miliki orang tuanya. Sejak saat itu, kecerdasan Mustafa kecil sudah tampak menonjol dibandingkan teman-temannya, khususnya dalam bidang keagamaan.
Nama “Mustofa Kamil” dipilihnya sejak usai menunaikan ibadah haji. Dilihat dari silsilahnya, ia masih berdarah wali songo, yaitu keturunan ke-13 dari Syekh Maulana Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.
Setelah beranjak dewasa, ia pun mengunjungi beberapa daerah untuk memperdalam agama Islam. Dasar-dasar Islam yang kuat dari ayahnya menjadi bekalnya untuk menempuh pendidikan di pesantren lain. Beberapa lembaga tempatnya menimba ilmu ialah Pesantren Biru Garut, Pesantren Pangkalan, Peantren Dukuh, Pesantren Surajaya Cirebon, dan Pesantren Kuningan. Dirinya pun sempat nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari.
Mustofa Kamil pertama kali menunaikan haji pada 1900-an. Kesempatan itu pun diambilnya juga sebagai jalan meneruskan pendidikan. Di Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah, dirinya menuntut ilmu pada banyak alim ulama setempat. Salah seorang patronnya di sana ialah Syekh Haji Salim, seorang pedagang Garut yang sudah lama bermukim di Makkah.
Selama di Tanah Suci, Mustofa Kamil dikenal sebagai sosok yang memiliki akhlak terpuji. Karena itu, saat ia meminang putri Syekh Haji Salim, pihak keluarga tanpa ragu menyetujuinya. Ia pun menikah dengan Hj Siti Aminah. Pasangan ini dikarunai seorang putri yang bernama Robiah.
Selama belajar di Makkah, Kiai Mustofa banyak dipengaruhi oleh guru-gurunya. Mereka umumnya berasal dari Afrika Utara dan Asia Barat. Dari penuturan mereka pula, dirinya mendapatkan kisah tentang pahit getirnya perjuangan melawan penjajah. Sejak itu, ia pun semakin kuat berkeyakinan bahwa penjajahan tidak sesuai dan tidak akan pernah selaras dengan ajaran Islam.
Sikap penentangan terhadap penjajah tersebut kemudian ia tularkan kepada para jamaah haji Indonesia. Hampir setiap tahun, ia beroasi di depan para jamaah haji Indonesia dan menegaskan bahwa penjajahan di muka bumi Indonesia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Setelah mendengar orasi-orasi Kiai Mustofa, semangat jamaah haji Indonesia pun semakin kuat untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Bahkan, mereka sudah siap untuk ikut berjuang merebut kemerdekaan dan akan melawan setiap kebijakan penjajah yang merugikan rakyat Indonesia.
Kiai Mustofa sendiri sudah tak tahan lagi untuk ikut serta dalam perjuangan rakyat Indonesia. Hingga akhirnya, ia pun pulang ke Tanah Air pada 1924 dan tinggal di daerah Ciparay, Karangpawitan, Garut, Jawa Barat.
Selanjutnya, ia terus melakukan propaganda antipenjajah. Dalam setiap ceramahnya, ia selalu mengajak kepada masyarakat agar tidak menuruti apa yang inginkan penjajah. Bahakan, dengan tegas Kiai Mustofa mengharamkan setiap regulasi buatan penjajah.
Sang “Kiai Jerajak”
Perjuangan KH Mustofa Kamil dimulai sejak berdirinya cabang Syarikat Islam (SI) pada 1914 di Garut. Melalui ormas Islam inilah ia mensyiarkan agama Islam kepada masyarakat Garut. Kiai Mustofa juga menjadikan organisasi ini sebagai alat perjuangan untuk melawan penjajah.
Dalam buku K.H. Mustofa Kamil: Sang Pendekar dari Kota Intan, Budi Suhardiman mengatakan, sosok Kiai Mustofa memang tidak lepas dari sejarah SI di Garut. Menurut dia, SI telah menjadikan tokoh tersebut sebagai seorang ulama pemberani. Pemikiran-pemikiran keislaman dan kebangsaan yang marak di organisasi tersebut turut menempanya agar rela berkorban demi bangsa dan negara.
Saat melakukan pertemuan dengan para pengurus ranting dan anggota SI, Kiai Mustofa selalu memberikan motivasi dan semangat agar mereka ikut terus berjuang melawan penjajah. Sebagai akibatnya, kesadaran masyarakat untuk ikut mempertahankan Tanah Air dari penjajahan pun semakin meningkat.
Selain rajin berdakwah ke daerah-daerah, Kiai Mustofa juga berperan sebagai guru agama di madrasah milik Syarikat Islam. Salah satunya adalah Madrasah Al Islamiah di Kampung Lio Garut. Di madrasah inilah ia membekali generasi muda dengan ilmu agama Islam.
Kiai Mustofa terlibat dalam kepengurusan Syarikat Islam dari 1916 sampai 1940. Melalui SI, ia bersama pengikutnya selalu menentang setiap kebijakan yang dibuat Belanda. Dengan sikap yang tegas dan keras itu, ia pun harus keluar masuk penjara sebanyak 14 kali.
Karena itu, Bung Karno menjuluki Kiai Mustofa Kamil sebagai “Kiai Jerajak.” Sebab, seringnya sang alim masuk-keluar penjara pada zaman kolonial. Hal ini disampaikan sang Penyambung Lidah Rakyat kepada seorang wartawati Amerika Serikat, Cindy Adams, yang juga penulis otobiografinya.
“Ada di antara pejuang kita yang selalu keluar masuk bui secara tetap. Seorang pemimpin asal Garut (Kiai Mustofa). Dia sudah masuk 14 kali. Pembesar di sana menamakannya sebagai pengacau,” kata Bung Karno sebagaimana dilaporkan Cindy.
Tentu, cap “pengacau” itu dalam perspektif kolonial. Namun bagi Bung Karno dan seluruh rakyat Indonesia, mubaligh tersebut adalah seorang pejuang sejati.
Pemerintah Belanda memang selalu mengawasi dan mencurigai gerak-gerik Kiai Mustofa. Bagaimanapun kerasnya tekanan dari rezim kolonial, ia merasa lebih baik mati daripada harga diri bangsa Indonesia diinjak-injak para penjajah. Sikapnya ini menunjukkan bahwa dirinya benar-benar seorang ulama-pejuang yang gigih dalam merebut kemerdekaan.
Bahkan, persitiwa Cimareme pada 1919 juga tak terlepas dari peran Kiai Mustofa. Setelah peristiwa yang banyak memakan korban itu, Belanda menangkap para tokoh SI dan tokoh Islam lainnya dengan menyebar fitnah, termasuk KH Mustofa Kamil. Saat itu ia dihukum selama dua tahun dari 1919 sampai 1921.
Dalam berdakwah Kiai Mustofa selalu menunjukkan sikap penentangan terhadap Belanda. Misalnya, ketika berkhutbah Jumat. Dirinya tidak mau mematuhi aturan pemerintah kolonial yang mengharuskan teks khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Menurutnya, bahasa Sunda jauh lebih efektif dan komunikatif, apalagi tidak melanggar syariat ibadah. Maka dari itu, ia selalu menyampaikan khutbah atau ceramah apa pun di masjid-masjid dengan bahasa lokal.
Pada 1923, akhirnya Kiai Mustofa kembali dijebloskan ke dalam penjara Garut. Hanya sebentar di sana, dirinya lantas dipindahkan ke rumah tahanan Sukamiskin, Bandung. Meskipun di dalam penjara, ia tetap menyempatkan diri untuk berdakwah, terutama kepada para tahanan lain.
Pada 10 Maret 1942, Belanda akhirnya menyerahkan kekuasannya di Nusantara kepada Jepang. Dai Nippon sempat digadang-gadang sebagai “saudara tua” Indonesia. Nyatanya, Negeri Matahari Terbit toh berlaku sebagai penjajah.
Menghadapi keadaan tersebut, Kiai Mustofa bersama dengan teman-temannya menyusun strategi baru. Meresponsnya, Jepang sempat menawari Kiai Mustofa untuk bekerjasama dalam berbagai hal. Namun, ajakan tersebut dengan tegas ditolaknya. Akibatnya, ia pun harus kembali menghuni penjara untuk kesekian kalinya, yaitu pada 1942-1943.
Setelah keluar penjara, Kiai Mustofa bersama tokoh lainnya kemudian berperan aktif melalui gerakan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berdiri pada 1937. Namun, pada 24 Oktober 1943 organisasi ini dibubarkan oleh pemerintah Jepang dan sebagai gantinya Jepang membentuk organisasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1943.
Dalam organisasi yang baru ini, Kiai Mustofa tercatat sebagai salah satu aktivis Masyumi wilayah Priangan. Ia terus bergerak mengadakan pengajian ke berbagai daerah untuk menanamkan ajaran Islam dan membangkitkan semangat juang melawan penjajah.
Hingga akhirnya ia mencapai puncak perjuangannya dengan berjuang bersama Bung Tomo di Jawa Timur. Ajang pertempuran melebar, tidak hanya di kawasan Surabaya. Saat ikut berjuang di daerah Gedangan, Sidoarjo, sang alim tertembak musuh. Pada 10 November 1945, ulama Garut tersebut gugur sebagai seorang syuhada.
Memimpin laskar Hizbullah
Pada masa pendudukan Jepang, salah satu organisasi yang terbentuk di Indonesia adalah Laskar Hizbullah. Berdiri sejak 1944, laskar ini menjadi medium pendidikan paramiliter bagi kalangan pemuda dan santri. Di dalam dada mereka, tertanam semangat mempertahankan Tanah Air. Bahkan, hal itu diyakini sebagai sebuah jihad di jalan Allah (fii sabilillah).
Di Garut, Jawa Barat, antusiasme orang-orang untuk ikut Laskar Hizbullah juga membara. Di antara mereka ialah para santri dan pengikut KH Mustofa Kamil. Berkat kedalaman ilmunya, sang kiai juga dipercaya untuk melatih Laskar Hizbullah. Pesertanya tidak hanya datang dari Garut, melainkan berbagai daerah.
Dalam setiap latihan dan perang, laskar Hizbullah ini selalu dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Kalimat takbir menjadi penyemangat pasukan Hizbullah dalam menghadapi musuh. Karena itu, mereka pun terpicu oleh seruan takbir yang digemakan Bung Tomo pada November 1945 melalui radio; seruan untuk melawan pasukan Sekutu yang hendak melumat Surabaya.
Karena memerukan bantuan dari pemuda dan ulama, Bung Tomo juga mengajak para kiai untuk bergabung berjuang melawah penjajah di ibu kota Jawa Timur itu. Salah satu kiai yang disebut namanya oleh Bung Karno adalah KH Mustofa Kamil dari Garut.
Dengan semangat yang membara, akhirnya Kiai Mustofa bersama para Laskar Hizbullah Garut terjun melawan musuh di Surabaya pada 10 November 1945. Mereka berangkat ke kota tujuan dengan menggunakan kereta api. Pada saat itu, daerah Wonokromo dijadikan markas para pejuang.
Untuk menuju daerah ini, Kiai Mustofa berangkat dari Malang dengan dikawal oleh 17 orang santri. Namun, saat itu sedang terjadi peperangan yang sangat hebat dan serangan dari musuh sangat gencar. Pada situasi yang sangat genting itu, rombongan laskar Hizbullah yang dipimpin Kiai Mustofa akhirnya terpencar.
Setelah bertempur selama 25 hari bersama Bung Tomo, akhirnya Kiai Mustofa meninggal sebagai syuhada dalam sebuah pertempuran heroik di daerah gedangan, Sidoarjo, Surabaya. Jenazahnya dimakamkan oleh masyarakat setempat dan disatukan di dalam pemakaman umum. Makamnya masih misteri dan terus dicari oleh pihak keluarga, namun sampai saat ini masih belum berhasil ditemukan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.