Khazanah
Menyelami Esensi Kurban
Ibadah kurban berarti menyembelih hewan kurban dengan menyebut asma Allah Ta’ala.
OLEH HASANUL RIZQA
Dalam surah al-Kautsar, Allah SWT memerintahkan orang beriman untuk berkurban. Ibadah kurban berarti menyembelih hewan kurban dengan menyebut asma Allah Ta’ala.
Adapun daging kurban itu dibagi-bagikan kepada fakir miskin serta orang-orang yang membutuhkan. Pengamal ibadah tersebut tidak mengharapkan selain ridha Ilahi.
Menurut ajaran Islam, kurban telah dicontohkan bahkan sejak zaman sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Adalah Nabi Ibrahim AS yang memberikan teladan tentang bagaimana kurban harus dilakukan.
Ketika Allah memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Ismail AS, maka perintah itu dilakukan sepenuh hati. Kerelaan beliau sudah teruji. Begitu pun dengan Nabi Ismail.
Allah pun berkehendak, Ismail yang akan disembelih, terganti tiba-tiba dengan seekor kambing. Itulah awal mula disyariatkannya ibadah kurban bagi umat Islam.
Keikhlasan
Teladan Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS itu mengajarkan kepada kita tentang makna ikhlas. Kedua utusan Allah SWT itu menunjukkan bahwa segalanya adalah milik-Nya. Semua itu adalah amanah, yang kepada-Nya jua akan kembali.
Islam mengajarkan umatnya agar berjiwa rela berkurban apa saja demi bertakwa kepada Allah Ta’ala. Maka, ibadah yang berlangsung kala Idul Adha ini hendaknya dipahami sebagai ajang melatih keikhlasan diri. Tentunya, kualitas demikian tak cukup dengan simbolisme belaka, semisal menyembelih hewan kurban, apalagi dengan kehendak riya di hadapan manusia.
Kata ikhlas berakar dari khalasha yang berarti ‘jernih’, ‘bersih’, atau ‘murni.’ Dalam konteks amal ibadah, seorang yang ikhlas (mukhlis) adalah orang yang beramal saleh hanya karena Allah SWT semata. Harapannya ialah meraih ridha-Nya, bukan yang lain.
Solidaritas Sosial
ibadah kurban pun dapat menumbuhkan dan meningkatkan empati. Dengan berempati, seseorang bisa merasakan penderitaan orang lain. Rasulullah SAW memberikan contoh tentang pentingnya kepekaan demikian.
Teladan beliau pun dicontohkan para sahabatnya, semisal Umar bin Khattab. Sewaktu menjadi khalifah, al-Faruq selalu mengutamakan tenggang rasa. “Bagaimana mungkin aku dapat memperhatikan rakyat, bila aku tidak merasakan penderitaannya?” katanya.
Dengan berkurban, seorang Mukmin mengikis ego individualistisnya. Secara nyata, orang-orang miskin pun dapat merasakan kegembiraan dengan menerima daging kurban. Bagi yang memberi maupun penerima sama-sama ringan hati. Tentunya, semua itu dapat menguatkan solidaritas sosial di tengah umat Islam.
Bersyukur
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah” (QS al-Kautsar:1-2). Seperti tersirat dalam terjemahan surah itu, dalam ibadah kurban ada pesan agar seorang Mukmin meningkatkan rasa syukur.
Shalat dan kurban dalam ayat itu disandingkan sebagai bentuk ekspresi syukur yang diungkapkan seorang hamba Allah. Dengan shalat, kita bersyukur karena Allah telah menganugerahkan begitu banyak nikmat.
Adapun berkurban merupakan simbolisasi rasa syukur dengan cara mengorbankan sebagian harta yang dimiliki. Kurban itu lalu dibagi-bagikan kepada mereka yang memerlukan, sesuai ketentuan syariat.
Terlebih lagi, dalam situasi pandemi seperti saat ini. Kita yang masih diberi kelapangan rezeki dan kesehatan seyogianya banyak-banyak bersyukur. Jangan sampai harta benda yang ada justru membuat diri kufur nikmat.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.