Khazanah
MUI: Hati-Hati Pilih Berita pada Era Banjir Opini
Masyarakat menginginkan berita yang sesuai dengan kepentingan umat Islam.
JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan masyarakat agar pandai memilih berita pada era banjir opini. Sebab, terlalu banyaknya opini akan menenggelamkan fakta.
Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) MUI KH Masduki Baidlowi mengatakan, pada era post truth atau era pascakebenaran, media apa pun dipakai untuk mengirim pesan. Keadaan seperti ini membuat masyarakat harus berhati-hati memilah-milah berita.
"Karena akhirnya fakta itu hilang karena tenggelam oleh banjirnya opini," kata Kiai Masduki saat sarasehan jurnalis lintas agama bertema “Peran Media Keagamaan dalam Mewujudkan Harmonisasi Keberagaman” secara daring, Rabu (14/7). Kegiatan ini digelar Institut Leimena bersama Komisi Informasi dan Komunikasi MUI.
Lebih lanjut, Kiai Masduki mengingatkan, sekarang tidak seimbang antara fakta yang bergerak linier dengan opini yang membanjiri masyarakat. Akhirnya yang terjadi, opini dianggap sebagai kebenaran, bukan sebagai fakta karena fakta sudah tenggelam. Dalam kondisi seperti ini menjadi sangat penting bagi siapa pun berbicara dengan fakta.
Dalam forum yang sama, Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho mengatakan, pemberitaan terkait keagamaan memiliki dampak yang luas, yakni dapat membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat. Hal ini disebabkan karakter masyarakat Indonesia yang religius.
Menurut dia, jurnalis lintas agama, khususnya media keagamaan, masih jarang diperhatikan. Padahal peran mereka sangat penting. Berdasarkan survei global tahun 2020 oleh lembaga penelitian internasional yang terkenal menunjukkan, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar yang paling religius sedunia.
"Kepercayaan kepada Tuhan penting bagi 96 persen penduduk Indonesia sehingga pemberitaan terkait agama ikut membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat kita," kata dia.
Ia menerangkan, media keagamaan yang sering kali dianggap media bagi kalangan sendiri sebenarnya berpengaruh melampaui kalangan umatnya sendiri. Sebab, konten media keagamaan itu membentuk cara pandang masyarakat terhadap yang berbeda agama. Bahkan mungkin media keagamaan lebih berpengaruh daripada media arus utama.
Matius juga menyoroti dampak pandemi Covid-19 yang semakin mempersempit ruang perjumpaan dan dialog antaragama. Sebenarnya sebelum pandemi terjadi, dialog antaragama sudah terbatas di kalangan tertentu saja. Bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk, hal ini bisa berakibat fatal.
"Kita semakin merasa benar di lingkungan sendiri yang semakin sempit. Sarasehan (acara ini) menjadi sangat penting untuk memperbanyak dan memperlebar ruang-ruang perjumpaan. Hal ini perlu didukung bersama agar terus berkelanjutan dan semakin meluas," ujarnya.
Sementara, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti menyampaikan, media-media keagamaan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan bagaimana harmoni dalam kehidupan beragama pada era digital dapat terjalin dengan sebaik-baiknya.
Pada awalnya, menurut dia, media-media keagamaan itu dikembangkan dan dipublikasikan untuk kepentingan internal, baik yang bersifat komunikasi maupun yang bersifat pembinaan iman. Serta berbagai hal lain yang berkaitan dengan fungsi-fungsi keagamaan dari lembaga-lembaga keagamaan.
Namun, pada perkembangannya, media-media keagamaan terutama yang ditampilkan dalam bentuk media sosial maupun media yang ditampilkan lewat website, tidak menjadi domain internal lagi. “Namun, itu menjadi bagian dari domain yang bisa diakses oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja.”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.