Pasukan militer Amerika Serikat bersiap untuk menjalani tugas di Kandahar, Afghanistan, pada 2001 silam. | John Moore/AP

Opini

Afghanistan dan Negara 'Yatim Piatu'

Dari awal, strategi AS memasuki panggung kedaulatan Afghanistan menunjukkan banyak kontradiksi.

SAIFUL MAARIF, ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag

Suatu ketika, (mantan) Sekretaris Jenderal PBB Boutros-Boutros Ghali pernah mengatakan, Afghanistan adalah “Negara Yatim Piatu”, untuk menilai Afghanistan sebagai negara yang sendirian di tengah segala sengkarut konflik yang dihadapinya.

Uni Soviet pernah hadir dengan arogansi militer dan jualan ideologi komunismenya. AS menyusul dengan kekuatan militer dan kampanye antiterornya. Setelah era Perang Dingin, berbagai lembaga bantuan internasional dan organisasi HAM beroperasi di Afghanistan.

Di samping karena keunikan dan tantangan keberagaman Afghanistan, berbagai pihak yang memberi bantuan tersebut gagal memberi fondasi stabilitas dan konsolidasi kebangsaan dan kenegaraan Afghanistan.

Di tengah bencana Covid-19, kesediaan menggelar beragam proses dan konsolidasi antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban di Doha, Qatar serta lokasi lainnya, menumbuhkan harapan baru untuk nilai perdamaian yang bisa disepakati bersama.

 
Di samping karena keunikan dan tantangan keberagaman Afghanistan, berbagai pihak yang memberi bantuan tersebut gagal memberi fondasi stabilitas dan konsolidasi kebangsaan dan kenegaraan Afghanistan.
 
 

Di titik ini, AS menjadi penengah. Meski diawali penumbangan kekuasaan Taliban, AS akhirnya harus berunding dengan mereka. Kini, negara yatim piatu itu ditinggal AS dan sekutunya di tengah konsolidasi internal yang belum jelas.

Bukan perhatian utama

Ketidakjelasan arah tersebut, bisa jadi memang bukan perhatian AS  dan sekutunya selama di Afghanistan, untuk tidak mengatakannya disengaja. Kampanye war on terror pascatragedi 9/11 ditiup lebih kencang sehingga konsolidasi tak lebih penting darinya.  

Laporan berbagai media menggambarkan dengan baik hal demikian. Aljazirah, misalnya, detail memotret kegelisahan warga lokal menghadapi kemungkinan kembalinya rezim Taliban yang dinilai keras dan tanpa kompromi.

Sebagian lainnya, mulai bisa menerima Taliban yang dinilai cukup membuka diri atas batasan kaku yang sebelumnya mereka lakukan. Kecanggungan ini bisa memicu kembalinya kekuasaan represif Taliban dan mengundang kekuatan ekstremis.          

Dari awal, strategi AS memasuki panggung kedaulatan Afghanistan menunjukkan banyak kontradiksi. Jika dimaksudkan memberantas Alqaidah, kenyataannya Usamah bin Ladin dan kekuatannya telah pindah ke Pakistan hingga akhir hayatnya.

 
Dari awal, strategi AS memasuki panggung kedaulatan Afghanistan menunjukkan banyak kontradiksi.
 
 

Dan sikap menyamakan Taliban dengan Alqaidah dapat menimbulkan persepsi berbeda. AS dan sekutunya dilematis dalam menilai keterkaitan Taliban dan Alqaidah dengan kecenderungan lebih pada tuduhan persekongkolan di antara mereka.

Namun, dalam kesaksian jurnalis Yvonne Ridley di Middle East Monitor awal tahun ini, tokoh penting Taliban Wakil Ahmad Mutawakkil mengatakan, Taliban bahkan ingin menyerahkan Usamah ke AS jauh sebelum peristiwa 9/11.

Mutawakkil menjamin, Taliban tak pernah ingin bertempur dengan AS tapi juga tak ingin pelibatan kekuatan militer asing. Memori kolektif bangsa Afghanistan masih kuat soal perang melawan tentara Soviet yang menjadi momen embriotik munculnya gerakan Taliban.

Nalar kekerasan kolektif

Saat konsolidasi dimulai dan menumbuhkan harapan baru, kebingungan dan kekhawatiran publik Afghanistan munguar seiring keputusan AS dan sekutunya meninggalkan mereka. Namun, semua kebingungan terasa tepat berada dalam simpulan Hamid Dabashi.

Dalam esainya mengenai tragedi pembantaian Tulsa di Middle East Eye belum lama ini, Dabashi dengan tajam menilai kecenderungan Pemerintah AS dan warganya yang mudah menutup mata atas tragedi berdarah di tanah air mereka sendiri.

Tragedi Tulsa terjadi pada 1921, saat sekelompok perampok kulit putih membantai ratusan warga kulit hitam dan membakar rumah mereka di Distrik Tulsa, Oklahoma.

 
Tak ayal, hipokrisi dominasi rasis kulit putih tersebut mewujud dalam tindak kekerasan yang terus berlangsung secara laten dan nyata, turut mewarnai sistem pendidikan AS, dan mewarnai struktur politik luar negeri mereka kini.
 
 

Hingga kini, tragedi tersebut tertutup rapi dalam sejarah AS dengan hipokrisi para sejarawannya, dilengkapi acuh dan dinginnya tokoh atau pesohor AS kini, dan dibungkus semangat “multikulturalisme”.

Tak ayal, hipokrisi dominasi rasis kulit putih tersebut mewujud dalam tindak kekerasan yang terus berlangsung secara laten dan nyata, turut mewarnai sistem pendidikan AS, dan mewarnai struktur politik luar negeri mereka kini.

Perang besar dengan investasi megatriliun AS di Afghanistan, diawali ambisi George Bush dengan nalar perang dan darah dinginnya pada Islam. Di sisi lain, ambisi tersebut didukung nalar kolektif pembiaran terhadap fakta pembantaian di negara tersebut.     

Meninggalkan Afghanistan sendirian dengan ancaman disintegrasi dan kekerasan di depan mata bisa jadi dilakukan karena beberapa kondisi kecukupan.

Pertama, AS merasa cukup dengan kampanye war on terror di kawasan Afghanistan, tapi tidak dengan keberadaan Alqaidah.

AS sadar, kini Alqaidah telah bergerak ke Yaman, Afrika Utara, dan negara lain dengan berbagai terornya. Karena itu, bertahan lebih lama di Afghanistan tidak lagi relevan dalam hitungan politik dan militer, bukan dalam hitungan nilai kemanusiaan.  

Kedua, kecukupan atas makna subversif damai. Tak jauh dari Afghanistan, AS mendorong “perdamaian” yang dibangun dari superioritas Israel atas negara Timur Tengah lewat Abraham Accord. Ini menumbuhkan harapan lebih prospektif daripada di Afghanistan.

Akhirnya, kevakuman kekuasaan yang stabil dan keamanan yang kuat mau tidak mau akan menjadi tantangan berat pemerintahan Afghanistan yang hingga kini belum berjalan normal. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat