Arsitektur
Masjid Sultan al-Nashir Muhammad, Legasi dari Dinasti Mamluk
Masjid Sultan al-Nashir Muhammad menjadi tempat para raja Mamluk melaksanakan shalat Jumat dan hari raya.
OLEH HASANUL RIZQA
Dalam sejarah peradaban Islam, Mesir pernah dikuasai raja-raja yang merupakan keturunan budak. Dalam bahasa Arab, kaum budak disebut sebagai mamalik. Maka dari itu, periode kekuasaan mereka dinamakan mamluk.
Di Negeri Piramida, Dinasti Mamluk berjaya sejak pertengahan abad ke-13. Barulah ketika Turki Utsmaniyah berhasil mengalahkan Mesir pada 1517, wangsa tersebut runtuh. Dalam masa sekira 300 tahun itu, para keturunan mamalik telah membangun negerinya sesuai visi dan misi masing-masing.
Salah seorang penguasa Mamluk ialah al-Nashir Muhammad bin Qalawun (1285-1341 M). Di Kairo, raja yang memerintah selama tiga periode itu mendirikan sebuah masjid megah. Begitu selesai dibangun pada 1318, tempat ibadah itu diberi nama sesuai dengan dirinya, yakni Masjid Sultan al-Nashir Muhammad.
Sebelum pengerjaan dimulai, sang sultan menggelontorkan uang untuk proyek ini. Pada akhirnya, dana yang terhimpun melebihi batas alias surplus. Al-Nashir lalu mengalokasikan anggaran yang tersisa untuk membebaskan lebih banyak lahan di sekitar masjid. Dengan begitu, pelbagai fasilitas pendukung untuk kenyamanan jamaah dapat didirikan di sekitarnya.
Ketika Masjid Sultan al-Nashir Muhammad selesai dibangun, penguasa Mamluk ini memanggil seluruh muazin dan pengkhutbah dari seluruh sudut kota. Sultan memilih ulama dan imam yang terbaik untuk melayani dan berkhidmat di masjid yang didirikannya. Ia menaruh perhatian besar pada kemakmuran masjid ini.
Sepeninggalannya, masjid tersebut terus dipakai oleh para sultan Mamluk untuk beribadah, utamanya shalat Jumat dan dua hari raya. Lokasi kompleks ibadah ini terletak di seberang jalan menuju Masjid Muhammad Ali. Hingga kini, bangunan itu masih tegak berdiri. Oleh pemerintah Mesir, ia digolongkan sebagai salah satu situs wisata sejarah dan religi.
Kompleks Masjid Sultan al-Nashir Muhammad menempati area seluas 63x57 meter persegi. Di sekelilingnya, terdapat taman yang cukup rindang. Secara keseluruhan, bangunan tersebut menjadi bagian dari keseluruhan kawasan Kairo Lama.
Pintu masuk utamanya berada di barat dan dibuat menonjol. Selain itu, ada pula pintu masuk yang terletak di sisi timur laut dan di selatan. Pada masanya, pintu bagian selatan itu menjadi lokasi khusus bagi sultan-sultan Mamluk untuk memasuki masjid ini.
Sebuah tulisan terukir di atas pintu masuk. Ukiran berbahasa Arab itu memiliki arti, “Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia yang memerintahkan pembangunan masjid ini, Yang Maha Memberkati. Demi Allah yang nama-Nya ditinggikan adalah Tuhan kami, Sultan dan Raja—yang menaklukkan dunia—Nasir Muhammad, anak dari Sultan Qala’un (masjid ini dibangun) pada bulan dan tahun 718 Hijriah.”
Pintu lain pun terdiri dari kalimat-kalimat yang sama. Tulisan-tulisan di sekeliling bangunan juga merupakan bacaan yang lebih religius. Tak seperti masjid lain di Kairo, dinding luar masjid tidak berpanel dan tidak banyak dekorasi, kecuali sebuah menara benteng yang dibuat persegi dan membulat di bagian atasnya.
Kompleks Kairo Lama memang bercirikan bangunan-bangunan berbentang. Hal itu menunjukkan model militer yang dipilih para sultan Mamluk untuk pusat pemerintahannya. Menara-menara benteng dibuat di sekeliling Masjid Sultan al-Nashir Muhammad dengan bentuk bertingkat. Pengunjung dapat menjumpai dua menara yang berbahan dasar batu. Yang satu berdiri di sudut sebelah timur laut, sedangkan yang lain berada di sisi barat laut.
Menara pertama dibuat lebih tinggi dibandingkan menara kedua. Menara sebelah barat dibuat membentuk kerucut dengan dinding yang dibuat motif zig-zag yang vertikal pada tingkat pertama dan horizontal pada tingkat kedua. Motif zig-zag ini merupakan yang pertama di Mesir. Menara barat ini meneruskan tradisi Kairo yang menempatkan menara di atas pintu utama.
Di dinding dekat fondasi menara bagian timur laut terdapat sebuah balkon kecil yang dapat dicapai dengan tangga dari dalam masjid. Tidak ada yang tahu untuk apa tempat itu. Ada yang berspekulasi, balkon itu disediakan bagi jamaah yang berada di luar saat masjid penuh.
Berbeda dengan umumnya masjid-masjid pada era Dinasti Mamluk, Masjid Sultan al-Nashir Muhammad memiliki menara dengan dasar yang dibuat di bawah atapnya. Karena itu, para sejarawan menduga pembangunan masjid tersebut terinspirasi dari gaya arsitektur Persia. Suatu sumber menyebutkan, Sultan al-Nashir memang sengaja memboyong seorang arsitek dari Tabriz untuk merancang masjid itu.
Pada 1335, masjid ini untuk pertama kalinya direnovasi, dindingnya dipertinggi, dan atapnya dibuat kembali. Sebuah kubah dibangun dari kayu yang ditutup ubin hijau. Kubah ini berada persis di atas mihrab. Karena difungsikan pula sebagai destinasi wisata modern, kompleks ini direnovasi secara hati-hati oleh otoritas setempat. Mereka tidak ingin para pengunjung kehilangan gambaran tentang bentuk awal situs dari abad ke-14 ini.
Bangunan masjid tersebut, pada saat ini, tidak jauh berbeda dari aslinya. Meski begitu, sudah banyak dilakukan perubahan-perubahan. Masjid ini terbuka untuk umum. Bagian dinding yang ditopang oleh plester sudah diperkuat dan ada upaya untuk mengembalikan warna biru langit di bagian langit-langit masjid.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.