Internasional
Iran Tuding AS Ikut Campur dalam Pemilu
Presiden Raisi dan Presiden Biden menyatakan tak ingin saling bertemu.
TEHERAN -- Iran menuduh Amerika Serikat (AS) melakukan campur tangan terhadap proses pemilihan presiden yang baru saja digelar. Tuduhan meluncur lantaran AS mengatakan pemilu Iran tidak bebas dan tidak adil. Faksi-faksi politik saling menyalahkan atas rekor jumlah pemilih yang sedikit dan banyaknya surat suara yang tidak sah.
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan pada Senin (21/6) bahwa Washington memandang proses yang membuat Ebrahim Raisi menjadi presiden terpilih Iran sebagai "cukup dibuat-buat". Hal itu menegaskan kembali pandangan AS bahwa pemilihan tersebut tidak bebas dan tidak adil.
Aljazirah melaporkan, Teheran menolak kritik itu. "Kami menganggap pernyataan ini sebagai campur tangan urusan dalam negeri kami. Bertentangan dengan hukum internasional dan kami menolaknya," kata juru bicara pemerintah Iran Ali Rabiei seperti dikutip media pemerintah.
"Washington tidak memiliki wewenang untuk mengungkapkan pandangan tentang pemilihan di negara lain," kata Ali.
Pada pemilihan presiden lalu, lebih dari separuh pemilih yang memenuhi syarat enggan menggunakan hak suara. Jumlah pemilih dalam kontestasi empat kandidat ini berada di rekor terendah, yaitu sekitar 48,8 persen. Ada sekitar 3,7 juta surat suara yang dinyatakan tidak sah karena kosong atau dianggap sebagai suara protes. Ini merupakan angka tertinggi sepanjang masa.
Harian garis keras Kayhan mengatakan, jumlah pemilih terendah dalam empat dekade terjadi karena kesengsaraan ekonomi Iran. Terkait hal itu, sebagian besar masyarakat disebut menyalahkan pemerintahan Presiden Hassan Rouhani sebelumnya yang pragmatis.
Enggan bertemu
Presiden terpilih Raisi mengisyaratkan tidak akan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam keadaan apa pun. Termasuk jika Washington memenuhi tuntutan Teheran dalam negosiasi untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang berlangsung di Wina, Austria.
Dalam konferensi pers perdananya pada Senin (21/6), Raisi ditanya mengenai kesediaan bertemu Biden untuk menyelesaikan perselisihan antara AS dan Iran jika Washington mencabut sanksi terhadap Teheran. Raisi menjawab dengan tegas, "Tidak".
Dia mendesak AS kembali ke kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dan mencabut semua sanksi terhadap Iran. "Semua sanksi yang dijatuhkan kepada Iran harus dicabut dan diverifikasi oleh Teheran," katanya seperti dikutip laman Al Arabiya.
Raisi menegaskan kembali posisi Iran bahwa program rudal balistik dan dukungannya terhadap milisi regional tidak dapat dinegosiasikan. Saat ditanya mengenai keterlibatannya dalam eksekusi massal tahanan politik Iran pada 1988, Raisi menggambarkan dirinya sebagai pembela hak asasi manusia (HAM).
"Jika seorang jaksa membela hak-hak rakyat dan keamanan masyarakat, dia harus dipuji dan didorong. Saya bangga telah membela keamanan di mana pun saya berada sebagai jaksa," kata Raisi yang merupakan wakil jaksa Teheran pada 1988.
Presiden AS Joe Biden juga disebut tak memiliki rencana untuk bertemu Raisi. Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki mengungkapkan, salah satu alasan mengapa Biden tak berencana menemui Raisi karena pembuat keputusan utama di Teheran adalah dan tetap pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Psaki pun menyinggung negosiasi tentang menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) yang sedang berlangsung di Wina, Austria. Psaki mengatakan, para perunding telah menyelesaikan putaran keenam pembicaraan. Saat ini Gedung Putih menunggu perkembangannya. "(Kami) menantikan untuk melihat ke mana arahnya," ujar Psaki, Senin (21/6).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.