Laporan Utama
Pajak Jasa Pendidikan Ancam Pendidikan Islam
Beleid pajak jasa pendidikan diagendakan untuk pascapandemi, saat ekonomi telah pulih.
OLEH DEA ALVI SORAYA
Rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi pendidikan komersial mendapatkan sorotan, terlebih dari kalangan umat Islam. Pengenaan PPN bagi lembaga pendidikan swasta bukan hanya tak menghargai, melainkan juga menzalimi, terlebih saat kondisi pandemi.
Sebagai negara yang mewajibkan pendidikan, sudah selayaknya pemerintah memberi segenap fasilitas kepada para pemangku kepentingannya, bukan malah menambah beban mereka.
Pajak untuk Pendidikan Komersial
Draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menggemparkan publik. Di dalam draf tersebut, pemerintah akan menghapus jasa pendidikan sebagai jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN).
Ketentuan ayat (3) pasal 4A diubah menjadi berbunyi, “Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa meliputi item a hingga e dan item g.” Item g mengatur tentang jasa pendidikan.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menegaskan, tidak semua jasa pendidikan akan dikenai tarif PPN. Neil menjelaskan, pengenaan tarif PPN terhadap sektor ini akan mengecualikan jasa pendidikan yang mengemban misi sosial, kemanusiaan, dan yang dinikmati masyarakat banyak pada umumnya, semisal sekolah negeri.
Tetapi jelas, jasa pendidikan yang bersifat komersial dalam batasan tertentu akan dikenai PPN.NEILMALDRIN NOOR, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak
“Tetapi jelas, jasa pendidikan yang bersifat komersial dalam batasan tertentu akan dikenai PPN,” ujar dia saat media briefing pajak, Senin (14/6).
Meski demikian, dia tak menjelaskan batasan iuran tertentu pada sekolah yang akan dikenakan PPN. Hal itu akan dibahas lebih lanjut antara pemerintah dan DPR sehingga belum ada penetapan mengenai batasan tarif iuran pendidikan yang akan dikenai PPN.
Dia menegaskan, pengenaan PPN terhadap jasa pendidikan tak akan menghalangi masyarakat banyak untuk mengakses pendidikan. “Bagaimana mungkin? Sementara APBN saja sekarang bekerja, memberikan 20 persen dari bujet kita kepada sektor pendidikan," ucapnya.
Berdasarkan rancangan RUU KUP, pemerintah menghapuskan jasa pendidikan dari kategori jasa bebas PPN. “Jenis jasa yang tidak dikenai PPN yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut, g (jasa pendidikan) dihapus seperti pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus,” tulis rancangan RUU KUP.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan, rencana kebijakan yang tertuang dalam RUU tentang perubahan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) tidak akan diterapkan dalam waktu dekat.
“RUU masih di DPR, bahkan belum diparipurnakan, apalagi dibahas. Pemerintah masih menerima semua aspirasi,” ujar Yustinus saat dihubungi Republika, Selasa (15/6).
Dia mengeklaim, beleid ini diagendakan untuk pascapandemi, saat ekonomi telah pulih.Yustinus juga memberikan klarifikasi mengenai isu di tengah masyarakat mengenai rencana pengadaan pajak jasa pendidikan ini. Dia menegaskan, pemerintah tidak akan menambah beban masyarakat, terutama mereka yang masih kesulitan bangkit dari keterpurukan karena pandemi.
“Jadi, tenang saja, aman. Pemerintah tidak mungkin membebani masyarakat, apalagi yang kurang mampu,” ujarnya.
Dia menekankan, tidak ada kebijakan yang agresif dan mendadak. Rancangan kebijakan PPN ini, kata dia, telah melalui sebuah kajian sejak beberapa tahun yang lalu tetapi eksekusinya terus tertunda.
Anggota Komisi X DPR, Prof Zainuddin Maliki, meminta pemerintah mencabut penerapan pajak pendidikan dari RUU KUP. Dia juga menyinggung keagresifan pemerintah dalam menaikkan sumber dana negara dari pajak.
“Selain mengusulkan tax amnesty jilid II, pemerintah juga berencana memungut pajak sembako yang hampir pasti kalau jadi akan membuat rakyat yang miskin semakin miskin,” ujarnya dalam pernyataan yang diterima Republika, Selasa (15/6).
Dia menilai pemerintah tampak berambisi untuk menerapkan pajak progresif terhadap pendidikan. Dalam pasal 4A ayat (3) di draf RUU KUP tersebut, pendidikan dihapus dari jenis jasa yang tidak dikenai PPN yang berarti pendidikan sengaja dijadikan objek pajak baru.
"Jika pungutan pajak juga merambah ke dunia pendidikan, tentu harus ditolak," ujar dia.
Penerapan pajak pendidikan, kata dia, juga sangat mengesankan sistem kapitalisme yang jelas bertentangan dengan Pancasila. Berdasarkan fakta lapangan, dia menjelaskan, masyarakat tidak akan mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik daripada layanan yang diberikan pemerintah pada tahun 2021.
Sebab, pagu anggaran pendidikan tahun 2022 dikurangi lebih dari Rp 10 triliun, dari Rp 83,5 triliun pada pagu 2021 menjadi Rp 73,08 triliun pada pagu indikatif 2022. “Kalau tidak bisa memberi layanan lebih baik, jangan pula menambah beban pajak pendidikan kepada rakyat,” ujar legislator PAN asal daerah pemilihan Jawa Timur X Gresik-Lamongan itu.
View this post on Instagram
Bertentangan dengan Konstitusi
Beredarnya rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan atau sekolah dinilai bertentangan dengan konstitusi. Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad mengganggap penerapan PPN tersebut tak sejalan dengan jiwa UUD 1945 Pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan.
Di situ disebutkan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Selain itu, UUD tersebut mengatur bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
“Negara juga harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional,” ujar dia kepada Republika, Senin (14/6).
“Oleh karena itu, pungutan pajak jasa pendidikan kurang tepat dan perlu dipertimbangkan matang supaya tidak menjadi penghambat proses mencerdaskan bangsa,” sambung dia.
Dia menjelaskan, 65 persen penduduk Indonesia berpendidikan kurang dari SLTP. Hanya 8 persen merupakan lulusan perguruan tinggi. Jika pajak dikenakan pada pendidikan maka rakyat akan lebih terbebani. Lembaga pendidikan Muhammadiyah dari taman kanak-kanak hingga SMA kini berjumlah sekitar 26 ribu lembaga, sedangkan perguruan tinggi terdapat 168 sekolah dengan kondisi beragam, dari yang sederhana hingga mapan.
Pada masa pandemi, dia menjelaskan, seluruh perguruan Muhammadiyah mengalami perubahan karena masyarakat sedang berfokus pada penanggulangan wabah.“Pemerintah sebaiknya mendukung, bukan membebani dengan pajak,” ujar dia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah Dr Faisol Nasar bin Madi mengatakan, pendidikan bagi warga negara Indonesia bukan sekadar hak. Negara telah menetapkan, pendidikan dasar dan menengah adalah kewajiban bagi warga negara Indonesia. Konsekuensinya, pemerintah memiliki kewajiban untuk sepenuhnya menanggung biaya pendidikan dasar dan menengah.
“Hal ini selaras dengan perintah konstitusi. UUD 1945 Pasal 31 mengharuskan negara menanggung pendidikan warga negaranya. Karena itulah, negara sudah lama menetapkan bahwa 20 persen APBN adalah untuk penyelenggaraan pendidikan,” ujarnya.
Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki ratusan sekolah hingga ke pelosok Tanah Air, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Bersama ormas Islam lain, sumbangsih Al-Irsyad untuk memandaikan anak bangsa tidak diragukan, bahkan sejak pemerintah belum sepenuhnya bisa membangun dan menjalankan pendidikan secara baik.
Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama KH Arifin Junaidi menegaskan, LP M'arif NU PBNU dengan tegas menolak rencana penghapusan bebas pajak bagi lembaga pendidikan. Kiai Arifin meminta pemerintah membatalkannya.
LP Ma'arif NU, kata KH Arifin, telah bergelut di bidang pendidikan jauh sebelum Indonesia merdeka. Lembaga ini menaungi sekitar 21 ribu sekolah dan madrasah di seluruh Indonesia, sebagian besar berada di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). “Jangankan menghitung komponen margin dan pengembalian modal, dapat menggaji tenaga didik kependidikan dengan layak saja merupakan hal yang berat,” ujar dia.
Dia menjelaskan, gaji tenaga didik kependidikan di lingkungan LP Ma'arif NU masih jauh dari layak, bahkan jauh di bawah standar upah minimum. Padahal, tugas, posisi, dan fungsi guru tak berada di bawah buruh.
“Ini bertentangan dengan upaya mencerdaskan bangsa yang menuntut peran pemerintah dan keterlibatan masyarakat. Harusnya pemerintah mendukung partisipasi masyarakat,” ujar dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.