Tema Utama
Sepak Terjang Hamas
Hamas yang didirikan Syekh Ahmad Yasin ini menjadi salah satu aktor utama perjuangan Palestina.
OLEH HASANUL RIZQA
Pada 2006, pemilihan umum legislatif berlangsung di Palestina. Hasilnya menempatkan Hamas sebagai partai pemenang. Partai ini memperoleh 44,45 persen suara sehingga berhak menduduki 74 kursi parlemen. Pada Maret 2006, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dilantik sebagai perdana menteri.
Herry Nurdi dalam Membongkar Rencana Israel Raya (2009) berpendapat, pemilu tersebut menandakan babak baru tidak hanya di Palestina, tetapi dunia Arab modern. Saat itu, Hamas menjadi satu-satunya pemerintahan yang terpilih secara demokratis di seluruh Jazirah Arab. Namun, respons banyak negara, termasuk yang kerap mendaku diri sebagai “kampiun demokrasi”, tidak sesuai harapan.
Amerika Serikat (AS) tidak mau mengakui kemenangan Hamas dalam Pemilu 2006. Bahkan, sejumlah negara Arab pun ikut-ikutan sikap Negeri Paman Sam tersebut. Tidak cukup itu, AS bersama dengan Uni Eropa, Rusia, dan PBB—keempatnya kerap disebut Kuartet Timur Tengah—menjatuhkan sanksi atas otoritas Palestina yang dipimpin Hamas. Israel bertindak lebih barbar. Sejumlah anggota parlemen dari faksi Hamas diculiknya, lalu dijebloskan dalam penjara.
Sanksi internasional semakin menyengsarakan rakyat Palestina, yang sejatinya sudah tertindas sejak berdekade-dekade akibat penjajahan Israel. Turbulensi yang mendera otoritas Palestina itu baru berakhir setelah 2017, yakni ketika “pemerintahan bersatu” dibentuk.
Siapakah Hamas yang kemenangan demokratisnya dalam pemilihan umum justru membuat “resah” negara-negara superpower dan bahkan PBB? Hamas adalah nama singkatan untuk Harakatu al-Muqawwamah al-Islamiyah.
Resminya, gerakan ini didirikan Syekh Ahmad Ismail Hasan Yasin bersama enam orang sahabat sekaligus anak didiknya. Keenamnya adalah Dr Ibrahim al-Bazuri, Muhammad Syam’ah, Abdul Fatah Dakhan, Dr Abdul Aziz ar-Rantisi, Isa an-Nasyar, dan Shalah Syahadah.
Ahmad Ismail Hasan Yasin sendiri merupakan seorang aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) sebelum dirinya menginisiasi pembentukan Hamas. Syekh Ahmad Yasin—demikian sapaan akrabnya—adalah anggota IM cabang Palestina di Gaza. Namun, awal keterlibatannya dengan organisasi bentukan Hasan al-Banna itu lebih sebagai “ketaksengajaan.”
Pada 1956, ia ditangkap intel Mesir karena dicurigai berkaitan dengan IM. Ya, Ikhwanul sedang menjadi target pemerintah Mesir kala itu. Setelah diinterogasi, tuduhan tersebut tak terbukti. Justru, sejak saat itu dirinya ingin mengenal lebih dekat IM, terutama selama mengikuti kuliah di Al-Azhar. Akhirnya, Yasin bergabung dengan IM cabang Palestina.
Pada 1973, ia mendirikan Pusat Keislaman atau Mujma’ al-Islamiyyah di Gaza. Melalui yayasan tersebut, Syekh Ahmad Yasin turut mengembangkan pendidikan dan dakwah, khususnya bagi generasi muda Palestina setempat. Perhatiannya pada kaderisasi dai begitu tinggi. Terbukti, banyak muridnya yang kemudian menjadi pendakwah terkenal.
Lelaki kelahiran tahun 1937 ini menderita paraplegi sehingga melumpuhkan kemampuan motoris tubuh bagian bawahnya. Sakit itu dialaminya sejak berusia remaja. Namun, baginya, keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk berjuang melawan penjajahan Zionis.
Lantaran keahliannya dalam berpidato, ia menjadi khatib paling populer di kalangan masyarakat Gaza. Kekuatan argumentasi dan semangatnya dalam menegakkan kebenaran membuat masyarakat tertarik untuk mengikutinya. Ceramah-ceramahnya selalu diikuti banyak khalayak.
Dalam suatu khutbahnya, Syekh Yasin pernah berkata, “Umat ini tidak akan pernah memiliki kemuliaan dan meraih kemenangan kecuali dengan Islam. Tanpa Islam, tidak pernah ada kemenangan. Kita selamanya akan selalu berada dalam kemunduran sampai ada sekelompok orang dari umat ini yang siap menerima panji kepemimpinan yang berpegang teguh kepada Islam, baik sebagai aturan, perilaku, pergerakan, pengetahuan, ataupun jihad. Inilah satu-satunya jalan. Pilih Allah SWT atau binasa!”
Intifadah Pertama
Usai Perang Enam Hari pada 1967, Israel lagi-lagi memetik kemenangan. Aliansi Arab yang terdiri atas Mesir, Suriah, Yordania, Irak dan Lebanon kalah. Akibat pertempuran itu, sekira 400 ribu rakyat Palestina menjadi pengungsi.
Mereka terusir dari rumah-rumah sendiri akibat agresi Zionis. Jumlah tersebut kian menambah ratusan ribu pengungsi Palestina yang ada sejak Perang 1948.
Kondisi demikian membuat kaum terpelajar Palestina, terutama dari kalangan diaspora, terus mengorganisasi diri, baik secara politik maupun sosial. Sementara itu, faksi Harakat at-Tahrir al-Filasthini (Fatah) menguasai mayoritas kursi di Organisasi Pembebasan Palestina atau Palestine Liberation Organization (PLO). Yasser Arafat menjadi pemimpinnya.
Hingga tahun 1974, Arafat condong pada cara-cara perjuangan bersenjata untuk merebut kembali kedaulatan Palestina. Sesudah itu, dia cenderung mengandalkan jalan politik diplomasi. Bahkan, “solusi dua negara” pun dipertimbangkannya. Gagasan tersebut berarti bahwa Palestina dan Israel bisa hidup berdampingan sebagai dua negara yang sama-sama berdaulat.
Sementara, periode 1960-an hingga 1970-an juga diisi pergerakan para simpatisan IM di Palestina. Mereka pernah bekerja sama dengan Fatah, misalnya dalam mempercayakan urusan politik dan militer di bawah kendali faksi tersebut. Maka, antara tahun 1967-1970 terbentuklah sayap militer lokal di Pegunungan al-Joun dan Lembah Yordan yang diberi nama Shaiks.
Adapun IM Palestina sendiri lebih berkosentrasi pada gerakan dakwah dan pendidikan. Itu terjadi sebelum Arafat mengambil kebijakan pro-diplomasi pada 1974.
Menurut Tiar Anwar Bachtiar dalam Hamas: Kenapa Dibenci Israel? (2008), sejak 1980-an IM Palestina mengubah arah gerakannya kembali ke lapangan politik dan militer untuk menghadapi Zionis. Sebagai anggota organisasi tersebut, Syekh Ahmad Yasin mendirikan sayap militer Ikhwanul di Gaza yang bernama Mujahid Palestina.
Menurut Bachtiar, pembentukan laskar tersebut dilatari Pembantaian Shabra dan Shatilla yang menewaskan lebih dari 700 orang Palestina. Penyerangan tersebut dipimpin Ariel Sharon yang di kemudian hari pada 2000 menjadi perdana menteri Israel.
Bachtiar menambahkan, pendirian Mujahid Palestina pun menandakan, kian menguatnya ketidakpercayaan IM kepada (efektivitas) Fatah dalam perjuangan Palestina. Laskar itu pun mulai melakukan berbagai perlawanan terhadap kesewenangan Israel.
Beberapa kali bentrok bersenjata terjadi antara kedua belah pihak. Pada 1984, otoritas Israel menahan Syekh Ahmad Yasin, tetapi kira-kira setahun kemudian dibebaskan seiring perjanjian pertukaran tahanan antara Zionis dan Palestina.
Pada 9 Desember 1987, kendaraan jeep Israel menabrak sejumlah pekerja Palestina yang hendak pulang ke Gaza. Akibat insiden itu, empat warga Gaza meninggal. Sontak kejadian tersebut memicu demonstrasi. Situasi semakin memanas setelah seorang pengunjuk rasa yang berusia 17 tahun, Hatem Abu Sisi, terbunuh oleh peluru Zionis.
Para pemuda Palestina tidak kenal takut. Mereka terus melakukan perlawanan, sekalipun itu dengan melemparkan bom molotov dan batu ke aparat, tank dan buldoser Israel. Warga Palestina juga melakukan perlawanan lain seperti aksi mogok massal, memboikot Pelayanan Sipil Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Mereka menolak bekerja di wilayah pendudukan Israel. Boikot atas produk-produk Zionis pun dijalankan.
Hingga intifadah ini berakhir pada 1993, hampir 1.500 orang Palestina gugur, sedangkan 185 orang Israel mati terbunuh; lebih dari 120 ribu warga Palestina ditangkap.
Inilah mulanya Intifadah Pertama. Dalam setahun pertama saja, menurut data Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), sebanyak 300 warga Palestina gugur. Sebanyak 20 ribu orang Palestina luka-luka, sedangkan 5.500 orang lainnya ditahan polisi Israel. Hingga intifadah ini berakhir pada 1993, hampir 1.500 orang Palestina gugur, sedangkan 185 orang Israel mati terbunuh; lebih dari 120 ribu warga Palestina ditangkap.
Kekerasan dan korban yang sangat tidak proporsional di pihak Palestina memicu kecaman internasional yang meluas yang mempengaruhi Dewan Keamanan PBB untuk menyusun resolusi 607 dan 608. Isinya menuntut Israel untuk berhenti mendeportasi warga Palestina dari tanah mereka.
Awal pecahnya Intifadah Pertama disusul dengan cepat oleh sebuah peristiwa historis. Pada 14 Desember 1987, Syekh Ahmad Yasin dan sejumlah pengikutnya mendirikan Hamas.
Dalam Piagam Hamas, yang menjadi anggaran dasar gerakan ini, tercantum kutipan dari inisiator IM, Hasan al-Banna, “Israel akan berdiri dan tetap berdiri sampai Islam menghancurkannya, sebagaimana telah dihancurkan sebelum ini.”
Lalu, kata-kata dari Syekh Amjad az-Zahawi, “Dunia Islam kini sedang terbakar. Setiap kita berkewajiban segera menyiramkan air sekalipun sedikit untuk memadamkan api yang bisa dipadamkan, tanpa menunggu orang lain.”
Sejak saat itu, bahkan setelah usainya Intifadah Pertama, mulai banyak terjadi perang-perang gerilya rakyat Palestina yang bergabung dengan Hamas. Mereka melawan penjajahan Israel dengan gagah berani, sekalipun senjata yang digunakannya sangat minim.
Kebencian pemerintah kolonial Israel begitu besar terhadap Hamas, terutama Syekh Yasin. Zionis Israel takut pada seorang mubaligh sepuh yang lumpuh kakinya dan setengah buta matanya, tetapi kekuatan lisannya mampu menggugah semangat para pejuang Palestina.
Akhirnya, kelompok Zionis garis keras menargetnya. Pada 22 Maret 2004, saat sedang melaksanakan shalat subuh, sang pendiri Hamas dibombardir dengan misil yang diluncurkan dari helikopter tentara Yahudi. Maka gugurlah sang syuhada beserta jamaah yang ada di sekitarnya.
Benarkah Tuduhan Radikal?
Harakatu al-Muqawwamah al-Islamiyah atau Hamas kerap dituding dengan stigma-stigma yang menyudutkan, seperti “radikalis” atau bahkan “teroris.” Tiar Anwar Bachtiar dalam Hamas: Kenapa Dibenci Israel? (2008) menjelaskan, pihak Israel dan sekutu terdekatnya, Amerika Serikat (AS), mulai memasukkan Hamas dalam daftar hitam (blacklist).
Itu terjadi sejak organisasi bentukan Syekh Ahmad Yasin tersebut dengan terang-terangan menentang segala bentuk kekerasan yang dilakukan Zionis beserta dukungan yang diberikan para sekutu Israel.
Bachtiar mengutip pendapat seorang pengamat politik Arab, Huda Huseini, yang mengatakan, Hamas mulai melakukan aksi kekerasan, termasuk metode bom bunuh diri, sejak pembantaian oleh ekstremis Yahudi Baruch Goldstein di Hebron. Pembunuhan besar-besaran itu menewaskan sekira 40 warga Palestina pada 1994.
Maka, menurut Huda, Hamas secara ideologi pada dasarnya bukanlah sebuah organisasi radikal. “Lingkungan politik keras yang diciptakan Israel memaksa Hamas untuk melakukan aksi kekerasan,” demikian simpulannya.
Lingkungan politik keras yang diciptakan Israel memaksa Hamas untuk melakukan aksi kekerasan.HUDA HUSEINI, Pengamat Politik Arab
Pemilihan umum Palestina pada 2006 pun membantah tuduhan Israel dan kawan-kawan terhadap Hamas. Bachtiar mengingatkan, Hamas bukanlah “aktor” baru di Palestina. Keberadaannya dapat dilacak sejak Ikhwanul Muslimin (IM) di Palestina pada 1930-an. Menurut sejarawan tersebut, pilihan IM untuk menekuni dunia dakwah, sosial, pendidikan dan budaya di negeri tersebut, khususnya wilayah Gaza, adalah tepat.
Langkah ini berbeda daripada gerakan-gerakan lain yang lebih berkonsentrasi pada ranah politik hingga membuat mereka cenderung jauh dari rakyat.
Kedekatan IM Palestina pada rakyat melalui beragam programnya membuat simpati publik kian besar. Terbukti, dalam Pemilu 2006 Hamas—yang akar kesejarahannya adalah IM Palestina—mendulang suara mayoritas rakyat Palestina.
Hal ini tidak akan terjadi pada gerakan radikal, semisal Jihad Islam yang hanya didukung sedikit massa. Kalau toh tuduhan radikalisme tetap ingin dialamatkan, kesannya hanya diisolasi pada sayap militernya, yakni Batalion Izzuddin al-Qassam. Di luar itu dan sebagian besarnya, Hamas adalah gerakan sosial-kemasyarakatan yang justru jauh dari kekerasan dan kesan radikal.
Di luar itu dan sebagian besarnya, Hamas adalah gerakan sosial-kemasyarakatan yang justru jauh dari kekerasan dan kesan radikal.
Memasuki era 2010-an, Hamas cenderung berfokus pula pada penyatuan dalam negeri. Upaya-upaya rekonsiliasi dengan Fatah berulang kali terjadi. Misalnya, pada 9 November 2010 ketika utusan kedua belah pihak bertemu di Damaskus, Suriah. Perundingan tersebut bertujuan mempersempit perbedaan antara keduanya. Apalagi, pada faktanya kendali atas Palestina terbagi dua. Jalur Gaza dikuasai Hamas, sedangkan Tepi Barat oleh Fatah.
Pada Oktober 2017, tonggak bersejarah terjadi. Setelah lebih dari satu dekade bertikai, faksi Hamas dan Fatah akhirnya mencapai kesepakatan dalam sebuah rekonsiliasi di Kairo, Mesir. Pemerintahan bersama yang akan mengawasi seluruh Jalur Gaza dan Tepi Barat ditargetkan selesai pada akhir tahun tersebut.
Ketika Presiden AS Donald Trump menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kedua faksi tersebut pun satu suara. Mereka menolak keras klaim menyesatkan Trump itu. Lebih lanjut, baik Hamas maupun Fatah tidak akan menerima AS sebagai mediator tunggal untuk negosiasi dengan Israel.
Memang, saat ini kedua faksi masih tampak merenggang. Yang pasti, kemerdekaan Palestina membutuhkan persatuan, bukan justru memelihara perpecahan di dalamnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.