Kabar Utama
Pegawai KPK Tolak Pembinaan
Kepala BKN mempersilakan pegawai KPK menggugat ke PTUN.
JAKARTA – Perwakilan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sepakat menolak pembinaan terhadap mereka-mereka yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Mereka menyatakan akan terus memperjuangkan tetap menjadi pegawai KPK.
"Kami sudah bersepakat dengan yang 75. Bahwa kami menolak untuk dibina. Jadi meski ada 24 yang akan dipisahkan dari 75, kami juga tidak akan mau," kata Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Harun Al Rasyid kepada Republika, Kamis (27/5).
Harun yang merupakan salah satu dari 75 pegawai yang dikabarkan tak lulus TWK itu meminta agar seluruh pegawai KPK dialihkan statusnya menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). "Pimpinan yang harus memiliki kearifan dan kebijakan menyikapi polemik ini. Pimpinan yang memulai, pimpinan juga yang mengakhiri," kata dia menegaskan.
Sebelumnya, pelaksanaan TWK terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN memicu polemik karena sejumlah pertanyaan dinilai tak relevan dan tendensius. Polemik itu memicu Presiden Joko Widodo menyatakan agar TWK tak semata dijadikan pertimbangan alih status 75 pegawai yang tak lolos. Meski begitu, rapat koordinasi pimpinan KPK, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian PANRB, dan Kemenkumham kemudian memutuskan 51 di antaranya diberhentikan dan 24 lainnya akan dibina.
Dihubungi terpisah, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono mengiyakan kesepakatan tersebut. "Posisi kami adalah kami bukan tidak lulus, tetapi kami disingkirkan karena keteguhan kita memberantas korupsi," kata Giri Suprapdiono kepada Republika, kemarin.
Dia mengatakan, dari diskusi bersama 75 pegawai, mayoritas tidak bersedia mengikuti pembinaan untuk menjadi ASN. "Karena tidak ada kepastian akan diangkat menjadi ASN dan merupakan bentuk strategi pecah belah bagi 75 pegawai yang dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan," kata Giri.
Menurutnya, sejauh ini belum ada penjelasan apa pun dari pimpinan KPK kepada 75 pegawai secara langsung. Nama-nama 51 yang akan diberhentikan dan 24 nama yang akan dibina juga belum diumumkan hingga kemarin.
Meski belum ada pengumuman resmi, Giri mengungkapkan bahwa di antara 51 yang diberhentikan banyak yang tengah menangani perkara besar dan sensitif di KPK. Di antanya juga ada sembilan kepala satuaan tugas (kasatgas) dan 19 anggota satgas.
Di antara kasus yang mereka tangani adalah korupsi bantuan sosial Covid-19 di Kementerian Sosial, kasus suap komisioner dengan buron politikus PDIP Harun Masiku, kasus suap perkara di Tanjungbalai, kasus suap di Mahkamah Agung, serta kasus suap di PT PLN (Persero).
Pihak-pihak yang disebut masuk daftar itu juga yang dahulu menangani kasus korupsi KTP elektronik dan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri. Mereka juga masih menangani sejumlah kasus yang melibatkan legislator di pusat dan daerah serta sejumlah kepala daerah. "Termasuk tiga kasatgas kasus dugaan suap yang melibatkan petinggi Polri pada 2018, yang kemudian diserahkan ke penegak hukum lain dan telah dihentikan kasusnya," kata Giri.
Sementara, Wadah Pegawai (WP) KPK menyerahkan bukti tambahan kepada Komnas HAM, Kamis (27/5). Bukti tambahan ini berkaitan dengan aduan sebelumnya bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam TWK.
Kuasa hukum pegawai KPK Asfinawati dalam dokumen tambahan itu menyebutkan banyak keterangan serta data yang menunjukkan bahwa TWK sangat diskriminatif. “Kira-kira 546 halaman itu nanti adalah fakta-fakta untuk membuktikan hal tersebut," ujar Asfinawati.
Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam mengakui, dalam bukti tambahan ada dinamika yang selama ini tidak muncul di publik. "Nah semoga ini menjadi sesuatu yang terang bagi kami, terang bagi publik, dan terang bagi bangsa dan negara," kata Anam.
Di pihak lain, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisina mengatakan, hasil keputusan rapat koordinasi terhadap 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK sudah sesuai aturan. “Kalau mereka tidak puas bisa menggugat ke PTUN," ujar Bima kepada Republika, Kamis (27/5).
Ia juga mengatakan siap memberikan keterangan kepada Komnas HAM yang sedang menyelidiki persoalan ini. Ia menegaskan, keputusan sudah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, yang terutama diminta Presiden adalah TWK tidak boleh merugikan pegawai KPK dalam proses alih status. "Tidak merugikan kan tidak bisa diartikan harus jadi ASN. Tidak ada yang mengatakan harus jadi ASN. Tidak merugikan bisa dengan memberikan hak-hak kepegawaiannya. Kalau tidak dipakai, ya diberhentikan dengan hak-haknya," ujar Bima.
Ombudsman tetap selidiki maladministrasi
Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Mokhammad Najih menjanjikan akan terus memproses pelaporan pegawai KPK terhadap kelima pimpinan lembaga antirasywah itu ke lembaganya, meskipun 51 pegawai KPK telah diberhentikan. Para pegawai KPK sebelumnya melaporkan dugaan maladministrasi dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
"ORI tetap meneruskan proses pemeriksaan terhadap dugaan maladministrasinya," kata Najih saat dikonfirmasi, Rabu (26/5) malam. Saat ini, sambung Najih, ORI masih masih melakukan verifikasi terkait laporan tersebut.
Adapun tindakan lanjutan akan diputuskan oleh pimpinan dalam pleno, yang akan dilaksanakan pekan ini. ORI juga sedang mempertimbangkan dan mencermati apa bentuk tindakan yang akan dilakukan pimpinan terhadap sikap atau instruksi presiden yang cukup lugas dan jelas terkait TWK terhadap pegawai KPK.
“Pleno menetapkan dapat atau tidaknya pemeriksaan dugaan maladministrasi dari hasil verifikasi, kemudian menetapkan penyerahan kepada tim riksa sesuai substansi atau bidangnya,” ucap Najih. Najih menyebut, tim pemeriksa nantinya yang akan menentukan jadwal pemanggilan terhadap pihak pelapor ataupun terlapor.
Dalam laporan ke ORI, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAI) KPK Sujanarko menyebut bahwa seluruh pelaksanaan TWK penuh kesalahan administrasi. Hal itu didapatkan berdasarkan kajian yang dilakukan para pegawai yang berstatus tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes tersebut.
"Dari kajian kami ada banyak sekali maladministrasi yang sudah dilakukan KPK, baik penerbitan SK-nya, prosesnya, dari sisi wawancara. Hampir ada enam indikasi yang kami sampaikan pimpinan KPK telah melakukan maladministrasi," kata Sujanarko, Rabu (19/5).
Keenam maladministrasi TWK dinilai bertentangan dengan UU memiliki implikasi hukum dan anggaran yang berbeda. Salah satunya, Pasal 20 Ayat (1) Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tidak memerinci metode pengujian TWK sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia serta kepastian hukum.
Kemudian, pimpinan KPK dinilai membuat sendiri kewenangan untuk menyelenggarakan TWK yang tidak diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan PP Nomor 41 Tahun 2020 tentang Alih Status Pegawai KPK.
Pelibatan lembaga lain untuk tujuan di samping alih status pegawai KPK dalam melaksanakan TWK juga dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) PP Nomor 41 Tahun 2020 dan Pasal 18 dan 19 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Pimpinan KPK juga menggunakan metode pengujian melalui TWK sebagai dasar pengangkatan pegawai KPK. Padahal tidak ada ketentuan dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang menyatakan demikian.
Indikasi kesalahan terakhir adalah pimpinan KPK menambahkan sendiri konsekuensi dari TWK sehingga melampaui kewenangannya dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XVUU/2019. Sebelumnya, MK telah menyampaikan dalam putusan terhadap gugatan yang dilayangkan UII Yogyakarta bahwa alih status kepegawaian tak boleh merugikan KPK.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) juga akan membawa perkara 75 pegawai KPK ke MK. Koordinator MAKI Boyamin Saiman menjelaskan, judicial review revisi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 menyebut bahwa peralihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan KPK.
Dia mengatakan, pertimbangan putusan itu nantinya akan dikuatkan menjadi amar putusan dengan cara menguji Pasal 24 dan Pasal 69C UU Nomor 19 Tahun 2019. "Rencana uji materi ini akan diajukan minggu depan," kata Boyamin Saiman dalam keterangan, Kamis (27/5).
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko kembali membantah bahwa kementerian dan lembaga terkait mengabaikan arahan Presiden mengenai polemik alih status pegawai KPK untuk menjadi ASN. Menurut dia, kementerian dan lembaga terkait telah memberikan opsi pembinaan dan pengembangan pribadi terhadap seluruh yang tak lolos TWK.
"Bahwa pimpinan KPK kemudian mengambil kebijakan lain tersendiri, hal tersebut merupakan kewenangan dan keputusan lembaga pengguna dalam hal ini KPK. Pemerintah memiliki kewenangan tertentu, tetapi tidak seluruhnya terhadap proses pembinaan internal di KPK," kata Moeldoko.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.