Geni
Bangkit Bersama Tjoet Nja’ Dhien
Para pemain dan kru dalam film Tjoet Nja’ Dhien tidak dibayar.
Christine Hakim mengenang kembali kiprahnya sebagai aktris puluhan tahun silam. Kala itu, jalan yang ditempuh Christine bersama para seniman lainnya tidak mudah.
Seniman bukan pekerjaan menjanjikan, bahkan kerap diremehkan pada era itu. Salah satu kepahitan yang Christine rasakan sebagai seniman yaitu tidak dibayar ketika memerankan perempuan pejuang kemerdekaan asal Aceh dalam film Tjoet Nja’ Dhien yang dirilis pertama kali pada 1988.
“Kami enggak ada yang dibayar, bahkan kami yang cari duit untuk bisa menyelesaikan film ini,” ujar Christine saat ditemui dalam pemutaran perdana film restorasi Tjoet Nja’ Dhien di Plaza Senayan, Kamis (20/5).
Proses syuting menghabiskan waktu tiga tahun karena memerlukan riset mendalam terlebih dulu. Ada dua adegan yang harus menunggu dua tahun karena kurangnya pendanaan.
Meski tak mudah, Christine yang saat itu berusia 28 tahun memiliki alasan mengapa mau berperan sebagai Tjoet Nja’ Dhien. “Betapa bodohnya saya ini, ada kesempatan untuk belajar, bukan hanya kesempatan, tantangan sebagai seorang pemain dan seorang warga Indonesia,” ujarnya yang juga berdarah Aceh itu.
Meski tanpa bayaran, peran itulah yang justru membuat karier perempuan 64 tahun ini kian melejit. Dia didapuk menjadi aktris terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1988. Film itu pun memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik ketika itu.
Ini adalah satu-satunya film Christine yang menceritakan zaman penjajahan Belanda, tetapi tidak menyudutkan pihak penjajah. Artinya, film ini dibuat dengan sudut pandang berbeda dan sangat hati-hati.
Christine mempelajari karakter Tjoet Nja’ Dhien dari 30 buku berbahasa Indonesia dan Belanda. Buku-buku itu diberikan oleh sang sutradara, Eros Djarot.
Tak mengherankan jika aktris yang memulai karier aktingnya pada 1973 ini sulit melepas karakter tersebut. Setelah film dirilis, dia masih harus berjuang melepas peran yang sudah menempel pada dirinya.
Dia sering menangis saat ada yang menyebut nama Tjoet Nja’ Dhien. Sebab, Christine sudah masuk ke dalam karakter itu dan ikut merasakan sulitnya menjadi seorang Tjoet Nja’ Dhien. Hingga tiga tahun lamanya, dia bisa perlahan lepas dari karakter itu.
Pemeran Teuku Umar, Slamet Rahardjo, menceritakan bagaimana dia bersama seluruh pemain dan kru nekat membuat film dengan bujet pas-pasan ini. “Syuting lalu berhenti dan cari duit, syuting, berhenti, cari duit lagi, begitu terus sampai selesai,” kata Slamet.
Bisa dibilang, film ini rampung secara gotong royong antara pemain dan kru. “Gotong royong hanya bisa jika kita punya pembawaan menjadi motivator. Gotong royong itu hanya bisa dilakukan dari pribadi yang sering mendorong dari belakang,” ujarnya.
View this post on Instagram
Film Tjoet Nja’ Dhien kini kembali hadir di bioskop Indonesia. Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei, film ini telah direstorasi oleh Belanda dengan biaya mencapai Rp 3 milliar. Generasi muda kini bisa menontonnya.
Sineas Hanung Bramantyo melihat film ini sebagai sebuah masterpiece lantaran cerita yang ditulis tahun 1988 ternyata masih sangat relevan dengan hari ini. Setiap menonton film Tjoet Nja’ Dhien, dia berpikir Eros Djarot sangat visioner.
“Entah itu Mas Eros yang pemikirannya melampaui zaman atau memang negara ini atau zaman ini tidak bergerak, hanya packaging-nya saja yang bergerak, tapi isinya tetap sama saja,” kata dia.
Yang dia maksud, sampai hari ini masih ada saja orang idealis, pecundang dan pengkhianat, serta oportunis yang memanfaatkan peperangan untuk keuntungan pribadi. Secara bersamaan, ada orang yang memang mencintai Tanah Air-nya dan ada orang yang ingin merenggut tanah orang untuk jadi hak miliknya.
“Jadi, ketika nonton ini saya merasa sedih. Sampai kapan pun kita akan menghadapi tiga hal itu,” ujar Hanung.
Sinema Tjoet Njak’ Dhien berkisah tentang perjuangan gigih Tjoet Nja' Dhien dan teman-teman seperjuangannya melawan tentara Belanda yang menduduki Aceh di kala masa penjajahan Belanda di zaman Hindia Belanda. Perang antara rakyat Aceh dan tentara Kerajaan Belanda ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda.
Film ini tidak hanya menceritakan dilema-dilema yang dialami Tjoet Nja' Dhien sebagai seorang pemimpin, tetapi juga yang dialami oleh pihak tentara Kerajaan Belanda saat itu. Film ini juga berkisah tentang bagaimana Tjoet Nja' Dhien yang terlalu berkeras pada pendiriannya untuk berperang, akhirnya dikhianati oleh salah satu orang kepercayaannya dan teman setianya, Pang Laot.
Di sisi lain, Pang Laot merasa iba pada kondisi kesehatan Tjoet Nja' Dhien yang menderita rabun dan encok, ditambah penderitaan berkepanjangan yang dialami para pejuang Aceh dan keluarga mereka.
Perang antara rakyat Aceh dan tentara Kerajaan Belanda ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda.
Dua pelajaran
Menteri BUMN Erick Thohir ikut menyaksikan pemutaran perdana film restorasi Tjoet Nja’ Dhien. Menurut dia, ada ada dua hal yang bisa dijadikan pelajaran dari film tersebut. Pertama, bagaimana kehancuran sebuah bangsa atau sebuah perjuangan karena diri kita sendiri. Kedua, jika kita tidak disiplin dan tidak kompak maka tidak akan berhasil.
“Film perjuangan seperti ini penting setiap tahun. Kami dari kementerian akan coba membantu. Jika setiap tahun punya film perjuangan seperti ini, saya rasa penting buat generasi muda,” kata Erick Thohir di Plaza Senayan, Kamis (20/5).
Generasi muda harus melihat bagaimana bangsa yang besar adalah bangsa yang melihat sejarah dan belajar dari sejarahnya. Untuk saat ini, Erick mengajak semua orang bergotong royong mengatasi pandemi Covid-19.
Apabila Indonesia bisa membuktikan kepada seluruh dunia dengan protokol kesehatan (prokes) yang disiplin, tingkat penularan dan kematian yang mampu ditekan, ditambah lagi Indonesia sudah melakukan vaksinasi luar biasa, maka Indonesia akan terus membaik. Erick berujar, Indonesia adalah salah satu negara terbaik di dunia dalam melaksanakan vaksinasi Covid-19.
“Tetapi tidak ada artinya kalau masyarakat tidak gotong royong patuhi prokes. Saya harap, ayo kembali ke bioskop, tapi tetap disiplin prokes,” kata dia.
View this post on Instagram
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.