Tajuk
Narasi Sunyi Palestina
Upaya pendistorsian dan pengontrolan narasi tentang Palestina di media sosial tak selamanya bisa dibungkam.
Untuk kali keempat dalam 13 tahun terakhir, Israel melancarkan serangan militer ke wilayah Palestina di Gaza.
Agresi militer yang dimulai sejak 10 Mei 2021 itu merupakan kelanjutan dari konflik permukiman Yahudi di kawasan Sheikh Jarrah, Yerusalem, yang berbuntut penyerangan jamaah Masjid al-Aqsha oleh militer Israel.
Data sementara menunjukkan, setidaknya 220 warga Gaza gugur, 63 di antaranya anak-anak, akibat bombardir rudal dan serangan pesawat tempur Israel. Sedikitnya 12 orang tewas di Israel akibat tembakan roket Hamas dari Gaza, dua di antaranya anak-anak.
Jalur Gaza sepenuhnya berada di bawah pengawasan Hamas, berbeda dengan wilayah Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem. Di Tepi Barat dan Yerusalem, perluasan permukiman Yahudi tetap terjadi meski melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Dalam beberapa narasi, akar masalah ini menjadi berbalik seakan warga Gaza yang menjadi penyebab serangan militer Israel.
Pengambilalihan tanah milik warga Palestina ini terus dilakukan yang menyebabkan konflik terkini. Namun, konflik yang bermula dari pencaplokan tanah warga Palestina tersebut kini membabi buta menjadi agresi terhadap warga Palestina di wilayah Gaza.
Dalam beberapa narasi, akar masalah ini menjadi berbalik seakan warga Gaza yang menjadi penyebab serangan militer Israel. Perang opini di era digital menjadi perluasan medan laga yang lain dari konflik Israel-Palestina.
Intelektual Amerika-Palestina, Prof Edward Said, pada 1984 pernah menuliskan tentang satu sisi informasi dari konflik Israel-Palestina.
Profesor di Columbia University AS tersebut berpendapat, rakyat Palestina berada dalam belenggu tak diberi izin untuk bercerita. Konflik Israel-Palestina hanya mengemuka di media arus utama dunia dari sisi yang menguntungkan Israel.
Tak ada ruang bagi rakyat Palestina menceritakan kondisi mereka di teras media-media Barat.
Sekian puluh tahun, warga dunia dicekoki bias informasi satu arah.
Alienasi informasi ini menyebabkan narasi mengenai rakyat Palestina menjadi bias. Konflik Israel-Palestina akan selalu dibaca dari kaca mata Israel sebagai korban 'teroris'. Padahal sejatinya, siapa yang menjadi teroris dan siapa yang menjadi korban teror?
Pernyataan Edward Said mendapat dukungan lebih dari 30 tahun kemudian saat Maha Nassar, Profesor asal Palestina-Amerika, di Universitas Arizona, menganilisis artikel opini di The New York Times dan The Washington Post selama 50 tahun sejak 1970 hingga 2019.
Pada 2020, Nassar menganalisis beberapa tulisan yang terpublikasi cenderung pada membicarakan Palestina dengan cara merendahkan dan bahkan rasis. Tak ada upaya mengambil opini berbeda yang langsung berasal dari orang Palestina.
Sekian puluh tahun, warga dunia dicekoki bias informasi satu arah. Palestina bersalah, Israel korban! Ironi bias informasi ini tentu dirancang sistematis dan disebarkan masif oleh corong media arus utama dalam penguasaan Zionis.
Ini tergambarkan dari perubahan peta Palestina dan Israel selama beberapa puluh tahun terakhir. Wilayah Palestina menyempit, penguasaan Israel meluas. Tak ada upaya pembelaan dari komunitas internasional dengan menyebutnya sebagai penjajahan era modern.
Upaya pendistorsian dan pengontrolan narasi tentang Palestina di media sosial ini tak selamanya bisa dibungkam.
Yang terjadi, penggiringan opini bahwa warga Yahudi berhak membangun permukimannya di wilayah Palestina. Padahal fakta menunjukkan, wilayah Palestina terus menyempit sejak 1947 hingga 2021 akibat perluasan pembangunan permukiman ilegal Yahudi.
Pengarusutamaan opini ini makin kuat di era digital. Dukungan bagi opini bahwa Israel adalah korban kekerasan rakyat Palestina terang-terangan dilakukan banyak media utama hingga platform media sosial.
Bahkan, raksasa media sekelas Facebook kini menghadapi ancaman boikot dari para netizen global karena dipandang berlaku tak adil bagi munculnya narasi-narasi sunyi pembelaan terhadap rakyat Palestina.
Informasi seputar Palestina di beranda Facebook dituding menyalahi prinsip aturan komunitas. Alih-alih menyuarakan dukungan sunyi bagi rakyat Palestina, yang terjadi adalah pelabelan informasi palsu atau malah hoaks.
Namun, upaya pendistorsian dan pengontrolan narasi tentang Palestina di media sosial ini tak selamanya bisa dibungkam. Di era digital, praktik kolonial dan apartheid tersebut akan menjadi serangan balik bagi platform media itu sendiri.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.