Sejumlah santri mengaji Al Quran menggunakan penerangan lilin dan lampu minyak di masjid Pondok Pesantren Baitul Mustofa, Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, Selasa (4/5/2021). | Maulana Surya/ANTARA FOTO

Opini

Memelihara Fitrah Diri

Idul Fitri mengandung makna kembali kepada hakikat manusia dan kemanusiaan.

AMIRSYAH TAMBUNAN, Sekjen MUI Pusat

Tradisi mudik di Indonesia artinya pulang kampung pada Hari Raya Idul Fitri. Ini merupakan momentum menyenangkan dan puncak pengalaman hidup spiritual sekaligus memperkuat ikatan sosial keagamaan.  

Mereka yang hendak mudik,  bekerja keras menabung untuk merayakan dan  menikmati suasana Idul Fitri di kampung halaman. Hal yang hampir sama, tradisi unik seperti Lebaran itu adalah perayaan di AS dengan ungkapan rasa terima kasih  (Thanks Giving Day).

Tahun ini, suasana Iduf Fitri 1442 H masih berada pada masa pendemi Covid-19. Memang, semuanya merasakan dorongan sangat kuat untuk bertemu orang tua, keluarga, dan sanak saudara tetapi tentu kita sayang sama keluarga.

 
Maka, penulis mengajak umat Islam agar  keakraban dan kehangatan  saat Idul Fitri hendaknya dapat  diungkapkan secara virtual.
 
 

Ada dua dimensi kemenangan yang perlu dipahami. Pertama, dimensi vertikal dengan cara memperkuat spritual untuk memenangkan pertarungan hawa nafsu dengan taat kepada Allah. Harapannya, menjadi orang bertakwa.

Kedua, dimenasi sosial yakni kemenangan secara horizontal khususnya, yakni memperkuat kepedulian sosial caranya dengan berbagi antarasesama.  

Dalam konteks ini, gerakan ekonomi masyarakat dapat dilakukan untuk memperkuat kohesivitas sosial di masa pandemi Covid-19 agar masyarakat pedesaan memperoleh limpahan ekonomi dan keuangan dari para pemudik melalui gerakan sosial mudik  secara virtual.

Hakikat Idul Fitri

Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fitri dengan arti kembali menjadi suci.Pendapat ini berdasarkan hadis Rasullullah,’’Barang siapa yang melaksanakan shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fitri ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi dalam rahim ibunya.’’  (HR Bukhari).

Fitrah diambil dari bahasa Arab yaitu fa-tho-ro yang berarti “membuka” atau “menguak”, juga dapat diartikan sebagai perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitrah dikaitkan dengan kata sifat, asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.

 
Fitrah diambil dari bahasa Arab yaitu fa-tho-ro yang berarti “membuka” atau “menguak”, juga dapat diartikan sebagai perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan.
 
 

Karena itu, berbuka puasa disebut ifthar, yang secara harfiah dapat dipahami memenuhi fitrah yang suci dan baik.  Makan dan minum  merupakan bagian dari fitrahnya yang suci.

Dari sudut pandang ini, kita mengerti mengapa Islam tidak membenarkan ikhtiar meninggalkan makan, minum, tidur, menikah, bekerja dan seterusnya.

Nabi SAW pernah memberi peringatan keras kepada salah seorang sahabat,  Utsman ibn Mazh'um, yang ingin menempuh hidup suci dengan melakukan semacam pertapaan. Nabi juga melarang keras pikiran sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tidak menikah seumur hidup,  karena menyalahi fitrah.

Idul Fitri mengandung makna kembali kepada hakikat manusia dan kemanusiaan. Jadi manusia diciptakan Allah dalam fitrah kesucian dengan adanya ikatan perjanjian antara Allah dan manusia sebelum manusia itu lahir ke bumi.

Allah SWT mengingatkan agar manusia tetap pada fitrahnya. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptkan fitrah manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS al-Ruum (30): 30).

 
Dengan demikian, umat Islam berkomitmen  memelihara, menjaga serta mengawal kesucian diri (fitrah) tersebut setidaknya dengan  tiga sikap.
 
 

Makna dan hakikat Idul Fitri paling tidak mengandung tiga arti penting. Pertama, hari asal kejadian manusia bagaikan manusia yang lahir ke dunia ini dalam keadaan suci dan bersih, tanpa membawa dosa apapun, karena berpuasa dengan iman dan penuh perhitungan (ihtisaban) selama bulan Ramadhan.  

Kedua, merayakan Idul Fitri (tanggal 1 Syawal) merupakan hari diwajibkan berbuka dengan makan, minum, dan bergembira bagi umat Islam (yaum ukli wa syurbi wa jahbati lil muslimin) karena pada hari itu diharamkan untuk berpuasa.

Ketiga, hari kemenangan bagi segenap umat Islam, karena mereka telah berjuang dengan sungguh-sungguh (berjihad)  melawan hawa nafsunya selama satu bulan penuh. Maka pada saat Idul Fitri mereka merayakan kemenangan tersebut dengan penuh rasa syukur, haru, kegembiraan, dan sukacita.

Dengan demikian, umat Islam berkomitmen  memelihara, menjaga serta mengawal kesucian diri (fitrah) tersebut setidaknya dengan  tiga sikap.

Pertama, ihsan yakni lawan dari  sikap kejelekan (isa'ah), yaitu seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak dengki, khianat, sombong  kepada orang lain, karena prilaku ihsan merasa diawasi dan diperhatikan  Allah SWT.  

Ihsan terbagi menjadi dua macam, yaitu ihsan di dalam beribadah kepada Sang Pencipta dan ihsan kepada makhluk  semua ciptaan Allah.

 
Istiqamah  dalam semua bentuk  ketaatan kepada Allah lahir, batin dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya, termasuk menjaga kesehatan dengan cara  wajib iman, wajib aman, dan wajib imun.
 
 

Kedua, bersyukur, yakni berterima kasih, senang memperoleh nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya baik dengan lisan, hati maupun perbuatan. Nikmat berupa rezeki yang telah diberikan Allah kepada manusia tidak akan mampu menghitungnya.

Dan apabila manusia bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, maka Allah menambahnya nikmat-Nya, sedangkan apabila manusia mengingkarinya maka Allah akan mengancamnya dengan siksaan yang pedih ( QS Ibrahim: 7).

Sedangkan yang ketiga, istiqamah yakni  konsisten dalam menempuh jalan Islam yang lurus (benar) dalam keyakinan (keimanan) dan kebenaran dengan tidak berpaling dari keyakinan dan kebenaran tersebut.

Istiqamah  dalam semua bentuk  ketaatan kepada Allah lahir, batin dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya, termasuk menjaga kesehatan dengan cara  wajib iman, wajib aman, dan wajib imun.

Karena itu, sikap istiqamah membuat seseorang tidak akan berubah, baik pikiran maupun iktikadnya dengan berbagai tantangan dan rintangan yang dihadapinya. Justri sebaliknya, semakin kuat dan tangguh dalam menegakkan keyakinan dan kebenarannya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat