Khazanah
Bahagia di Hari Fitri
Banyak riwayat menuturkan bahagianya Rasulullah SAW dan para sahabat saat Idul Fitri tiba.
OLEH HASANUL RIZQA
“Sesungguhnya, setiap kaum mempunyai hari raya. Hari ini (Idul Fitri) adalah hari raya kita,” demikian sabda Nabi Muhammad SAW.
Banyak riwayat menuturkan suka cita Rasulullah SAW dan para sahabat saat Idul Fitri tiba. Misalnya, sebagaimana penuturan Aisyah RA, beliau tidak segan-segan bermain sejenak dengan anak-anak yang dijumpainya.
“Saking gembiranya, anak-anak itu tanpa canggung menaiki pundak Rasulullah SAW,” kata ummul mu'minin tersebut.
Kebahagiaan yang dirasakan kaum Muslimin sudah terasa menjelang Lebaran. Di Indonesia, mudik adalah beberapa tradisi setiap akhir bulan suci Ramadhan. Masyarakat kita melakukannya dengan hati yang suka cita.
Tentu, ada sedikit penyesuaian saat ini. Situasi pandemi belum sepenuhnya hilang dari peredaran. Bagaimanapun, kegembiraan tetap bisa berlangsung. Sebab, esensi perayaan Idul Fitri tidak hanya pada kesenangan orang per orang, tetapi seluruh umat Islam sedunia. Semua bisa saling terhubung walau jarak memisahkan.
Berbagi Rezeki
Kedermawanan menjadi “tulang punggung” kebahagiaan di hari yang fitri. Syariat pun telah mengajarkan perkara ini, misalnya, dengan kewajiban berzakat pada Ramadhan.
Ya, bulan suci tidak hanya diisi dengan ibadah wajib, seperti puasa, ataupun sunah—shalat tarawih, iktikaf, tadarus Alquran, dan lain sebagainya. Islam mengharuskan tiap Muslim yang memenuhi syarat untuk menunaikan zakat fitrah.
Alhasil, pada Idul Fitri kebahagiaan muncul merata. Suka cita tidak hanya dirasakan kalangan berpunya, tetapi juga kaum fakir, miskin, dan mereka yang terimpit keterbatasan. Pemerataan memang menjadi pesan lain dari ibadah zakat fitrah.
Di luar itu, Muslimin dianjurkan pula untuk bersedekah. Sebut saja, bagi mereka yang mendapatkan tunjangan hari raya (THR), bisa menyisihkan beberapa rupiah untuk sanak famili, kerabat, atau handai taulan. Tidak harus bertemu muka, sebab sudah beragam pilihan saat ini untuk berkirim dana.
Silaturahim
Di Tanah Air, ada kebiasaan halal bihalal tiap 1 Syawal. Konon, tradisi tersebut bermula sejak zaman pemerintahan Sukarno. Inisiatornya adalah seorang ulama bernama KH Abdul Wahab Hasbullah.
Halal bihalal dimaknai sebagai ajang untuk kembali mempererat dan menjalin keakraban di antara sesama Muslimin dan warga bangsa. Dengan memperkokoh silaturahim, persoalan-persoalan bersama dapat lebih mudah diatasi. Tentunya, hal itu tak lengkap tanpa sikap saling maaf-memaafkan.
Inilah kebahagiaan yang timbul dari Idul Fitri. Salam bertemu salam, doa disambut doa. Hilang sudah amarah dan kebencian. Masing-masing merasakan hati yang bersih, bagaikan bayi yang baru lahir di dunia.
Dalam menyongsong akhir Ramadhan pun, mari seluruh Muslimin untuk saling membuka diri dan memaafkan. Kesiapan untuk berintrospeksi diri, saling menerima kelebihan dan kekurangan, serta berkomitmen untuk terus belajar menjadi lebih baik adalah pelajaran yang berharga.
Sempurnanya Ramadhan
Akhirnya, tibalah pada pekan terakhir di bulan suci. Datangnya Idul Fitri berarti tuntas sudah Ramadhan tahun ini menemani. Sempurnanya Ramadhan bermakna, Allah Ta’ala dengan kasih dan sayang-Nya mengizinkan kita untuk menyelesaikan “madrasah istimewa” ini sebulan lamanya. Insya Allah, derajat ketakwaan di sisi-Nya pun dapat diraih.
Hal itu tidak berarti diri ini bahagia karena bulan puasa telah lewat. Fondasi suka cita itu terletak pada keberhasilan dalam mengekang hawa nafsu dalam waktu tertentu.
Karena itu, Nabi SAW mengajarkan umatnya untuk berdoa, “Ya Allah, sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.” Dengan begitu, kesan-kesan baik yang diperoleh selama bulan suci akan terus terpelihara hingga tahun mendatang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.