Tajuk
Moncong Senapan di Papua
Kita berdoa dan berharap situasi ini cepat berakhir dengan kedua pihak, pemerintah dan KKB/TPNPB bisa duduk bersama berdialog.
Teror di Papua belum juga reda. Malah makin menjadi. Korban jiwa terus berjatuhan. Warga Papua di Kabupaten Puncak masih dicekam ketakutan selama bulan suci ini. Pada Ahad, Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Papua, Brigjen I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, tewas ditembak kelompok kriminal bersenjata di Kampung Dambet Distrik Beoga, Kabupaten Puncak.
Ini korban kesekian dari pihak aparat, yang sebelumnya polisi Brimob. Dan kali ini, aparat TNI dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pada bulan lalu, kelompok yang sama juga membunuh dua guru, satu tukang ojek, satu pelajar.
Konfirmasi dari pihak KKB menyatakan, warga sipil yang mereka bunuh adalah mata-mata aparat. Selain itu, KKB juga membakar sekolah, helikopter, dan bandara.
Kemarin, Presiden Joko Widodo sudah berpidato khusus soal Papua ini, meminta agar TNI-Polri mengejar dan menangkap pelaku pembunuhan Kabinda IGP Danny Karya Nugraha. Beberapa pengamat ataupun elite politik yang menyerukan perlunya intervensi militer lebih kuat lagi di Kabupaten Puncak.
Ini bisa berarti mengarah ke satu hal, kemungkinan adanya operasi khusus di Kabupaten Puncak.
Ketua MPR Bambang Soesatyo bahkan sampai menyebut kalau perlu menerjunkan Gultor Kopassus, Raiders, Bravo, dan Denjaka. Ini adalah pasukan-pasukan khusus TNI yang diturunkan dengan kondisi dan tujuan amat spesifik.
Di mata para pasukan khusus ini, target mereka bukan sekadar lagi warga sipil dengan aspirasi politik, melainkan sudah musuh negara yang harus dihabisi. Ini bisa berarti mengarah ke satu hal, kemungkinan adanya operasi khusus di Kabupaten Puncak.
Di sisi lain, pemerintah tampak makin 'mengeras' dengan aksi KKB. Ini ditunjukkan dengan cap teroris kepada KKB Papua oleh Badan Intelijen Negara, seperti yang dituliskan lewat rilisnya kemarin.
Dalam rilis mengabarkan soal meninggalnya kabinda Papua, BIN memilih menggunakan istilah Kelompok Separatis dan Teroris dan Kelompok Separatis Bersenjata untuk menggambarkan pelaku pembunuhan. Pemilihan cap ini memiliki implikasi politik yang kuat bagi pemerintah ataupun juga Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) selaku KKB. Begitu juga, bagi para pendukung separatis Papua di luar Indonesia.
Sebelumnya, pemerintah terlihat sangat berhati-hati memilih diksi untuk menggambarkan aksi TPNPB. Dengan hanya menggunakan ‘kriminal’ maka aksi yang mereka lakukan dibatasi sejauh aksi kejahatan.
Pemerintah memilih tidak menggubris maksud politik di balik aksi itu. Namun, BIN sudah mengecap sebagai separatis, ini menjadi berbeda. Karena kata ‘separatis’ memiliki makna politik yang amat kuat.
Dengan demikian di satu sisi, TPNPB kini bisalah menganggap aksi politik-aksi kekerasan mereka “akhirnya” diakui. Bisa juga diartikan, kini TPNPB dan pemerintah berdiri pada posisi yang sama.
Ini juga berarti, pendekatan keamanan kini dominan diterapkan di Papua, ketimbang pendekatan kesejahteraan ataupun pendekatan ekonomi.
Ini juga berarti, pendekatan keamanan kini dominan diterapkan di Papua, ketimbang pendekatan kesejahteraan ataupun pendekatan ekonomi. Padahal kita tahu, pendekatan keamanan, pendekatan ekonomi, dan pendekatan kesejahteraan belum juga efektif menekan aksi KKB tersebut.
Papua kini amat membutuhkan pendekatan yang bisa menarik warganya yang ikut aksi itu mendekat ke meja dialog, berbicara bersama, mendengar bersama, bukannya menjauh ke hutan dan mengangkat senjata.
Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid menginisiasi pendekatan politik berbasis dialog dan kultural. Ini setelah mereka tahu, pendekatan kekerasan semata atau distribusi ekonomi dan kesejahteraan saja tidak cukup untuk Papua. Buntut dari pendekatan itu adalah lahirnya UU Otonomi Khusus Papua, yang pada awal-awal bisa meredam aksi-aksi kekerasan dan kejahatan.
Kita prihatin atas situasi di Papua. Kita berdoa dan berharap situasi ini cepat berakhir dengan kedua pihak, pemerintah dan KKB/TPNPB bisa duduk bersama berdialog soal keindonesiaan dan kepapuaan kita.
Namun, kita juga meminta pemerintah menghukum para pelaku pembunuhan warga sipil dan aparat TNI-Polri. Ikhtiar dialog menyeluruh di Papua, tidak hanya segelintir elite, sepertinya kini menjadi amat mendesak dikedepankan, lebih dulu ketimbang ramai-ramai mengangkat moncong senapan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.