Nasional
Perlakuan Terhadap Tersangka Km 50 Dipertanyakan
Polri diminta tegas memisahkan perilaku anggotanya dengan kebijakan lembaga.
JAKARTA -- Sejumlah pihak menyayangkan perlakukan Bareskrim Polri terhadap tersangka kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek, Desember, 2020 lalu. Bareskrim tidak menahan dua tersangka pembunuhan anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) usai ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (6/4).
Identitas kedua polisi itu juga tidak dijelaskan. Sementara, kasus tersangka berinisial EPZ dihentikan dengan klaim telah meninggal dunia.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto memandang langkah Polri tersebut akan menjadi blunder. Ia menilai, asumsi masyarakat soal keterlibatan petinggi Polri dalam kasus unlawful killing (pembunuhan di luar hukum) justru makin sulit ditepis. Keputusan tidak menahan para tersangka dapat dianggap keberpihakan Polri pada tersangka.
"Sangat disayangkan. Dan ini juga membuktikan bahwa upaya kepolisian untuk melindungi anggota yang bersalah akan menjadi blunder bagi kepolisian sebagai suatu institusi," kata Bambang pada Republika, Rabu (7/4).
Bambang mengingatkan Polri untuk menaati semboyan profesional yang tercantum di tiap kantor kepolisian. Kesalahan tersangka, kata dia, harus ditebus sesuai hukum yang berlaku. "Sebuah lembaga profesional tentunya harus tegas memisahkan perilaku anggota dengan kebijakan lembaga," ujar Bambang.
Jika Polri terus membela para tersangka, kata dia, maka masyarakat akan semakin percaya aksi pembunuhan enam warga sipil itu seolah mendapat restu dari petingginya. "Upaya untuk melindungi anggota bisa jadi memunculkan asumsi bahwa insiden itu adalah kebijakan lembaga," kata dia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Rusdi Hartono mengatakan, penahanan tersangka dapat dilakukan atas pertimbangan penyidik. "Ini masih kita melihat tersangka apakah ditahan, nanti akan dilakukan oleh penyidik," kata Rusdi saat pengumuman tersangka pada Selasa.
Ketiga tersangka dikenakan Pasal 338 junto Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Pasal 338 KUHP mengancam para terangak dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara, sementara Pasal 351 KUHP mengancam pelaku dengan penjara paling lama tujuh tahun. Lazimnya, tersangka dengan hukuman 5 tahun ke atas akan ditahan sesuai ketentuan Pasal 21 ayat 4 KUHP.
Kriminolog Adrianus Meliala juga menganggap perlakuan terhadap tersangka KM 50 itu tidak biasa terjadi di lingkungan kepolisian. Namun, ia menyarankan kejanggalan itu tidak perlu dipikirkan berlarut-larut. Sebab, kasus itu nantinya akan masuk juga ke kejaksaan dan pengadilan. "Karena begitu berkas masuk ke kejaksaan, maka opini jaksa dan pengadilan bisa berbeda. Kemungkinan bisa lebih obyektif dibanding saat berkas masih di polisi," ujar Adrianus.
Ketua Tim Advokasi Kasus Pembunuhan Enam Anggota Laskar FPI, Muhammad Hariadi Nasution menuding kepolisian takut para pelaku akan membeberkan nama pihak lain yang diduga memberikan perintah pembunuhan. "Tentu pelaku lapangan tidak mau dikorbankan begitu saja. Rugi besar mereka yang hanya menjalankan perintah komandan, tapi harus menanggung semua resiko, bahkan berhenti dari dinas Polri dan tentu saja kehilangan sumber penghasilan," kata dia, kemarin.
Ia berharap para pelaku akan menjelaskan semuanya di pengadilan sehingga kasus itu bisa dilihat secara transparan. "Mungkin juga masih belum deal dan belum bisa memastikan pihak yang dikorbankan tidak akan buka suara tentang komando yang diterima," kata dia. Hariadi mengaku akan terus mengawal kasus itu hingga diusut secara tuntas.
Pengacara Habib Rizieq Shihab (HRS), Aziz Yanuar juga menyindir terkait perlakukan polisi yang berbeda terhadap kliennya. Diketahui, enam laskar FPI dibunuh saat memergoki pembuntutan HRS pada Senin, 7 Desember 2020, dini hari.
Aziz menganggap hal ini semakin menguatkan asumsi ketidakadilan yang diterima HRS. "(Kasus) prokes ditahan, diduga membunuh tidak ditahan. Ini begaimana ya hukum di Republik ini?" keluh Aziz.
Kabag Penum Mabes Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, Polri membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan kesaksian terkait kasus KM 50 tersebut. Ramadhan mengatakan, keterangan dari masyarakat dapat melengkapi bukti yang sudah ada. "Siapa pun yang ingin melibatkan diri membantu Polri dalam pengungkapan ini kami terbuka, tetap aturan dan dasarnya undang-undang. Jadi bukan yang komentar liar atau pun memberikan komentar yang tidak bertanggung jawab," kata dia di Mabes Polri, kemarin.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.