Resonansi
Perempuan dan Terorisme (1)
Secara historis pada konteks lebih luas, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme tidak baru sama sekali.
Oleh AZYUMARDI AZRA
OLEH AZYUMARDI AZRA
Tindak kekerasan yang menurut berbagai undang-undang, regulasi, dan literatur termasuk terorisme belakangan ini tampak kian mengalami ‘feminisasi’.
Fenomena ekstremisme, radikalisme, dan terorisme khususnya di Indonesia terlihat melibatkan kian banyak perempuan. Seperti lazimnya, kebanyakan laki-laki pelaku terorisme yang masih berusia muda, perempuan yang terlibat juga masih berumur 20-an tahun.
Mereka sering disebut ‘generasi milenial’. Mencakup ‘generasi Z’ yang lahir pada 1980-an sampai 1995 dan ‘generasi Y’ yang lahir antara 1996-2015.
Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme pada waktu terakhir terjadi dalam bom bunuh diri di depan Katedral Makassar (28/3/2021). Dalam kasus ini, YSF bersama suaminya L, tewas dalam ledakan bom.
Mereka pasangan generasi milenial kelahiran 1995 yang baru menikah. Bahkan, YSF disebut sedang hamil empat bulan.
Namun, secara historis pada konteks lebih luas, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme tidak baru sama sekali.
Perempuan kedua, gadis ZA yang tewas ditembak aparat Polri di Mabes Polri Jakarta setelah mengacung-acungkan pistol ‘soft-gun’ pada beberapa petugas di depan pos keamanan.
ZA kelahiran 1995 disebut ‘lone wolf’, ‘serigala’ yang bertindak sendiri dalam aksinya, walau agaknya ada ‘mastermind’ yang mengarahkannya. Fenomena keterlibatan perempuan dalam pemahaman dan praksis keagamaan ekstrem, radikal, dan teroristik mencemaskan.
Perkembangan ini memperlihatkan ekstremisme dan radikalisme yang dapat berpuncak pada aksi terorisme tidak hanya bisa dilakukan laki-laki yang dianggap lebih berani melakukan aksi teror dengan mengorbankan nyawanya sendiri dan orang lain, tapi juga perempuan.
Namun, secara historis pada konteks lebih luas, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme tidak baru sama sekali. Para pelaku juga tak terbatas pada perempuan dari agama tertentu. Perempuan berlatar belakang agama atau lingkungan sosial-politik berbeda dapat menjadi teroris.
Perempuan yang agaknya pertama kali tercatat sebagai pelaku terorisme adalah Vera Zasulich. Pada Januari 1878, dia memberondongkan senapannya ke Gubernur St Petersburg, Rusia, Fyodor Trepov yang kemudian tewas karena luka-luka yang dia derita.
Penyidangan Vera menimbulkan gelombang terorisme di Rusia yang berpuncak dengan tewasnya Tsar Alexander II (1/3/1881). Di dalam sidang pengadilan, Vera dengan bangga menyatakan diri bukan pembunuh, tetapi ‘teroris’ yang berjuang melawan kesewenang-wenangan politik Rusia.
Perempuan yang terlibat aksi terorisme pada dasawarsa 1960-1970, umumnya berasal dari lingkaran politik sayap kiri.
Keterlibatan perempuan dalam terorisme awalnya terkait politik. Keterkaitan perempuan dengan terorisme dan politik sangat kompleks dan ekstensif, khususnya sejak 1960-an yang disebut sebagai awal peningkatan aktivisme teroris perempuan.
Perempuan yang terlibat aksi terorisme pada dasawarsa 1960-1970, umumnya berasal dari lingkaran politik sayap kiri. Ada beberapa contoh aktivis perempuan yang kemudian menjadi pola dasar (prototipe) aksi terorisme.
Yang paling menonjol, misalnya, Ulrike Meinhof, teroris sayap kiri dan salah satu pendiri Red Army Jerman, yang terlibat aksi teror dan perampokan bank (heist) antara 1970-1972. Dia dijatuhi hukuman penjara delapan tahun pada 1974; tapi dia bunuh diri di penjara sebelum terlalu lama menjalani hidup di ‘hotel prodeo’.
Lalu ada Leila Khaled aktivis Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), sayap kiri gerakan pembebasan Palestina melawan Israel. Banyak pihak menyebut Leila sebagai teroris pertama yang membajak pesawat.
Dia membajak penerbangan TWA 840 dari Roma ke Tel Aviv pada 29 Agustus 1969; menodongkan senapan AK-47 ke pilot untuk memaksanya mendaratkan pesawat Boeing 707 di Damaskus. Semua penumpang dan awak selamat; hanya hidung pesawat rusak kena tembakan.
Tidak berhenti sampai di situ. Pada 6 September 1970 Leila Khaled bersama Patrick Agruello, warga Amerika asal Nikaragua, membajak maskapai Israel, El Al 219 yang terbang dari Schiphol Amsterdam ke JFK, New York.
Tidak ada di antara teroris perempuan di atas yang dikenal religius.
Pembajakan digagalkan marshall Israel, tentara yang bertugas mengawal setiap penerbangan El Al; menewaskan Agruello, menundukkan Leila dan mendaratkan pesawat di Bandara Heathrow, London.
Perempuan juga terlibat aksi terorisme dalam konflik politik berbau agama (Protestan versus Katolik) di Irlandia Utara. Dua teroris perempuan sering disebut: Dolours dan adiknya Marian Price yang melakukan pengeboman di Old Bailey, London, pada 8/3/1973 yang membuat lebih 200 orang luka dan satu tewas.
Keduanya, semula dijatuhi hukuman seumur hidup, kemudian dikurangi jadi 20 tahun yang dijalani hanya 7 tahun setelah mendapat pengampunan Kerajaan Inggris.
Tidak ada di antara teroris perempuan di atas yang dikenal religius. Leila Khaled yang sekarang terus menjadi ‘legenda hidup’ di kalangan pejuang Palestina, dikenal tidak menjalankan ibadah. Karena itu, aksi terorisme yang dilakukan semua teroris perempuan di atas murni politik; tidak didasari pemahaman dan praksis keagamaan tertentu.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.