Nasional
Polisi Penembak Laskar FPI Jadi Tersangka
Polri diminta menjelaskan kematian terlapor kasus Km 50.
JAKARTA -- Penyidik Bareskrim Polri menaikkan status terlapor tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus dugaan pembunuhan di luar hukum atau unlawful killing terhadap anggota FPI yang terjadi di Km 50, Tol Cikampek. Penetapan tersangka berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan pada Kamis (1/4) lalu.
"Kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan maka status dari terlapor dinaikkan menjadi tersangka," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Rusdi Hartono di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (6/4).
Rusdi mengatakan, kesimpulan tersebut diperoleh dari hasil gelar perkara yang telah dilakukan penyidik Bareskrim Polri pada Kamis (1/4) lalu. Dari tiga tersangka itu, lanjut Rusdi, karena salah satunya sudah meninggal dunia yakni dengan inisial EPZ, maka penyidikannya dihentikan sesuai dengan Pasal 109 KUHAP.
"Ada satu terlapor inisial EPZ itu meninggal dunia, berdasarkan Pasal 109 KUHAP, karena yang bersangkutan meninggal dunia maka penyidikannya langsung dihentikan," ucap Rusdi.
Rusdi menegaskan, penyidikan tetap berlanjut untuk dua tersangka lainnya yang hingga kini inisialnya belum diungkap oleh Mabes Polri. "Jadi kelanjutannya terdapat dua tersangka anggota yang terlibat dalam peristiwa Km 50," ujar Rusdi.
Anggota Polda Metro Jaya tersebut telah dibebastugaskan untuk keperluan penyidikan. Ketiganya dikenakan Pasal 338 juchto Pasal 351 KUHP tentang pembunuhan dan penganiayaan. Ketiga anggota Polri yang terlibat dalam peristiwa Km 50 tersebut bertugas di Polda Metro Jaya.
Sejak Rabu (10/3) setelah melakukan gelar perkara awal, penyidik Bareskrim Polri menaikkan status perkara dari penyelidikan menjadi penyidikan. Pada saat itu, Mabes Polri masih menyatakan status terlapor masih tiga orang anggota Polri.
Selanjutnya, pada Jumat (26/3) secara resmi Mabes Polri memberitahukan soal satu terlapor unlawful killing berinisial EPZ meningal dunia karena kecelakaan tunggal. Kecelakaan tunggal tersebut terjadi di Jalan Bukit Jaya, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten pada 3 Januari 2021 pukul 23.45 WIB. EPZ dinyatakan meninggal pada 4 Januari 2021 pukul 12.55 WIB.
Komnas HAM pada 8 Januari 2021 telah melaporkan hasil penyelidikan terhadap kematian empat orang laskar Front Pembela Islam (FPI) yang berawal dari pembuntutan terhadap Habib Rizieq Shihab pada 6 sampai 7 Desember 2020. Saat itu, anggota Polri mengikuti rombongan tokoh FPI itu bersama para pengawalnya dalam sembilan kendaraan roda empat bergerak dari Sentul ke Karawang.
Hasil investigasi Komnas HAM menyimpulkan bahwa insiden penembakan empat laskar merupakan pelanggaran HAM. Menurut Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam penembakan empat laskar merupakan unlawful killing sebab dilakukan tanpa upaya menghindari jatuhnya korban oleh aparat kepolisian.
Kematian terlapor
Sementara, anggota Komnas HAM M Choirul Anam meminta pihak kepolisian menjelaskan secara rinci kepada publik terkait kematian anggota Polri yang menjadi terduga penembak anggota laskar FPI. Hal itu diungkapkan Anam saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR, Selasa (6/4).
"Kami harap Kepolisian dapat menjelaskan secara rinci agar publik tidak bertanya-tanya," kata Choirul Anam dalam RDP di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Bareskrim Polri pada Jumat (26/3) mengumumkan satu dari tiga terlapor peristiwa berdarah di Km 50 Tol Jakarta-Cikapmpek itu telah meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal di Jalan Bukit Jaya, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan pada 3 Januari 2021.
Namun, kematian polisi berinisal EPZ itu masih misterius karena lokasi kecelakaan yang disebut Polri tidak terdeteksi di kecamatan setempat. Camat Setu, Hamdani HS kepada Republika mengatakan, tidak ada lokasi bernama Jalan Bukit Jaya di wilayahnya. “Saya sudah dalami, tidak ada (kecelakaan). Saya tanya ke tim UCT (Cepat Tanggap), enggak ada laporan,” kata dia, Rabu (31/3).
Anam mengatakan, Komnas HAM mendapatkan banyak pertanyaan dari masyarakat terkait klaim kematian EPZ. Publik ingin tahu kematian itu normal atau tidak. Menurut dia, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, kematian anggota Polri tersebut tidak akan mengganggu konstruksi peristiwa pelanggaran HAM berupa unlawful killing oleh aparat kepolisian.
"Kematian Elwira (EPZ), berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, tidak mengganggu konstruksi peristiwa. Semua keterangan sudah kami dapatkan karena sudah kami periksa dua kali secara mendalam," kata dia.
Anam mengatakan, Komnas HAM sudah mengingatkan kepolisian agar bekerja akuntabel dan itu harus dicerminkan dengan manajemen penegakan hukum. Namun, yang terjadi sebaliknya, yaitu pengelolaan isu. Dia mencontohkan pengelolaan isu terkait Polri mengumumkan enam Laskar FPI sebagai tersangka, padahal sudah meninggal. Lalu, dua hari kemudian penetapan itu dicabut.
"Itu contoh manajemen isu, bukan penegakan hukum. Lalu Elwira tiba-tiba diumumkan meninggal, kalau penegakan hukum, pasti ada orang yang dipanggil sebagai saksi lalu proses pemeriksaan yang diumumkan," kata dia.
Anam pun meminta dukungan Komisi III DPR terhadap kinerja penegakan HAM yang dilakukan Komnas HAM. Dia meminta adanya mekanisme bersama yang dilakukan Komnas HAM dan Komisi III untuk mendiskusikan perkara pelanggaran HAM secara mendalam.
"Kami bermimpi ada mekanisme bersama Komnas HAM dan Komisi III DPR bagaimana menangani kasus, per periode berkumpul agar diskusi mendalam," kata dia.
Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh mengatakan, Komisi III sepakat dengan Komnas HAM untuk melakukan koordinasi berkala terkait manajemen penanganan dan pengawasan perkara. Sebagai kesimpulan RDP, Komisi III meminta Komnas HAM menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya.
"Beserta kondisi HAM dan hasil investigasi yang telah dilakukan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang ditanganinya kepada DPR sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 97 UU 39 tahun 1999 tentang HAM," ujarnya.
Politisi PAN itu menjelaskan, Komisi III juga meminta Komnas HAM mengkaji secara komprehensif seluruh aspek terkait dengan HAM dan kebebasan dasar manusia.
Anggota Komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani menilai kerja keras Komnas HAM dalam kasus Km 50 dinilai konkret. Hal itu dibuktikan adanya proses hukum terhadap internal Polri. "Saya kira kalau Komnas tidak bekerja ini, barangkali enggak tahu juga apakah terjadi proses hukum terhadap internal," kata dia.
Polisi sering diadukan
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan, ada tiga pihak yang paling banyak diadukan masyarakat terkait dugaan pelanggaran HAM selama 2016-2020, yaitu kepolisian, korporasi dan pemerintah daerah. Dari empat itu, posisi pertama ditempati kepolisian.
"Kepolisian menjadi pihak tertinggi karena ada kasus maupun ada pihak yang dituduh melanggar HAM, namun penanganan yang dilakukan Polri tidak tepat," kata Taufan dalam RDP.
Menurut dia, ada 1.992 kasus yang diadukan masyarakat terkait kepolisian dengan tipologi kasus pelanggaran HAM seperti lambatnya penanganan kasus, kriminalisasi, penganiayaan, dan proses hukum yang tidak sesuai prosedur. Namun, Polri juga menjadi institusi paling responsif ketika Komnas HAM meminta penjelasan.
"Misalnya kasus Herman di Kalimantan Timur, Kapolda datang langsung ke Komnas HAM untuk menjelaskan dan pelaku dikenakan tidak hanya etik, namun dikenakan penegakan hukum," ujarnya. Herman adalah terduga pelaku tindak kriminal yang tewas setelah ditangkap polisi.
Terkait korporasi, Komnas HAM kerap menerima aduan berhubungan dengan soal agraria dan perburuhan. Sementara, pemerintah daerah sering diadukan terkait persoalan agraria, intoleransi, pendirian rumah ibadah dan lainnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.