Dunia Islam
Mengenal Minoritas Muslim di Hainan
Muslim di Hainan kebanyakan adalah kelompok etnis Utsul di provinsi paling selatan Cina.
OLEH DEA ALVI SORAYA
Hainan merupakan daerah yang terletak paling selatan di seantero Republik Rakyat Cina (RRC). Provinsi itu meliputi sebuah kepulauan yang dikelilingi Laut Cina Selatan. Pulau terbesarnya, Hainan, memiliki luas 35 ribu kilometer persegi. Darinya pula, nama wilayah tersebut berasal.
Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping (1978-1989), Hainan mulai ditetapkan sebagai zona ekonomi istimewa. Secara geografis, posisi kawasan tersebut sangat strategis sehingga menunjang agenda reformasi perekonomian Cina kala itu.
Hingga kini, wilayah itu telah menjelma sebagai pusat bisnis sekaligus pariwisata yang mendunia. Pada awal Juni 2020, pemerintah RRC mengumumkan rencana jangka panjang untuk mengubah keseluruhan provinsi ini menjadi sebuah kawasan pelabuhan perdagangan bebas.
Yang cukup menarik, kepadatan penduduk Hainan cukup rendah, tidak seperti provinsi-provinsi lainnya di RRC selatan. Menurut sensus yang dilakukan pada 2000, mayoritas warga Hainan merupakan kelompok etnis Han yang penutur bahasa Min (84 persen). Di bawahnya, terdapat suku bangsa Li atau Halai (14,7 persen). Dua grup etnis yang lebih kecil adalah Miao (0,7 persen) dan Zhuang (0,6 persen).
Yang paling minoritas ialah kelompok etnis Utsul. Mereka merupakan keturunan orang-orang Champa yang dahulu berhijrah dari Indocina ke Hainan. Umumnya, mereka menganut Islam. Sebab, itulah agama yang dipeluk nenek moyangnya. Meskipun memiliki keunikan bahasa dan budaya, orang-orang ini diklasifikasikan oleh pemerintah RRC sebagai suku bangsa Hui. Penyebabnya hanya karena kesamaan identitas Muslim.
Adrianna Zhang melaporkan untuk VOA Mandarin beberapa pekan lalu tentang kondisi minoritas Utsul di Hainan. Menurutnya, nasib mereka tak ubahnya kelompok etnis Uighur yang menjadi sasaran kampanye Partai Komunis Tiongkok (PKT). Visi PKT hendak mencapai apa yang mereka sebut sebagai “sinisasi” (sinicization) agama Islam.
Komunitas Muslim Utsul disebut-sebut telah menjadi target baru dalam pembatasan beragama yang dikomandoi Beijing. Bila itu berjalan sukses, paham komunisme digadang-gadang dapat menjadi ideologi dominan di seluruh negeri, tak terkecuali Provinsi Hainan.
Zhang mengutip Gu Yi, seorang komentator politik yang beragama Islam. Pengamat politik itu menjelaskan, kampanye “sinisisasi” Islam PKT dimaksudkan untuk menghilangkan budaya Islam. “Mereka melakukan ini karena Islam memiliki sistem kepercayaan dan struktur sosialnya sendiri, yang dianggap merupakan ancaman serius bagi rezim totaliter seperti PKT. Mereka (PKT) tidak dapat menoleransi kelompok yang berpikir berbeda,” ujar Gu Yi, seperti dikutip VOA News beberapa waktu lalu.
Kampanye demikian, lanjut dia, bertujuan memutuskan hubungan yang dimiliki warga Muslimin, termasuk kelompok minoritas Utsul di Hainan, dengan Islam. Alhasil, umat Islam di seluruh Cina berpotensi kehilangan rasa persatuan (ukhuwah) dengan sesama pemeluk agama ini. Gencarnya operasi hegemoni kultural itu telah berjalan di Negeri Tirai Bambu setidaknya sejak 2018.
Bentuk kebijakannya bermacam-macam. Sebagai contoh, pemerintah daerah Hainan mewajibkan berkibarnya bendera nasional RRC di masjid-masjid, menghilangkan label tanda halal yang tercantum dengan aksara Arab, atau bahkan menutup sekolah-sekolah Islam. Anak-anak di bawah usia 18 tahun juga dilarang belajar di masjid. Pengeras suara yang dapat menggaungkan azan dari dalam rumah-rumah ibadah pun tidak boleh dipasang atau difungsikan.
“(Kampanye) itu untuk membuat minoritas ini menjadi kelompok yang pendiam dan penurut,” kata Gu.
Sebagian besar Utsul tinggal di kota pelabuhan Sanya, di Desa Huixin dan Huihui, dan berbicara dalam bahasa Champa. Itu menjadi penanda hubungan genealogis mereka dengan orang-orang Champa yang menghuni beberapa kawasan di Vietnam dan Kamboja. Berabad-abad silam, dari sanalah leluhurnya berasal.
Meski begitu, komunitas Utsul di Sanya telah memainkan peran penting dalam hubungan Tiongkok dengan dunia Islam, menjadi tujuan resor bagi Muslim Tiongkok lainnya dan sebagai jembatan menuju komunitas Muslim di Asia Tenggara dan Timur Tengah, menurut New York Times.
Kebijakan negara setempat atas kelompok-kelompok minoritas, seperti Utsul, dimulai beberapa tahun lalu. Terkait Hainan, PKT mengeluarkan aturan bertajuk “Rencana Kerja untuk Memperkuat Tata Kelola Komprehensif Komunitas Huixin dan Komunitas Huihui (Utsul)” pada 2019. Di dalamnya, terdapat enam tindakan komprehensif. Beberapa di antaranya adalah pendisiplinan simbol dan tanda, sekolah, dan audit keuangan wajib.
Imbasnya, kebijakan tersebut menghalangi kaum Muslimah setempat untuk mengenakan jilbab di tempat kerja. Setiap komite yang dibentuk untuk mengelola masjid juga harus menyertakan anggota PKT di dalam struktur keanggotaannya. Seorang pekerja di restoran halal lokal mengatakan bahwa pemerintah daerah telah memerintahkan penghapusan kata "halal" dari tanda dan menu.
Dia menambahkan bahwa pemerintah juga telah memerintahkan penghapusan tanda-tanda di rumah dan toko yang bertuliskan "Allahu akbar.”
Hingga kini, Pemerintah RRC terus mendapatkan sorotan terkait perlakuan terhadap kelompok-kelompok Muslim, semisal Uighur di Xinjiang. Bagaimanapun, Beijing terus membantah berbagai tudingan yang dialamatkan terutama oleh negara-negara Barat. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, mengatakan bulan lalu, bahwa laporan penahanan sewenang-wenang, penganiayaan, kekerasan seksual, dan kerja paksa di Xinjiang memerlukan penilaian yang menyeluruh dan independen. Pembicaraan tentang pengorganisasian kunjungan telah dimulai, tetapi belum ada kesepakatan yang dicapai.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.