Opini
Radikalisme dan Kelelahan Peradaban
Patut kiranya melihat dan merespons potensi radikalisme-terorisme dengan jernih.
SAIFUL MAARIF, Bekerja di Kementerian Agama dan Penggiat Birokrat Menulis
Radikalisme menjadi diksi yang ruang pemaknaannya sering direbut dan dikuasai sepihak. Bermula dari semangat pembebasan yang disuarakan Karl Marx, radikalisme kemudian mengisi ruang kepentingan politik secara bahasa, sosial, ekonomi, dan politik.
Hari-hari ini, tema radikalisme menguar dan umat Islam kembali berada di tubir sinisme. Sementara itu, makna terorisme sudah berkembang dan menjadi bagian daya pikir manusia secara konstruktif dan politis saat Revolusi Prancis terjadi.
Mulai saat itu, kata le terreur, yang seterusnya menjadi terrorism, mulai dikenal dan jadi momok. Entah di dalam dan luar negeri, kerap tindak terorisme teridentifikasi melibatkan beberapa individu, kelompok, dan afiliasi bercirikan Islam.
Akibatnya, umat Islam kerap diposisikan sebagai pihak paling sering mengemuka sebagai pembawa ide radikalisme-terorisme sekaligus pelaksananya.
Pada dasarnya, inilah upaya untuk meletakkan Islam dalam pemahaman sebagai pihak yang dianggap gagal dalam interaksi dan kontestasi merespons perkembangan dan disrupsi sosial, budaya, dan politik.
Sering umat Islam berada dalam situasi kampanye hitam yang akhirnya terbukti dengan sendirinya. Itulah mengapa dunia seperti tertipu dan tersadar menjadi bagian huru-hara informasi saat terjadi rusuh terkait majalah satir Charlie Hebdo belum lama ini.
Sering umat Islam berada dalam situasi kampanye hitam yang akhirnya terbukti dengan sendirinya.
Setelah kejadian itu, dunia sibuk menuduh umat Islam sebagai biang radikalisme-terorisme. Tuduhan tersebut telah dan kemudian diperkuat retorika dan sinisme pemimpin dunia, terutama saat era Donald Trump berkuasa, pada Islam yang begitu nyalang.
Selepas tragedi World Trade Center pada 2011, pemaknaan radikalisme makin menyudutkan umat Islam. Asumsi yang dibangun cenderung membangkitkan rasa benci, sepihak, dan penuh antipati.
Amin Maalouf dalam Disordered World, A Vision for The Post 9/11 World (2011), melihat sikap politik demikian bukan hanya soal makna radikalisme dan mencari biang terorisme, lebih jauh berupa sikap cenderung mendasarkan banyak hal pada kekacauan.
Maalouf melihat, kekacauan itu mengambil bentuk pembenaran lewat operasional tiga hal: intelektual (pernyataan yang membenarkan alienasi sosial dengan penolakan untuk hidup berdampingan dan kritik bersama).
Lalu, ekonomi dan keuangan (bahwa makin menipisnya sumber daya alam dan minyak yang memerlukan eskplorasi alam dan politik lebih lanjut), dan perubahan iklim (dominasi industrialisasi dan kapitalisme harus terus dijaga dengan segala cara).
Dua kutub Islam dan Barat, pada dasarnya tidak sedang bertarung secara diametral.
Dua kutub Islam dan Barat, pada dasarnya tidak sedang bertarung secara diametral, dengan asumsi Islam kemudian yang “kalah” dan patut dikutuk dengan label terorisme dan radikalisme.
Maalouf tidak berada dalam barisan pemahaman tentang benturan peradaban sebagaimana keyakinan Samuel Huntington dan peganutnya. Alih-alih, Maalouf melihatnya sebagai “kelelahan peradaban”.
Kelelahan peradaban
Kelelahan peradaban terlihat dari upaya simplistik yang dipilih. Barat telah mengkhianati tujuan nilai demokrasinya sendiri dengan jalan mengenalkan demokrasi secara paksa ke Timur Tengah dan negara Islam lain.
Pada saat sama, umat Islam dipaksa berada pada situasi dilematis dan dramatis untuk menerima label dan kedekatan dengan radikalisme dan terorisme. Kita bisa melihat kecenderungan ini dalam konflik berkepanjangan di Timur Tengah kini.
Dalam konteks ini, penting untuk menimbang bahwa pada kenyataannya berbagai perang dan pelibatan Barat dalam kekerasan di Timur Tengah adalah bagian dari kepentingan industri dan finansial mereka.
Di titik ini, pendapat Maalouf benar adanya. Kelelahan untuk menemukan fakta dan akurasi motif radikalisme dan terorisme menumpulkan keadilan dan moderasi yang seharusnya patut ditegakkan.
Sikap menyudutkan dan menjustifikasi Islam dan nilai di dalamnya sebagai pemicu radikalisme-terorisme lebih mengemuka.
Sikap menyudutkan dan menjustifikasi Islam dan nilai di dalamnya sebagai pemicu radikalisme-terorisme lebih mengemuka. Dengan asumsi demikian, patut kiranya melihat dan merespons potensi radikalisme-terorisme dengan jernih.
Nyatanya, kepentingan kapitalistik juga memiliki daya rusak tinggi terhadap peradaban dan nilai agama mudah dikorbankan untuk kepentingan ini.
Penandatanganan “Abraham Accord”, misalnya, yang didukung AS, Israel, dan beberapa negara Arab jelas pengkhinatan nilai persatuan umat Islam dan humanisme. Di balik itu, negara terkait menyiapkan cetak biru sabuk ekonomi yang terkoneksi satu sama lain.
Apa yang menjadi konsep keterhubungan jalur ekonomi dalam Oman Vision 2040, UAE Vision 2021, Bahrain Economic Vision 2030, dan Saudi Vison 2030 jelas senapas dengan semangat Israel menjadi pemain utama dalam Red Sea– Mediterranian High-Speed Railway yang dideklarasikan pada 2012.
Masih dalam pemahaman Maalouf, solusi yang perlu dipikirkan bersama atas kondisi demikian, perlunya meningkatkan kesejahteraan di berbagai negara yang disinyalir menjadi ladang menjamurnya pemahaman radikalisme dan terorisme.
“Abraham Accord” mestinya adalah “Gulf Accord” untuk mengentaskan negara-negara miskin di Timur Tengah dan mampu menjadi energi penyemangat suluh peradaban damai dunia, menjadi jawaban sinyalemen kelelahan peradaban.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.