Melacak jejak sang legenda Laksamana Cheng Ho. | DOK Wikipedia

Kitab

Melacak Jejak Sang Legenda

Perjalanan hidup sang legenda Laksamana Cheng Ho diulas dengan pendekatan akademis.

OLEH MUHYIDDIN

Syiar Islam telah menyebar luas di Negeri Tiongkok selama lebih dari 1.400 tahun. Dalam rentang berabad-abad itu, ada satu sosok yang cukup legendaris, yakni Laksamana Cheng Ho (ejaan bahasa Inggris: Zheng He). Tokoh ini merupakan seorang penjelajah dengan reputasi yang mendunia. Lahir pada 1371 M, ia berasal dari keluarga Muslim di Kunming, Yunnan, pada masa Dinasti Ming.  

Bagi masyarakat Indonesia, Cheng Ho bukanlah nama yang asing. Ada berbagai buku yang membicarakan tentangnya. Bagaimanapun, buku karya akademisi Universitas Peking Prof Kong Yuanzhi cenderung mengemuka dibandingkan dengan yang lain. Sebab, di dalamnya sang penulis mengulas biografi sang laksamana dengan pendekatan akademis yang mendetail. Buku yang dimaksud berjudul Cheng Ho: Muslim Tionghoa, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara.

Catatan perjalanan Cheng Ho ini diangkat kembali sebagai bahan kajian ataupun renungan bagi pembaca. Dalam kata pengantarnya, Yuanzhi hendak mengingatkan kembali generasi kini pada fakta, sejak abad ke-14 telah ada seorang bahariwan asal Tiongkok yang berlayar ke Asia hingga Afrika. Sang laksamana memimpin sekira 208 unit kapal laut. Semuanya tidak tertandingi armada mana pun pada masanya.

Dalam Muslim Tionghoa, dijabarkan riwayat pahlawan Cina ini semenjak di Nanjing. Atas perintah sang kaisar, Cheng Ho memimpin armada laut Dinasti Ming ke lebih dari 30 kerajaan di penjuru dunia. Ekspedisi besar ini dilakukannya dalam kurun waktu 28 tahun (1405-1433) dan melintasi perairan Nusantara, Samudra Hindia, Laut Merah, pesisir Afrika Timur, dan Arab.

Berbeda dengan pelayaran yang dirintis pelaut-pelaut Eropa menjelang Abad Kolonialisme, armada Cheng Ho tidak bertujuan monopoli dagang atau penjajahan. Kekaisaran Ming menghormati kedaulatan tiap-tiap penguasa setempat yang didatangi Cheng Ho.

Tokoh Muslim ini lebih sebagai utusan sang kaisar untuk memperkenalkan kemajuan dan ketinggian budaya Dinasti Ming kepada negeri-negeri luar. Tujuannya adalah peningkatan hubungan diplomasi dan perdagangan mereka dengan Cina.

 
Tujuannya adalah peningkatan hubungan diplomasi dan perdagangan mereka dengan Cina.
 
 

Pada masa itu, Cina memproduksi pelbagai bahan unggul, semisal kain sutra, porselen, alat besi, dan sebagainya. Sementara itu, Cina juga membutuhkan komoditas dari luar, umpamanya rempah-rempah (Nusantara/Afrika Timur), parfum (Arab), perhiasan, dan lain-lain. Berkat ekspedisi Cheng Ho, hubungan menguat antara Cina dan negeri-negeri di sekitar Samudra Hindia serta Laut Cina Selatan.

Sekitar 30 negeri yang disinggahi Cheng Ho lantas mengirimkan utusannya masing-masing ke Nanjing untuk membalas kunjungan Cheng Ho. Sepuluh di antaranya bahkan merupakan raja-raja setempat. Misalnya, pada 1417 Raja Sulu (Filipina) yang juga seorang Muslim, mengunjungi Cina.

Dengan melakukan pelayaran tersebut, Cheng Ho ingin menyebarkan dan memperkenalkan agama Islam kepada penduduk daerah-daerah yang disinggahinya. Berbagai manuskrip tentangnya menyebutkan, sang pelaut adalah seorang Muslim yang saleh. Telah banyak dirinya mengadakan kegiatan keagamaan Islam, baik di dalam maupun luar negerinya sendiri.

 
Dalam setiap pelayarannya, Cheng Ho menerapkan empat manajemen strategi.
 
 

Dalam setiap pelayarannya, Cheng Ho menerapkan empat manajemen strategi. Yuanzhi menjelaskan, keempat metode itu adalah cara Nabi Muhammad SAW, Tao Zhugong, konfusianisme, dan Lautze. Dengan menerapkan seluruh corak manajemen tersebut, ia dapat mengatur dengan apik sistem kerja awak kapalnya sesuai tugas masing-masing.

Peran Cheng Ho cukup signifikan bagi penyebaran dakwah agama Islam, termasuk di Indonesia. Saat mengarungi Asia Tenggara, tentunya ia singgah di sejumlah tempat di Nusantara. Itu dilakukannya selama tujuh kali pelayarannya. Kunjungan armada muhibah itu terjadi pada enam abad yang lalu.

Seluruh ekspedisinya yang berlangsung antara tahun 1405 dan 1433 M adalah misi persahabatan. Tidak seperti para pelaut Eropa pada zaman penjelajahan yang akhirnya membuka era imperialisme dan kolonialisme.

Cheng Ho tercatat pernah singgah di Kerajaan Samudra Pasai. Ia memimpin tidak kurang dari 208 unit kapal. Jejak peninggalannya di daerah ini antara lain berupa lonceng raksasa bernama Cakradonya. Sekarang, benda tersebut dapat dijumpai pada bagian paling depan dari Museum Banda Aceh.

photo
Lonceng cakradonya, lambang persahabatan dan keberagaman antara Kerajaan Aceh dan TIongkok saat Laksamana Cheng Ho mengunjungi Samudra Pasai pada 1441 M. - (kesbangpol.bandaacehkota.go.id)

Kemudian, Laksamana Cheng Ho bersama anak buahnya melanjutkan perjalannya ke sebelah barat Kerajaan Samudera Pasai. Hingga sampailah ia di Kerajaan Nakur yang menghadap Laut Lambri. Setelah itu, ia berlayar melalui bagian barat hingga sampailah di Pelabuhan Palembang.

Berdasarkan penelitian yang ada, Laksamana Cheng Ho juga pernah berlabuh di Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung. Pelayarannya lantas berlanjut ke Sunda Kelapa dan Tanjung Mas (Ancol). Saat itu, ia bersama para awak kapalnya sempat menonton tarian ronggeng yang dilakukan penduduk setempat. Waktu itu, nyaris seluruh Ancol masih berupa hutan berawa.

Pada 1415 M, rombongan armada Cheng Ho berlabuh di Muara Jati. Dalam salah satu ekspedisinya yang legendaris, dirinya diketahui bersilaturahim dengan penguasa setempat. Sebelum berpisah, ia memberikan cendera mata dari Tiongkok, seperti porselen, guci, kain sutra, keramik, dan lain-lain.

Masih banyak daerah lainnya di Indonesia yang pernah disinggahi Laksamana Cheng Ho. Beberapa di antaranya adalah Cirebon, Semarang, Tuban, Gresik, Surabaya, dan Mojokerto. Jejak pelayarannya ke daerah-daerah tersebut dijelaskan secara gamblang dalam buku yang disunting Prof HM Hembing Wijayakusuma ini. Karya ini pun dilengkapi dengan berbagai ilustrasi yang melukiskan perjalanan hidup tokoh beretnis Tionghoa tersebut.

photo
Dalam buku ini, biografi sosok Laksamana Cheng Ho diulas dengan mendetail, termasuk interaksi dengan masyarakat Nusantara dan kiprahnya di negeri kepulauan ini. - (DOK PRI)

Keturunan Nabi?

Penulis buku ini, Prof Kong Yuanzhi memang sangat tertarik pada sejarah persahabatan bangsa Tionghoa dengan bangsa Indonesia, termasuk peristiwa kunjungan Cheng Ho ke Indonesia. Karena itu, dia pun sudah sejak lama mengumpulkan data-data mengenai kunjungan Cheng Ho ke Indonesia.

Prof Kong Yuanzhi menempuh pendidikannya di jurusan Bahasa dan Kebudayaan Indonesia Universitas Peking. Selain itu, dia juga pernah mengambil studi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1964-1965.

Pembahasan dalam buku ini dibagi menjadi lima bab. Pada bab pertama dijelaskan tentang sosok Cheng Ho sebagai bahariwan besar dunia. Karena, selama 28 tahun, Cheng Ho telah memimpin armada raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30 negara.

Pada bab kedua, kemudian dibahas tentang riwayat Cheng Ho dan sosoknya sebagai Muslim yang taat. Di bab ini pula Cheng Ho disebut sebagai keturunan ke-37 Nabi Muhammad SAW. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan beberapa sarjana, yakni antara lain Li Shihou dari Tiongkok dan Usman Effendy dari Indonesia.

Setelah mengenal sosok Cheng Ho, kemudian dilanjutkan pembahasan pada bab ketiga. Pada bab ini, penulis banyak menjelaskan tentang perjalanan Cheng Ho di Semarang, serta mengungkapkan tempat makam Cheng Ho.

Pada bab keempat, penulis menggali lebih dalam tentang sejarah Cheng Ho di Indonesia, termasuk saat berkunjung ke berbagai kerajaan di Indonesia. Sedangkan pada bab kelima dijelaskan tentang cerita rakyat dan peninggalan sejarah tentang kunjungan Muhibah Cheng Ho ke Asia Tenggara.

Buku ini sangat bermanfaat bagi generasi millenial. Karena, misi perjalanan muhibah Cheng Ho 600 tahun yang lalu ke nusantara telah memberikan keteladanan dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, semua perjalanan Cheng Ho yang dijelaskan dalam buku ini juga sangat bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang beragam beragam suku dan etnis.

Karya Prof Kong Yuanzhi ini sangat menginspirasi dengan memperkenalkan sosok Cheng Ho sebagai tokoh penyebar Islam, serta metodenya dalam menyebarkan Islam. Buku ini juga dilengkapi dengan beberapa gambar, sehingga lebih menambah kemudahan dalam memahami isi buku tersebut.

 

 

DATA BUKU

Judul: Cheng Ho: Muslim Tionghoa, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara

Penulis: Prof Kong Yuanzhi

Penyunting: Prof HM Hembing Wijayakusuma

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tebal : xliv + 299 halaman

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat