Internasional
PBB: Junta Myanmar Lakukan Pembunuhan Massal
Menteri pertahanan sejumlah negara serempak mengecam militer Myanmar.
YANGON -- Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Tom Andrews menyebut, junta Myanmar telah melakukan pembunuhan massal. Dia mengatakan, sudah waktunya bagi dunia untuk mengambil tindakan atas peristiwa yang menimbulkan banyak korban jiwa.
"Kata-kata kecaman atau keprihatinan terus terdengar hampa bagi rakyat Myanmar. Sementara junta militer melakukan pembunuhan massal terhadap mereka," kata Andrews dalam sebuah pernyataan.
Andrews menyatakan, Dewan Keamanan PBB pun perlu ikut turun tangan dan melakukan pertemuan puncak darurat internasional. Dia mengatakan, junta harus dipotong dari pendanaan, seperti pendapatan minyak dan gas, hingga akses ke senjata.
"Orang Myanmar membutuhkan dukungan dunia. Kata-kata saja tidak cukup. Sudah lewat waktu untuk tindakan yang kuat dan terkoordinasi," kata Andrews.
Portal berita Myanmar Now melaporkan, sebanyak 114 orang tewas di seluruh negeri dalam tindakan keras terhadap protes tersebut. Mereka termasuk 40 orang, salah satunya seorang gadis berusia 13 tahun, di kota kedua di Myanmar, Mandalay.
At least 114 people were killed in brutal attacks by the junta's armed forces in more than 40 cities across Myanmar on Saturday. Our reporting has been updated to reflect these figures. https://t.co/tcjRxkWICm pic.twitter.com/kkUtLCNP4L — Myanmar Now (@Myanmar_Now_Eng) March 27, 2021
Sedikitnya 27 orang tewas di pusat komersial Yangon. Seorang anak berusia 13 tahun lainnya, juga termasuk di antara yang tewas di wilayah Sagaing tengah.
Kematian bahkan tercatat dari wilayah Kachin di pegunungan utara hingga Taninthartharyi di ujung selatan Laut Andaman. Laporan tersebut menjadikan jumlah keseluruhan warga sipil yang dilaporkan tewas sejak kudeta, menjadi lebih dari 440.
Para pengunjuk rasa penentang kudeta militer di seluruh Myanmar pada Ahad (28/3) melakukan aksi berduka atas gugurnya 114 orang dalam hari paling berdarah tindakan keras aparat keamanan Sabtu (27/3) itu. Mereka berjanji untuk terus melakukan aksi protes menuntut pengakhiran pemerintahan militer di negara tersebut.
"Kami memberi hormat kepada pahlawan kami yang mengorbankan nyawa revolusi ini dan kami harus memenangkan REVOLUSI ini," seru salah satu kelompok protes utama General Strike Committee of Nationalities (GSCN) melalui unggahan di Facebook, Ahad.
The junta’s armed forces stormed anti-coup protest today in Kyauk Myaung, Yangon, this afternoon around 2:30 pm (Mar 28).
At least nine civilians were arrested, according to a resident in the area. #WhatsHappeningInMyanmar pic.twitter.com/fI1Eu49fjv — Myanmar Now (@Myanmar_Now_Eng) March 28, 2021
Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin junta, mengatakan selama parade untuk memperingati Hari Angkatan Bersenjata bahwa militer akan melindungi rakyat dan memperjuangkan demokrasi.
Militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari dengan alasan telah terjadi kecurangan dalam pemilihan umum (pemilu) pada 8 November lalu. Militer menahan pemimpin sipil Myanmar sekaligus pemimpin partai pemenang pemilu, National League for Democracy (NLD) Aung San Suu Kyi. Militer juga menahan Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah petinggi lain.
"Pertumpahan darah ini mengerikan. Rakyat Myanmar telah berbicara dengan jelas: mereka tidak ingin hidup di bawah kekuasaan militer," ujar Duta Besar Amerika Serikat (AS), Thomas Vajda.
Perwira tinggi militer dari AS dan hampir selusin rekannya bergabung untuk mengutuk pembunuhan oleh tentara Myanmar. Pernyataan mereka mengatakan, militer profesional harus mengikuti standar internasional untuk berperilaku dan bertanggung jawab untuk melindungi, bukan merugikan orang-orang yang dilayaninya.
Tapi, beberapa negara tetap mendukung militer Myanmar yang merebut kekuasan pemerintahan sipil pada 1 Februari. Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Alexander Fomin, menghadiri parade militer di Naypyitaw pada Sabtu (27/3), setelah bertemu dengan para pemimpin senior junta sehari sebelumnya.
Para diplomat mengatakan, delapan negara yaitu, Rusia, Cina, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Laos dan Thailand telah ikut mengirim perwakilan. Namun, Rusia adalah satu-satunya yang mengirim menteri ke parade pada Hari Angkatan Bersenjata, yang memperingati dimulainya perlawanan terhadap Pendudukan Jepang pada 1945.
Dukungan dari Rusia dan Cina menjadi penting bagi junta karena kedua negara tersebut adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Mereka dapat memblokir potensi tindakan yang diberikan oleh PBB.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.