Perencanaan
Hidupkan Konsep Back to Basic Kala Pandemi
Konsep hidup back to basic pada praktiknya bergantung pada kesadaran masyarakat dan kebijakan pemerintah.
OLEH GUMANTI AWALIYAH
Dalam melakukan sesuatu atau menawarkan sesuatu, orang akan berpatokan pada prinsip atau konsep. Perpaduan konsep juga sering diterapkan agar dapat menarik perhatian publik pada sesuatu yang dihasilkan.
Namun, dengan adanya pandemi, berbagai konsep pun mengikuti proses adaptasi agar dapat memutus mata rantai penularan Covid-19. Menjaga imunitas, kesehatan, dan menerapkan protokol kesehatan jadi konsep yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, ada sebagian yang menerapkan konsep “back to basic” karena dinilai lebih sehat dan ramah lingkungan. Meski memang, masih menjadi pertanyaan apakah konsep itu akan konsisten diterapkan pascapandemi atau perlahan ditinggalkan.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida melihat gerakan “back to basic” sebenarnya sudah muncul sebelum pandemi. Kesadaran masyarakat pada pola hidup seimbang dan berkelanjutan sudah dijalankan, termasuk dalam konteks non-medikalisasi. Artinya, sebagian masyarakat kembali melirik ramuan tradisional, herbal, dan pola makan yang menjaga ekosistem.
“Gerakan back to basic semakin populer setelah pandemi. Kita menjadi kembali mengonsumsi apa yang kita sebut sebagai empon-empon, sayur-sayuran juga buah, yang selama ini dianggap mewah dan tidak dibiasakan pada sekelompok masyarakat,” kata Ida ketika dihubungi, Sabtu (19/3).
Namun, Ida pesimistis, pandemi akan benar-benar mendorong masyarakat luas untuk konsisten menerapkan pola hidup sehat dan berkelanjutan. Soalnya, penelitian dia di beberapa wilayah Indonesia mendapati fakta sebaliknya, yaitu pola hidup masyarakat masih cenderung tidak sehat, terutama pola makan. Karena itu, dia berharap, pandemi bisa menjadi semacam “cambuk” untuk mengingatkan masyarakat bahwa makanan dan gaya hidup basic bersifat urgent.
Konsep hidup “back to basic” pun, kata dia, pada praktiknya akan berbeda-beda, bergantung pada banyak faktor, seperti domisili. Di kalangan masyarakat perkotaan, mereka terbiasa hidup di lingkungan padat dan polusi. Mereka terbiasa dengan paparan penyejuk udara (AC) dan sebagainya yang berdampak buruk bagi tubuh dan lingkungan.
“Ini menjadi tantangan bagi kita. Karena itulah, kita didorong untuk lebih banyak melakukan aktivitas fisik di luar rumah, lebih dekat dengan alam,” jelas Ida.
Namun, hal ini tentu bergantung pada kebijakan pemerintah. Soalnya, tambah dia, kesadaran masyarakat akan percuma jika tidak ikut didukung oleh kebijakan pemerintah.
Intinya dalam hal ini, usaha untuk menurunkan polusi udara itu hanya bisa diintervensi oleh pemerintah
“Mungkin seperti car free day di hari Ahad, maka dibuat kebijakan agar diperbanyak hari bebas kendaraannya. Intinya dalam hal ini, usaha untuk menurunkan polusi udara itu hanya bisa diintervensi oleh pemerintah,” kata Ida.
Untuk pola makan “back to basic” sebenarnya tidak sulit diterapkan, apalagi Indonesia kaya akan sumber pangan dan rempah. Sekretaris Omar Niode Foundation Terzian Ayuba Niode melihat, pandemi Covid-19 membuktikan ada kebutuhan mendesak bagi masyarakat untuk beralih pada pola makan yang berkelanjutan.
Idealnya dengan mengurangi konsumsi daging serta makanan yang diproses, untuk kemudian mengarah ke makanan yang lebih berbasis nabati.
“Makanan perlu diubah guna masa depan yang sehat bagi manusia maupun planet Bumi. Idealnya dengan mengurangi konsumsi daging serta makanan yang diproses, untuk kemudian mengarah ke makanan yang lebih berbasis nabati,” kata Terzian. Makanan-makanan seperti itu diproses alami tanpa merusak iklim.
“Sistem pangan yang saat ini berlangsung itu berkontribusi besar terhadap krisis iklim. Jadi, tidak ada salahnya untuk beralih mengonsumsi pangan lokal, cara buat, dan bahan-bahannya juga sangat mudah didapat. Tinggal ada kemauan,” kata dia.
Pandemi Covid-19 juga mengubah tren pakaian yang cenderung memilih pakaian santai yang nyaman di rumah. Ina mengatakan, pakaian basic atau ready to wear banyak dipilih selama pandemi.
Dia memprediksi, setelah pandemi, daya beli masyarakat pada fashion kembali melonjak. Artinya, pandemi tidak kemudian meruntuhkan budaya konsumerisme di masyarakat.
“Sekarang saja sebenarnya sudah cukup kelihatan peningkatannya, meskipun pelan-pelan. Apalagi, setelah pandemi ini berakhir dan situasi lebih kondusif, dunia fashion akan kembali bergairah,” kata Ina.
Namun, fast fashion dapat mengakibatkan limbah yang melimpah, demikian juga dengan makanan yang menjadi penyumbang terbesar pemanasan global dan kerusakan lingkungan. Pandemi, meski telah memukul industri fashion, pada kenyataannya memberikan dampak positif terhadap alam dan lingkungan karena produksi dan limbah pakaian berkurang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.