Opini
Vaksin dan Teologi Pembebasan
Sebagai jalan pembebasan, vaksin menjadi titik temu berbagai kalangan menyikapi virus Covid-19.
FATHORRAHMAN GHUFRON, Wakil Katib PWNU Yogyakarta dan Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga
Memasuki 2021, sebaran Covid-19 semakin tak terkendali. Setiap harinya, ada penambahan kasus dalam jumlah ribuan orang yang terpapar. Ada berbagai langkah antisipatif dan kuratif yang dilakukan masing-masing negara.
Pola lockdown secara total, pembatasan sosial berskala besar, jaga jarak, dan lainnya menjadi sistem pencegahan sejak dini untuk memutus mata rantai sebaran korona. Demikian pula berbagai alat deteksi, seperti PCR, swab, antigen, dan semacamnya digunakan.
Namun, berbagai cara itu tampaknya tak mampu menghambat sebaran Covid-19. Bahkan, di berbagai negara terjadi mutasi virus Covid-19. Tak sedikit masyarakat frustrasi pada cara konvensional yang sudah ditempuh maksimal, tetapi bisa ditembus Covid-19.
Di tengah titik nadir upaya pencegahan yang sudah dilakukan, baik secara sistemis maupun sporadis, kini mulai ada titik terang.
Jalan pembebasan
Di tengah titik nadir upaya pencegahan yang sudah dilakukan, baik secara sistemis maupun sporadis, kini mulai ada titik terang. Berbagai pihak berjibaku menciptakan obat penawar untuk melunakkan Covid-19.
Di antara temuan terkini yang dianggap mujarab adalah vaksin. Meski hingga kini, keberadaan vaksin diperdebatkan dan disangsikan berbagai kalangan, tetapi sebagai sarana penyembuhan, vaksin tetap dibutuhkan untuk membuat sistem imun tubuh lebih kuat.
Karena itu, untuk membebaskan kekhawatiran dan kecemasan masyarakat terhadap sebaran Covid-19, vaksin bisa menjadi salah satu pilihan terbaik untuk mengatasi dan menekan laju paparan Covid-19.
Di samping itu, sebagai sebuah jalan pembebasan, vaksin menjadi titik temu berbagai kalangan dalam menyikapi virus korona.
Berbagai uji coba oleh para ilmuwan untuk menciptakan vaksin dan keterlibatan agamawan untuk menguji kehalalan dan kesucian vaksin, membentangkan sebuah transendensi kedirian dalam mengatasi Covid-19, dengan model kerja sama (ta’awun). Kerja sama ini pada gilirannya, menjadi modal sosial membangkitkan kesadaran partisipatoris untuk mencegah dan mengatasi Covid-19 secara komprehensif.
Di samping itu, sebagai sebuah jalan pembebasan, vaksin menjadi titik temu berbagai kalangan dalam menyikapi virus korona.
Spirit berteologi
Dalam konteks ini, besarnya kontribusi vaksin yang sejak dahulu diyakini sebagai pengendali sebaran virus, tidak berlebihan bila banyak pihak di Indonesia, terutama pemerintah mengafirmasi vaksin sebagai solusi utama mengatasi Covid-19.
Termasuk kaum agamawan di berbagai komunitas agama memberikan dukungan agar vaksinasi segera dilakukan. Salah satunya dengan menerbitkan berbagai fatwa dan maklumat ajakan.
Pada 11 Januari 2020, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kehalalan vaksin yang diproduksi Sinovac dan fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2021 tentang kebolehan vaksin Astrazeneca. Ini menjadi legitimasi hukum bagi pemerintah melanjutkan vaksinasi.
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) juga menyerukan kepada semua umat Kristiani mematuhi proses vaksinasi. Bahkan, seruan pentingnya menyukseskan vaksinasi di tingkat global disampaikan Paus Fransiskus dalam pesan Natal 2020 di kompleks Vatikan.
Demikian pula, Parisada Hindu Dharna Indonesia (PHDI), menyambut baik vaksinasi yang diinisiasi pemerintah. Tak terkecuali kaum agamawan lainnya. Mereka turut menyampaikan pandangan keagamaannya tentang pentingnya vaksin.
Secara sosiologis, fatwa MUI, ajakan moral PGI, PHDI, dan pandangan agama lainnya mengekspresikan spirit berteologi yang kontekstual dan humanis.
Secara sosiologis, fatwa MUI, ajakan moral PGI, PHDI, dan pandangan agama lainnya mengekspresikan spirit berteologi yang kontekstual dan humanis.
Di antara spirit yang patut kita renungkan, pertama, pentingnya membangun kepedulian bersama untuk mengatasi pandemi, melalui jalan kedaruratan seperti vaksinasi.
Kedua, menciptakan iklim kemaslahatan bersama dengan cara mendukung setiap ikhtiar vaksinasi untuk mengendalikan laju sebaran virus. Ketiga, hadirnya keterlibatan setiap orang atau kelompok dengan cara saling meyakinkan antarsesama tentang sisi positif vaksin, sebagai metode medis mencegah paparan Covid-19.
Dalam kaitan ini, terhubungnya berbagai simpul kelompok sosial, baik di lingkup pemerintah, agamawan, maupun posisi sosial lainnya menunjukkan simbiosis-mutualisme yang positif-konstruktif dalam mengatasi pandemi di Indonesia dan belahan dunia lainnya.
Meskipun di sisi lain ada riak-riak penolakan yang dilakukan sekelompok orang terhadap program vaksinasi, ini tidak akan memalingkan kehendak sebagian besar masyarakat, yang tetap meyakini vaksin sebagai langkah medis efektif mengatasi Covid-19. Selain itu, riak-riak penolakan tersebut bisa jadi mengalami antiklimaks, seiring menguatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya vaksinasi pada masa pandemi.
Akhirnya, semoga gerakan vaksinasi yang saat ini kian menuai dukungan berbagai lapisan masyarakat, menjadi ikhtiar kolektif membebaskan masyarakat Indonesia serta dunia dari jebakan dan jeratan Covid-19, yang diridhai Tuhan yang Mahakuasa.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.