Nasional
Ahli Pidana: Perkara HRS tak Bisa Diproses
Dalam eksepsi itu, kuasa hukum HRS menilai, dakwaan terhadap HRS tidak sinkron.
JAKARTA — Guru besar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir, mengatakan, dakwaan atas pelanggaran kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan dan Megamendung tidak bisa diproses. Sebab, kata dia, hal itu melanggar ketentuan dari Pasal 76 KUHP soal ne bis in idem atau pembelaan hukum yang melarang seseorang diadili dua kali.
"Itu namanya ne bis in idem. HRS tidak bisa diproses dua kali," ujar dia kepada Republika, Rabu (24/3).
Mudzakir melanjutkan, karena tidak bisa diproses dua kali, pengadilan kemudian menggunakan Pasal 160 KUHP. Padahal, dia menilai, langkah tersebut juga tidak bisa dilakukan. "Karena, perbuatan pokok itu sudah diselesaikan dengan peradilan denda," kata dia. Seperti diketahui, HRS telah membayar denda Rp 50 juta terkait kerumunan dalam pesta pernikahan anaknya.
Serupa dengan pelanggaran itu, kata dia, Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) seharusnya juga tidak bisa melakukan sidang terhadap HRS. Menurut dia, hal itu melanggar kompetensi relatif pengadilan yang hanya memiliki wewenang mengadili suatu perkara sesuai wilayah hukumnya. "Iya nggak bisa, itu locus delicti. Kalau perkara yang di Petamburan seharusnya sidang di PN Jakpus, kalau yang di Megamendung harusnya PN Bogor," ujar dia.
"Dari dua hal itu (pasal dan locus delicti) sudah tidak bisa. Jadi, kalau sudah diselesaikan (denda), tidak boleh diadili untuk kedua kalinya," ujar dia.
Penilaian Mudzakir sesuai dengan isi eksepsi yang sedianya disampaikan HRS di muka persidangan pada Jumat ini. Eksepsi itu sudah tersebar duluan setelah tidak jadi dibacakan dalam sidang pada Selasa (23/3).
Dalam eksepsi itu, kuasa hukum HRS menilai, dakwaan terhadap HRS tidak sinkron. Ada tiga hal mendasar, yaitu pelanggaran Pasal 76 KUHP, pemakaian surat keputusan bersama (SKB) enam menteri soal larangan terhadap FPI, Pasal 160 KUHP, dan locus delicti kasus. Anggota tim kuasa hukum HRS, Alamsyah Hanafiah, mengatakan, SKB enam menteri dan Pasal 160 KUHP soal penghasutan tidak berhubungan dengan kasus HRS, sehingga harus dibatalkan.
HRS didakwa dalam tiga kasus sekaligus, yaitu kasus kerumunan massa dalam pesta pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat; kerumunan massa Maulid Nabi di Megamendung, Bogor; dan kasus tes usap Covid di RS Ummi Bogor. Pada Selasa, Majelis Hakim PN Jaktim mengabulkan permohonan tim kuasa hukum HRS yang meminta agar persidangan dihadiri langsung oleh tersakwa.
Ketua majelis hakim, Suparman Nyompa, dalam putusannya menimbang bahwa persidangan daring menuai berbagai hambatan, seperti gangguan sinyal internet dan terdakwa merasa tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Sidang pun dijadwalkan kembali pada Jumat (26/3) dengan agenda penyampaian keberatan atau eksepsi. Alamsyah Hanafiah pun menjamin HRS akan menjalankan protokol kesehatan dalam persidangan itu.
Humas PN Jaktim, Alex Adam Faisal, mengaku berkoordinasi dengan kepolisian soal pengamanan sidang pada Jumat besok. Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan, tidak akan ada skenario dan pengamanan khusus di sidang luring HRS pada Jumat.
Pengamanan masih tetap sama dalam membantu PN Jaktim. Pada sidang sebelumnya, jajaran Polda Metro mengerahkan hingga 1.400 personel. "Skenario baru tidak akan ada, sama saja seperti kemarin ya," ujar dia, kemarin.
Berbeda dengan polda, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono mengaku Polri menyusun rencana pengamanan untuk mengantisipasi membeludaknya simpatisan HRS.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.