Nasional
Stafsus Edhy Minta Fee Rp 5 Miliar
Edhy Prabowo dan anak buahnya segera menjalani persidangan.
JAKARTA -- Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito mengakui dimintai uang komitmen senilai Rp 5 miliar oleh staf khusus (stafsus) mantan menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Hal itu diungkap Suharjito dalam sidang dakwanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (24/3).
"Saudara Agus bertanya ke anak buah Dirjen Budi Daya, lalu Agus diminta bertanya ke stafsus dan di situ letak komitmen yang diminta, kemudian disampaikan ke saya, 'Tolong sampaikan ke Harto ini ada komitmen yang lainnya juga begitu, nilainya Rp 5 miliar dan bisa dicicil'," kata Suharjito.
Suharjito mengikuti persidangan melalui sambungan video conference dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia didakwa memberikan suap Rp 2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS dan Rp 706.055.440 kepada Edhy Prabowo.
Dalam surat dakwaan disebutkan, pada Juni 2020, Manager Operasional Kapal PT DPPP Agus Kurniyawanto menemui dua orang staf khusus Menteri KKP, Andreau Misanta Pribadi dan Safri.
Keduanya sekaligus merangkap sebagai ketua dan wakil ketua tim uji tuntas ekspor dan budi daya benih lobster.
Dalam pertemuan itu, Andreau dan Safri mengatakan, untuk mendapatkan izin yang dimaksud, PT DPPP harus memberikan uang komitmen kepada Edhy melalui Safri sebesar Rp 5 miliar. Uang dapat diberikan secara bertahap sesuai kemampuan perusahaan.
"Habis itu Agus lapor ke saya, katanya 'Pak sudah ketemu benang merahnya', kata saya 'Apa, benang merah apa Gus?' kemudian dijawab 'Komitmen Pak', saya tanya 'Loh kok komitmen?' tapi dijawab lagi 'Yang lainnya juga begitu', ya sudah," ujar Suharjito.
Suharjito akhirnya mencicil permintaan fee tersebut. Menurut dia, untuk tahap awal, dia membayar 77 ribu dolar AS yang disampaikan kepada Agus.
Suharjito juga mengaku perusahaan miliknya sudah 5 tahun memiliki usaha budi daya udang. Ia pun menyambut gembira peraturan yang diterbitkan Edhy Prabowo pada 4 Mei 2020, yaitu Peraturan Menteri KKP No: 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di wilayah NKRI. Peraturan itu berisi mengizinkan budi daya dan ekspor Benih Bening Lobster (BBL).
"Pada Mei 2020 aturan itu disampaikan untuk izin ekspor dan izin budi daya BBL. Harapan saya ketika mengajukan usaha ini bisa berkembang, maka dari itu saya ajukan izin ke Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai 4 Mei sampai 18 Juni 2020," kata Suharjito.
Tapi dalam perjalanannya, proses perizinan itu mengalami hambatan dan berjalan lambat. Dia kemudian meminta anak buahnya Agus Kurniyawanto menanyakan progers izin tersebut ke staf Dirjen Budi Daya. "(tanya) Apa masalahnya? Kalau untuk mendapat izin perusahaan sudah berlomba-lomba dan KKP juga paling paham tentang budi daya, tapi malah lama," ujar Suharjito.
Dalam sidang itu, hadir ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir. Ia bertindak sebagai ahli yang akan memberikan keterangan meringankan terkait kasus tersebut. Suharjito kemudian bertanya kepada ahli terkait statusnya, apakah sebagai penyuap aktif atau pasif.
"Apakah saya dianggap pemberi aktif atau pasif. Karena saya pada dasarnya pengusaha maunya gratis dan cepat untuk melakukan budi daya," tanya Suharjito.
Ia juga mengaku sedih ketika dibilang sebagai penyuap. Menurut dia, dirinya memiliki tanggungan 1.000 karyawan yang saat ini ikut terdampak pandemi Covid-19. "Saya harus bayar pajak, bayar karyawan dengan kondisi Covid-19 seperti ini. Sedih saya. Bukan apa-apa, kalau aku enggak diminta komitmen fee enggak mungkin aku begini, " kata dia.
Muzakir menjelaskan, perusahaan Suharjito sebenarnya sudah mengurus proses izin yang harus dilakukan. Namun, karena izin tidak terbit-terbit, mereka bersedia memberikan komitmen fee tersebut. "Begitu staf tanya ternyata harus ada komitmen suap, jadi suap itu bersumber dari stafsus. Kesimpulannya bahwa yang bertanggung jawab atas pemberian adalah stafsus, bukan pengusaha yang mengurus izin," jawab Mudzakir.
Mudzakir menilai Suharjito menjadi korban dari staf khususnya Edhy Prabowo. Dalam hukum pidana, kata dia, diwajibkan untuk memberikan perlindungan terhadap korban. "Menurut ahli, pemberian sesuatu itu bersifat pasif dan yang bertanggung jawab yaitu stafsus. Sehingga pengusaha yang ditagih komitmen Rp 5 miliar agar terbit izin adalah korban penyalahgunaan stafsus," kata dia.
Pada Rabu, KPK juga melimpahkan barang bukti dan enam tersangka lain dalam kasus tersebut. Mereka adalah Edhy Prabowo, Safri, Andreau Misanta Pribadi, Pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, Ainul Faqih selaku staf istri Edhy, dan Amiril Mukminin. Enam orang tersebut merupakan penerima suap dalam kasus tersebut. "Persidangan diagendakan di PN Tipikor Jakarta Pusat," kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri, kemarin.
Kenapa Hanya Suharjito yang Diseret?
Ketua Majelis Hakim kasus suap ekspor behih lobster, Albertus Usada mengaku heran lantaran hanya Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito yang diseret ke pengadilan. Sebab, fakta persidangan menyebutkan ada 65 perusahaan lainnya yang memproses izin eskpor bersama perusahaan Suharjito.
"Kalau memang banyak, 65 perusahaan bisa saja punya potensi seperti Pak Suharjito. Persoalannya kenapa satu? Tapi majelis bukan kewenangan menjawab, tapi ada pada penyidik. Nah persoalannya, ini dari sekian yang diberi izin ekspor BBL maupun izin budidaya ada sekian perseroan atau perusahaan, tetapi yang dihadirkan dipersidangan hanya satu," kata Hakim Albertus dalam sidang Suharjito di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (24/3).
Albertus menyebutkan, pada persidangan sebelumnya, Suharjito telah mengajukan surat tertulis permohonan menjadi JC. Ia mengaku pihaknya masih mencermati surat tertulis tersebut terkait urgensi atau relevansinya. "Dan nanti sebelum penyusunan surat tuntutan, kami akan menyatakan sikap atas permohonan saudara. Jadi masih ada waktu, " tambah Hakim.
Kuasa Hukum Suharjito, Adwin Rahardian mengatakan, sejak awal proses penyidikan pihaknya sudah menyampaikan permohonan JC ke penyidik. \"Bukan apa-apa, itu karena itikad baik dan kooperatif saja apapun akan siap menjawab dengan sejujur-jujurnya, termasuk di BAP (berita acara pemeriksaan) terdakwa bisa dieksplor dari hal-hal saudara terdakwa ketahui itu juga, " kata dia.
Sebelum bersidang, Suharjito juga menyampaikan kecurigaannya ihwal adanya pihak lain yang juga membuat komitmen yang sama pada Edhy Prabowo. Ia meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menindak pelaku lain dalam perkara ini. "Kalau aku gelombang 4 nomor urut 35 (pengurusan izin). Kan masih ada sampai 65 kan nomor urutnya," kata Suharjito.
Suharjito mengaku hanya meminta izin ekspor benih lobster ke KKP. Dia tidak tahu jika uang komitmen fee yang diminta Edhy Prabowo merupakan tindak korupsi. Atas dasar itu, Suharjito meminta KPK menindak para eksportir lainnya yang mendapat izin ekspor agar diproses hukum.
"Bukan apa-apa, kalau aku enggak diminta komitmen fee, enggak mungkin aku begini. Ya kira-kira masa aku yang salah sendiri? Gitu saja logikanya kan," kata Suharjito.
Dikonfirmasi terpisah, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri memastikan tidak akan tebang pilih dalam mengusut perkara tersebut. "KPK tidak tebang pilih. Kami patuh pada aturan hukum yang berlaku. Sebagai penegak hukum, KPK harus bekerja atas dasar hukum yang berlaku," kata Ali Fikri.
Ali mempersilakan Suharjito menyampaikan hal-hal yang diketahuinya terkait perkara tersebut saat menjadi terdakwa ataupun ketika bersaksi di persidangan Edhy Prabowo. Ia pun memastikan keterangan Suharjito itu nantinya bakal dianalisis serta dikonfirmasi pada saksi maupun alat bukti lainnya. "Kami analisis lebih lanjut keterangannya tersebut dengan mengkonfirmasi pada saksi-saksi dan alat bukti lainnya," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.