Mujadid
KH Ahmad Fauzan, Ulama-Pejuang dari Jepara
Ulama yang lahir pada 1905 ini turut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan negeri.
OLEH MUHYIDDIN
Dalam sejarah Indonesia, peran alim ulama begitu besar. Mereka turut berjuang membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan. Kontribusinya tidak bisa dipandang sebelah mata. Kepada para murid, santri, dan pengikutnya, mereka mengobarkan semangat membela agama sekaligus cinta Tanah Air.
Salah seorang ulama-pejuang yang turut memberikan sumbangsihnya demi kemerdekaan Indonesia ialah KH Ahmad Fauzan. Mubaligh yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah, itu tidak hanya berkiprah melalui bidang pemikiran dan pendidikan, tetapi juga turut terjun ke medan jihad fii sabilillah. Bagi masyarakat setempat, reputasinya begitu besar. Namanya telah diabadikan sebagai salah satu nama jalan raya di kabupaten tersebut.
Kiai Ahmad Fauzan lahir di Dukuh Penggung, Gemiring Lor, Kecamatan Nalumsari, Jepara, pada 1905. Ia adalah putra keempat dari lima orang bersaudara. Ayahnya adalah Haji Abdurrasul. Adapun ibunya bernama Nyai Thohiroh—salah satu cucu Syekh Muhammad Arif Sendangsari, seorang ulama terkemuka yang hidup sezaman dengan Pangeran Diponegoro.
Secara nasab, dia masih keturunan elite Kasunanan Surakarta. Kakeknya, Haji Ahmad Sanwasi, pernah mengabdi pada istana sebelum akhirnya ikut dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Haji Ahmad pun bersahabat erat dengan Kiai Umar al-Samarani, yang tidak lain adalah ayahanda ulama besar Semarang, KH Sholeh Darat.
Guru pertama Ahmad Fauzan ialah ayahnya sendiri. Namun, Haji Abdurrasul berpulang ke rahmatullah tatkala sedang melaksanakan ibadah di Baitullah, Makkah al-Mukarramah. Sepeninggalan bapaknya, lelaki ini menjalani rutinitas sebagai santri yang penuh disiplin. Didorong oleh semangat menuntut ilmu-ilmu agama, dirinya pun belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Salah satu lembaga tempatnya menimba ilmu ialah Pondok Pesantren Balekambang, Kecamatan Nalumsari, Jepara. Di sana, ia berguru kepada alim ulama setempat selama tiga tahun. Selanjutnya, Pondok Pesantren Kasingan di Rembang dan Pesantren Gemiring menjadi persinggahannya untuk menuntaskan dahaga ilmu. Di setiap pesantren, dirinya selalu menunjukkan kemampuan di atas rata-rata santri pada umumnya.
Pada 1924, Ahmad Fauzan pergi naik haji ke Tanah Suci. Kesempatan itu juga dimanfaatkannya untuk meneruskan rihlah keilmuan. Di Makkah dan Madinah, dirinya menghabiskan waktu sekitar dua tahun untuk berguru kepada banyak alim ulama besar. Beragam majelis ilmu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan rutin dihadirinya. Setelah itu, pria berusia 21 tahun tersebut kembali ke Tanah Air. Ia langsung nyantri di sebuah pondok pesantren yang diasuh KH Sholeh Amin Tayu Pati empat tahun lamanya, 1928-1932 M.
Setelah belajar agama di berbagai pesantren, KH Ahmad Fauzan pun semakin aktif menyebarkan ilmunya. Di Jepara, dirinya berhasil mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam. Madrasah tersebut didirikan di daerah Bangsri pada awal 1930-an.
Saat ini, institusi tersebut sudah menjadi MTS/ MA Hasyim Asy'ari. Melalui madrasah itulah, sang kiai terus memperkuat peran dan kiprahnya sebagai seorang ulama.
Bentuk madrasah dipilihnya. Sebab, Kiai Fauzan tidak mau mendirikan sebuah pondok pesantren. Itu tidak berarti dirinya tidak mampu mengajarkan kitab-kitab klasik keagamaan. Justru, dirinya menguasai banyak kitab dan ilmu-ilmu keislaman. Bagaimanapun, sang alim tetap ikut sebagai pengasuh atau pengajar di berbagai pondok pesantren yang ada di sekitar wilayah Jepara umumnya.
Setelah mendirikan madrasah, Kiai Fauzan terus mengembangkan langkah dakwahnya di daerah tersebut. Dalam periode selanjutnya, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berbagai kegiatan menyebarkan ilmu-ilmu agama, dari satu desa ke desa yang lain.
Metode dakwah dengan cara berkelana tersebut menjadikannya lebih dikenal oleh masyarakat luas. Di samping itu, ia pun gemar menggubah syair-syair untuk menyampaikan petuah-petuah keagamaan kepada masyarakat.
Melawan penjajah
Nama KH Ahmad Fauzan semakin banyak diperbincangkan ketika balatentara Jepang tiba di Jepara pada 1942. Sebagai ulama, ia pun mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah pendudukan Dai Nippon. Bahkan, sang kiai sempat ditangkap oleh polisi militer Jepang (Kenpeitai) dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebab, dirinya dituduh sebagai seorang provokator. Namun, tuduhan tersebut tidak terbukti sehingga Kiai Fauzan dibebaskan.
Kiai Fauzan adalah ulama yang gigih dalam menentang dan mengusir penjajah serta mempertahankan kemerdekaan. Pada tahun 1945, suatu peristiwa yang menggemparkan kemudian terjadi di wilayah Pati. Para kiai pun berkumpul dan bermusyawarah agar tentara Jepang segera menyerah. Ya, kala itu kabar tentang kekalahan pasukan Nippon di kancah Perang Pasifik telah beredar luas.
Di dalam musyawarah tersebut, secara aklamasi para ulama menyepakati Kiai Fauzan untuk memimpin penyerangan melawan tentara Jepang. Masyarakat setempat pun bahu membahu. Begitu pula kaum alim yang menggerakkan para santri untuk turut berjuang di garda terdepan. Akhirnya, pasukan Jepang yang masih bertahan di Jepara pun menyerah.
Kiai Fauzan juga dikenal sangat aktif bergerilya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Berbagai perlawanan dilakukan untuk mengadang Belanda sampai di Jepara. Saat itu, Negeri Kincir Angin hendak kembali menjajah Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Di Jepara, keturunan bangsawan Surakarta tersebut sudah siap sedia. Ia memberikan doa-doa sembari mengusap sejumlah bambu runcing yang akan digunakan para anggota laskar untuk menghalau Belanda. Dari halaman Masjid Darussalam Saripan Jepara, mereka pun terjun ke medan juang. Para pejuang tak kenal takut dalam melawan musuh.
Ia memberikan doa-doa sembari mengusap sejumlah bambu runcing yang akan digunakan para anggota laskar untuk menghalau Belanda.
Sebagai ulama pejuang, ia pun selalu menjadi incaran tentara Belanda. Bahkan, pihak musuh sampai mengadakan sayembara ke tengah masyarakat untuk berupaya menangkap Kiai Fauzan. NICA akan memberikan hadiah kepada siapa saja yang dapat memberitahukan keberadaannya.
Akhirnya, menjelang kekalahan Belanda, Kiai Fauzan tertangkap di Bangsri. Dirinya sempat ditahan dalam sel Belanda di Jepara. Namun, setelah terjadi penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pada 1949, Kiai Fauzan dibebaskan dari tahanan.
Setelah Indonesia diakui kemerdekaannya, Kiai Fauzan kemudian aktif berjuang melalui gerakan-gerakan sosial-keagamaan, khususnya Nahdlatul Ulama (NU). Selain jam’iyah tersebut, dirinya pernah aktif pula di Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Mulai tahun 1950, ia diberi amanah untuk mengepalai Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Jepara.
Selama menjabat, sang kiai menerapkan pelbagai program kegiatan yang berdampak positif di tengah masyarakat. Misalnya, pengajian rutin bulanan di masjid-masjid tiap kecamatan se-Jepara.
Selain itu, Kiai Fauzan menetapkan bahwa setiap kepala kantor urusan agama (KUA) per kecamatan harus bisa membaca kitab kuning. Menurutnya, seorang kepala KUA semestinya tidak hanya memahami masalah-masalah sosial, tetapi juga landasan atau ilmu-ilmu pokok keagamaan.
Pada era pemerintahan Presiden Sukarno, ia pun terjun ke dunia politik. Kegiatan politik yang dilakukan Kiai Fauzan lebih dimaknai sebagai sebuah sarana untuk berdakwah. Sikapnya yang santun, baik kepada kawan maupun lawan, adalah salah satu faktor yang membuatnya diterima banyak kalangan.
Kegiatan politik yang dilakukan Kiai Fauzan lebih dimaknai sebagai sebuah sarana untuk berdakwah.
Kiai Fauzan juga merupakan salah seorang ulama generasi pertama yang memelopori berdirinya NU di Jepara. Setelah NU menjadi sebuah partai politik pada 1952, ia dipercaya sebagai pimpinan tertinggi (rais suriyah) Partai NU Cabang Jepara.
Dengan jaringan politik yang cukup luas, sekurang-kurangnya dengan massa di perdesaan, pengaruhnya berdampak signifikan kepada partai NU. Perjalanan sebagai seorang kiai keliling dari satu desa ke desa secara konsisten menjadikan banyak murid atau pengikutnya mengikuti pilihan politiknya.
Akhirnya, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, Partai NU pun berhasil menduduki peringkat ketiga dengan jumlah suara 6.955.141 sebesar 18,41 persen dan 45 anggota konstituante. Di Jawa Tengah partai NU juga menduduki posisi ketiga dengan kemenangan di empat kabupaten/kota yaitu menang mutlak di Jepara (110.953 suara), Demak (100.974 suara), Kudus (63.007 suara), dan Magelang (137.037 suara).
Kemenangan mutlak NU di Jepara tersebut tidak terlepas dari peran Kiai Fauzan sebagai pimpinan partai yang berhasil menjalin komunikasi dengan semua pihak, baik kawan maupun lawan. Namun, dalam periode selanjutnya, Kiai Fauzan tidak lagi aktif dalam kegiatan politik praktis. Ia lebih memilih untuk fokus membina umat di Jepara melalui Kemenag Kabupaten Jepara.
Kegiatan berdakwah Fauzan masih terus berlanjut meski ia tidak lagi memiliki jabatan, baik di ranah politik maupun pemerintahan. Metode dakwahnya yang khas, yakni berkelana dan menggunakan syair-syair keagamaan, masih terus dilakukan hingga era 1960-an. Pada 1972, ulama ini meninggal dunia.
Berdakwah dengan Syair
KH Ahmad Fauzan (1905-1972) merupakan seorang ulama yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Masyarakat setempat mengenal reputasinya sebagai alim yang santun, bersahaja, dan berkomitmen kuat dalam mencerdaskan umat. Berbagai pemikirannya, baik di bidang keagamaan maupun kebangsaan, juga tampak dari syair-syair karyanya. Gubahan tersebut selalu mengandung makna edukatif.
Pemikiran Kiai Fauzan yang tergambar dalam syair-syairnya menunjukkan kemahiran dalam berdakwah. Kemampuan menerjemahkan suatu nilai-nilai agama menjadi syair-syair adalah salah satu ciri khas yang dimilikinya. Masyarakat awam dapat belajar agama dengan melantunkan syair-syair yang diciptakan sang kiai.
Selama hidupnya, putra pasangan Haji Abdurrasul dengan Nyai Thohiroh itu setidaknya telah menyusun 11 kitab. Ada beberapa syair karyanya yang terdokumentasikan dengan baik. Misalnya, Syair Asmaul Husna, Syair Isra Mikraj, Syair Pribadi Nabi Muhammad SAW, dan Syair Pitutur. Ada pula Syair Kemanusiaan, Syair Kenabian, dan Syair Akhlak Mulia.
Di antara gubahannya itu, ada yang ditulis dengan bahasa daerah ataupun bahasa Arab, semisal Alfiyah al-Ghazaliyah. Syair tersebut berisi butir-butir nasihat yang disarikan dari karya monumental Imam Ghazali, Ihya Ulum ad-Din. Syair-syairnya memuat pesan tentang akidah, syariat, tasawuf, dan kebangsaan.
Dalam salah satu syairnya yang berbahasa Arab, Kiai Fauzan mengatakan, “Harga diri seseorang itu diukur dengan kadar budi pekertinya atau akhlaknya. Artinya tidak dengan sisi keperkasaan, sisi kepemilikan harta dan sisi keturunan.”
Harga diri seseorang itu diukur dengan kadar budi pekertinya atau akhlaknya. Artinya tidak dengan sisi keperkasaan, sisi kepemilikan harta dan sisi keturunan.
Dalam bait di atas, ia menekankan bahwa tolok ukur kemuliaan seseorang ialah iman dan akhlak, bukan kepemilikan materi. Kiai Fauzan selalu mengajarkan agar menjalankan akhlak yang terpuji dan menjauhi maksiat. Sebagai seorang ulama-sufi, keturunan bangsawan Kasunanan Surakarta itu juga menyebutkan dalam kitabnya yang berjudul Alfiyah al-Ghazaliyah, “Hendaknya engkau memiliki (akhlak) sabar, syukur, memberi salam, ridha, zuhud, taubat, raja’, dan khauf; adil, ikhlas, mahabbah terhadap Tuhan dengan cara sepenuh hati.”
Lewat syair-syair seperti itulah Kiai Fauzan memberikan pencerahan kepada umat. Hingga akhirnya, KH Ahmad Fauzan Wafat pada 6 Rabiul Akhir 1933 Hijriah atau bertepatan dengan 17 Mei 1972 M. Jenazahnya dikebumikan di Kompleks Permakaman Suromoyo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.