Opini
Praktik Wakaf Muslim Nusantara
Menelisik jejak wakaf Muslim nusantara, kita tahu wakaf berperan besar dalam sejarah bangsa Indonesia.
MUHAMMAD RIZKI UTAMA, Mahasiswa Magister Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
Edukasi dan diskusi tentang wakaf setelah diluncurkannya Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) terus menghiasi ruang publik, mulai dari pembahasan fikih, ekonomi, politik, hingga hukum wakaf. Salah satu aspek menarik tentu tentang sejarah praktik wakaf itu sendiri.
Sejarah wakaf secara umum di dunia Islam di luar Indonesia banyak ditulis sejarawan, seperti Dr Raghib As Sirjani dalam kitab Rawa’i Al Awqaf, mengenai praktik wakaf mulai dari era Rasulullah, Khulafaurassyidin, Daulah Umayyah, hingga Turki Utsmani.
Lantas bagaimana dengan praktik wakaf di nusantara? Muslim nusantara sudah berwakaf seiring proses Islamisasi yang mulai masif mulai abad ke-13. Fauzia dan Hermawan (2006:173) mencatat, dokumen terkait wakaf di nusantara sangat terbatas.
Padahal, wakaf sudah dikenal dalam kitab dan naskah pada era kesultanan di Nusantara.
Padahal, wakaf sudah dikenal dalam kitab dan naskah pada era kesultanan di Nusantara. Menurut Amelia (2016:94), ini karena tradisi menulis dan mencatat dokumen di nusantara masih sangat minim bahkan hingga sekarang.
Menurut Djunnaidi dan Al Asyhrar (2008:47), praktik wakaf Muslim nusantara lebih mengandalkan tradisi lisan, ditambah pengaruh dari Mazhab Syafii yang menyebutkan, ikrar wakaf sudah sah dengan adanya ikrar lisan.
Masjid dan pemakaman merupakan bentuk wakaf populer di periode awal kedatangan Islam di nusantara pada abad ke-13 hingga ke-16 (Amelia Fauzia, 2016: 96).
Mengutip penelitian Rachmat Djatnika, Amelia dalam Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia, jumlah wakaf yang tercatat mulai abad ke-16 hingga 19 meningkat pesat dan didominasi wakaf masjid.
Mulai abad ke-18, wakaf madrasah/pesantren di berbagai daerah di Indonesia dan pemondokan wakaf untuk jamaah haji dan pelajar yang belajar di Makkah sangat populer.
Pada abad ke-16, seperti dikisahkan dalam Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten (Djajadiningrat, 1983: 39), Sultan Maulana Muhammad berwakaf buku. Juga ada wakaf kapal dari Sultan Akabar Mughal (1556-1605) untuk kafilah haji asal Banten mulai 1576.
Menurut Amelia Fauzi (2016: 98), wakaf buku dan kelak wakaf pemondokan di Makkah oleh Sultan Banten diduga kuat karena ada hubungan Kesultanan Banten pada abad ke-16 dan 17 dengan Kesultanan Mughal dan Turki Utsmani, yang sudah maju soal wakaf.
Mulai abad ke-18, wakaf madrasah/pesantren di berbagai daerah di Indonesia dan pemondokan wakaf untuk jamaah haji dan pelajar yang belajar di Makkah sangat populer, seperti dicatat Azra (2006) Henri Chambert Loir (2013) dalam Naik Haji di Masa Silam.
Tercatat misalnya, Sultan Banjar Tahlil Allat (1700-1745) mewakafkan rumah di Makkah, yang digunakan ulama besar nusantara, Syekh Arsyad Al Banjari pada 1740-1760, bahkan tetap digunakan oleh orang Kalimantan hingga zaman modern.
Bahkan, praktik orang-orang nusantara tinggal di pemondokan wakaf selama musim haji terjadi hingga zaman sekarang.
Selain itu, Sri Sultan Hamengkubuwono I (1790) memperbaiki rumah wakaf untuk asrama jamaah haji. Hingga satu abad kemudian, Sultan Hamengkubowono VII (1879) mewakafkan rumah untuk jamaah haji dari Kesultanan Yogyakarta.
Bahkan, praktik orang-orang nusantara tinggal di pemondokan wakaf selama musim haji terjadi hingga zaman sekarang, seperti dicatat Henri (2013) pada jamaah asal Aceh, yang menikmati wakaf dan hasil wakaf warga Kesultanan Aceh pada abad ke-19.
Wakaf (harus) produktif
Jika menilik sahabat Umar Ibn Khattab dan Abu Thalhah yang mewakafkan kebunnya, hasil panennya digunakan untuk mauquf alaih (penerima manfaat), mengindikasikan wakaf sejatinya bersifat produktif.
Naziroeddin Rachmat (1964) mencatat, misalnya, pada era Kesultanan Mamluk (740 H/1339) terdapat 130 ribu hektare kebun yang hasilnya digunakan untuk membiayai masjid dan mahasiswa Muslim belajar, salah satunya untuk Universitas Al Azhar di Kairo.
Di nusantara, Uka Tjandrasasmita dalam Kota-kota Muslim di Indonesia mengatakan, di Banten ada sawah wakaf produktif di sekitar Tassikardi dengan wakif keluarga Sultan (2000: 111).
Di Semarang, Fathudin Yusuf (2000: 14) mengatakan, terdapat 120 hektare tanah yang menurut beberapa riwayat, merupakan wakaf keluarga Sultan Demak dan dalam riwayat lain wakaf dari Pangeran Pandanaran Semarang, yang diangkat jadi bupati Mataram (1575 M).
Hasil garapan tanah weukeuh digunakan untuk membiayai acara kenduri tahunan hingga pembangunan masjid dan meunasah.
Amelia Fauzia dan Ary Hermawan (2006) mencatat praktik wakaf pada Kesultanan Aceh, yaitu sultan membeli tanah dan diwakafkan (tanah wekeuh), yang digunakan sebagai lahan pertanian (umong sara) dan perkebunan.
Hasil garapan tanah weukeuh digunakan untuk membiayai acara kenduri tahunan hingga pembangunan masjid dan meunasah.
Salah satu praktik wakaf produktif yang menarik ialah ketika berdirinya Yayasan Wakaf Republik (Strichting Wakaf Republik) yang didukung Mohammad Hatta, Tan Malaka, hingga Mohammad Yamin pada 17 Agustus 1948.
Yayasan ini menerbitkan buku para tokoh bangsa, yang keuntungan dari penjualan buku yang diterbitkan yayasan wakaf ini, digunakan untuk membiayai perpustakaan dan beasiswa bagi semua kalangan (Fauzia, 2016: 188).
Menelisik jejak wakaf Muslim nusantara, kita tahu wakaf memiliki peran besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Lahirnya UU Wakaf No 41 Tahun 2004, GNWU, masifnya literasi wakaf, hingga merebaknya nazir profesional saat ini diharapkan menjadi gebrakan baru dalam estafet gerakan wakaf, yang terus-menerus dilakukan selama berabad-abad.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.