Teraju
Menggeser Fokus Kebijakan Fiskal dan Moneter Imbas Pandemi
Ruang kebijakan fiskal dan moneter ditengarai semakin sempit.
OLEH AGUNG P VAZZA
Perekonomian yang sedang berkembang di kawasan Asia belum benar-benar lepas dari cengkeraman pandemi. Dampak signifikan pandemi terhadap perekonomian belum sepenuhnya sirna dan menjadi penyebab utama perlambatan pertumbuhan selama 2020.
Ketidakpastian masih sangat besar membayangi prakiraan dan prediksi perekonomian, dan sangat bergantung pada kemampuan masing-masing perekonomian menghentikan perluasan pandemi, sekaligus juga melanjutkan kebijakan-kebijakan pendukung perekonomian.
Dalam kondisi yang sama, dampak pandemi terhadap rontoknya permintaan dan pasokan terus pula berlanjut. Pemulihan yang mulai terlihat pada kuartal III 2020 masih harus berjibaku dengan pembatasan kegiatan terkait upaya meredam pandemi. Dalam jangka pendek pembatasan ini tetap akan membebani perekonomian, meski imbasnya sedikit menurun dibanding periode Maret-April tahun lalu.
Kondisi itu pula yang menyebabkan output perekonomian yang sedang berkembang di kawasan Asia belum akan kembali ke level sebelum pandemi pada tahun ini. Setidaknya begitu pandangan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dalam publikasinya "Economic Outlook for Southeast Asia, China and India 2021: Reallocating Resources for Digitalisation".
OECD Development Centre, dalam publikasi tersebut memproyeksikan pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto (PDB) riil negara-negara Asia Tenggara berada di kisaran 5,1 persen, setelah terkontraksi cukup dalam, 3,4 persen sepanjang 2020. Secara keseluruhan, sepuluh negara Asia Tenggara, Cina, dan India diperkirakan mencatat pertumbuhan rata-rata PDB riil di kisaran 7,1 persen, setelah merosot ke posisi 1,7 persen pada 2020.
"Prakiraan dan proyeksi tersebut masih dibayangi dengan besarnya ketidakpastian," ungkap Kensuke Tanaka, Kepala Bidang Asia OECD Development Centre, dikutip Business Times.
Prakiraan dan proyeksi tersebut masih dibayangi dengan besarnya ketidakpastian.KENSUKE TANAKA, Kepala Bidang Asia OECD Development Centre
Lebih detail, publikasi yang sama menguraikan di Asia Tenggara, Vietnam termasuk negara yang diperkirakan mengalami pemulihan ekonomi lebih cepat. Pertumbuhan selama tahun lalu diperkirakan di kisaran 2,6 persen, dan tumbuh cukup tinggi ke posisi tujuh persen sepanjang tahun ini.
Salah satu faktor utama pertumbuhan itu tak lain lantaran Vietnam mampu lebih cepat mengakhir fase pembatasan aktivitas untuk mengerem pandemi. Selain itu, terjadi pula peningkatan permintaan luar negeri.
Masih di Asia Tenggara, Filipina diproyeksikan menjadi perekonomian yang mengalami kontraksi paling dalam, sekitar sembilan persen pada 2020. Begitupun tetap mampu tumbuh tinggi pada tahun ini ke posisi 5,9 persen.
Namun, bersamaan dengan itu, Filipina juga mengalami kenaikan biaya utang, serta berkurangnya kapasitas pemerintah terkait pembayaran utang. Kedua faktor ini merupakan risiko yang harus dihadapi Filipina. Sedangkan Singapura, meski diprediksi mengalami penulihan ekonomi tahun ini ke level lima persen, namun tetap dibayangi ketidakpastian tinggi plus masih pula bergantung pada permintaan eksternal.
Di luar Asia Tenggara, India diproyeksikan mencatat kontraksi paling dalam pada 2020, di kisaran -9,9 persen. Tapi tetap diprediksi tumbuh tinggi pada 2021 ke posisi 7,9 persen. Sedangkan Cina, juga diperkirakan tumbuh tinggi pada tahun ini di kisaran delapan persen.
Fiskal dan moneter
Prakiraan dan proyeksi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia tersebut memang sangat beragam, dan sangat bergantung pada faktor-faktor seperti seberapa lama pembatasan kegiatan dan aktivitas sosial ekonomi diberlakukan, perbedaan struktur ekonomi setiap negara, serta tentu saja kapasitas pemerintah dalam mendukung rumah tangga dan dunia usaha.
Hanya secara umum, hampir semua negara di kawasan menghadapi persoalan serupa, yaitu defisit transaksi berjalan yang terus membesar, terutama di negara-negara yang sangat bergantung pada ekspor dan pariwisata. Publikasi OECD mencatat pandemi memaksa pemerintahan di kawasan mengambil langkah cepat, drastis, dan luar biasa (extraordinary) untuk melindungi publik dan masyarakatnya.
Di sisi moneter, bank-bank sentral di kawasan mengambil langkah menurunkan suku bunga acuan serta mengurangi cadangan perbankan. Bank-bank sentral Cina, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Vietnam, secara keseluruhan sudah menurunkan suku bunga acuan antara 30 basis poin sampai 300 basis poin, sepanjang 2020.
Selain itu, Cina, Indonesia, India, dan Filipina juga menurunkan persyaratan rasio cadangan perbankan. Bank sentral sejumlah negara juga memainkan strategi 'the last resort' dengan pembelian obligasi pemerintah berdenominasi domestik. India, Indonesia, dan Filipina merupakan tiga negara Asia yang menerapkan langkah tersebut. Juga melakukan quantitative easing lantaran semakin menyempitnya ruang kebijakan moneter.
Di sisi fiskal, sepanjang 2020, kebijakan fiskal di negara-negara di Asia Tenggara sangat ekspansif. Kebutuhan untuk menopang upaya meredam pandemi sekaligus menopang perputaran roda ekonomi, jelas memerlukan kebijakan fiskal yang ekspansif dalam bentuk stimulus.
Secara keseluruhan, negara-negara di Asia Tenggara sudah mengumumkan paket stimulus dengan jumlah sangat besar, sekitar 0,1 persen sampai 15 persen PDB. Implementasi paket-paket stimulus tersebut jelas berdampak pada memburuknya keseimbangan fiskal, yang di Singapura misalnya mencapai dua digit. Sementara, pemulihan aktivitas ekonomi masih sangat tentatif.
Situasi dan kondisi tersebut, menurut perkiraan OECD, bakal menyulitkan pemerintahan di sebagian besar kawasan Asia membentuk kebijakan counter cyclical jika pemulihan yang diharapkan, justru berlangsung tertatih-tatih.
Terkait ini, OECD menilai pentingnya langkah-langkah untuk memulai pemulihan dalam jangka pendek dan menengah, sekaligus mengantisipasi risiko yang juga bisa menghilangkan momentum pertumbuhan, seperti perkembangan masalah kesehatan publik serta semakin menipisnya ruang kebijakan fiskal maupun moneter.
OECD melihat perlunya mengubah dan menggeser fokus kebijakan moneter dari pemangkasan suku bunga menjadi kebijakan peningkatan transmisi suku bunga ke sektor riil.
Ruang kebijakan moneter di beberapa negara, dinilai OECD menjadi semakin tipis terutama terkait pemangkasan suku bunga kebijakan. Lantaran itu pula, OECD melihat perlunya mengubah dan menggeser fokus kebijakan moneter dari pemangkasan suku bunga menjadi kebijakan peningkatan transmisi suku bunga ke sektor riil. Langkah ini tak lain bertujuan memicu peningkatan permintaan dan penawaran.
Selain itu, pemangku kebijakan dinilai perlu pula memperhatikan implikasi volatilitas arus modal terhadap kebijakan moneter. Arus modal masuk yang cukup tinggi ke negara berkembang, seringkali diikuti dengan terhentinya arus modal masuk secara tiba-tiba, akibat perkembangan eksternal yang mungkin tidak terkait langsung dengan faktor-faktor domestik.
Sedangkan di sisi fiskal, dalam situasi ruang kebijakan fiskal semakin sempit, pemangku kebijakan perlu menitikberatkan perhatian pada dukungan fiskal yang lebih targeted. Terkait ini upaya meningkatkan efek lanjutan fiskal (fiscal multiplier) menjadi penting untuk memastikan efektifitas penyebaran sumber daya yang ada. Pasalnya, menurut OECD, fiscal multiplier di negara berkembang cenderung lebih rendah dibanding negara maju.
OECD, dalam publikasinya, menyebutkan pemerintahan di Asia dan Asia Tenggara, sepanjang tahun ini diharapkan lebih memfokuskan kebijakan, baik fiskal maupun moneter, pada stabilisasi defisit anggaran dan beban utang. Risiko pembiayaan eksternal perlu terus mendapat perhatian serius, apalagi bagi pemerintahan dengan likuiditas yang terus menipis.
Apalagi, pemulihan ekonomi yang saat ini tertatih, masih harus menghadapi tantangan, setidaknya terkait efektivitas penyebaran vaksinasi sekaligus cepatnya mutasi virus penyebab pandemi. Tantangan ini sangat mungkin memperlambat dicabutnya pembatasan aktivitas sosial ekonomi, dan terus menghambat pemulihan.
Dalam masa-masa ini, strategi manajemen penanganan pandemi tak pelak perlu diperkuat. Kalaupun secara ekonomi terbuka peluang digitalisasi yang cukup membantu selama pandemi, mulai e-commerce, peralatan kesehatan digital, sampai edukasi. Namun, untuk memetik manfaat penuh digitalisasi, masih banyak yang harus dituntaskan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.