Sehat
Saatnya Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Mari peduli lingkungan demi kehidupan generasi mendatang.
Membawa air minum dengan tumbler, selalu menenteng belanja sendiri guna mengurangi plastik belanja, mengganti sedotan plastik dengan sedotan stainless, dan memilah sampah organik dan anorganik. Bahkan, dia membuat pupuk kompos dari limbah organiknya sendiri.
Inilah keseharian dari seorang Rizqah Pangestu. Berbekal ilmu yang didapatnya semasa kuliah di jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), dia memberanikan diri untuk terus konsisten dengan gaya hidup yang berbeda dari arus utama itu. Setidaknya sudah tiga tahun lamanya Rizqah bertahan menjalani gaya hidup ramah lingkungan alias gaya hidup hijau dalam kehidupan sehari-harinya.
“Dengan peduli lingkungan kita bakal lebih empati pada sekeliling kita. Kita juga jadi jadi peduli kepada bayi-bayi yang belum lahir atau generasi mendatang kelak,” ungkap Rizqah pekan lalu saat dihubungi Republika.
Gaya hidup itu pun konsisten dilakukan dalam aktivitasnya sehari-hari. Dia mengganti deterjen dan sabun cuci piring dengan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan. Alasan kesehatan menjadi salah satu alasan mengapa ibu yang tengah memiliki seorang bayi itu lebih memilih sabun alami daripada sabun kimiawi.
Lalu, dia juga mengatakan pentingnya membawa sapu tangan saat dia pergi, selain membawa kotak makan sendiri. Sapu tangan bisa digunakan sebagai wadah makanan camilan gorengan, pengganti plastik bungkusnya. Sapu tangan pun bisa digunakan sebagai lap pengganti tisu.
“Sebenarnya bukan tergantung dengan benda, tetapi tergantung cara kita memakainya saja. Tumbler juga bukan hanya dipakai sebagai tempat air. Tapi bisa dipakai sebagai tempat bubur jika memang lupa membawa kotak makan sendiri sehingga terpaksa,” ungkap Rizqah.
Lebih rinci, dia menceritakan perjalanannya melakukan pengomposan limbah organik darinya. Pada awalnya, Rizqah melihat tukang pengangkut sampah terkadang tak mengambil sampah yang dikumpulkannya di depan rumahnya.
Alhasil, sampah yang dikumpulkannya pun menjadi bau. Oleh karenanya, dia pun mencari cara agar sampah tak terlalu menumpuk di depan tempat tinggalnya di Depok itu.
Perempuan berusia 28 tahun itu pun memetakan apa saja sampah yang dihasilkannya dalam satu hari. Menurutnya, sampah yang mendominasi kotak sampahnya adalah sampah organik. Kisarannya, sekitar 60 persen banyaknya. “Dari situ aku pun cari cara sebagai solusi yaitu bikin kompos. Akhirnya aku bikin sendiri di rumah. Jadi setidaknya 60 persen sampahku sudah teratasi,” tutur Rizqah.
Dia belajar mengompos limbahnya sendiri dari berbagai sumber dan teman-temannya yang juga ikut mengompos, serta berbekal apa yang dipelajarinya di masa kuliah dulu. Metode pertama yang dipelajarinya adalah metode kompos takakura. Kelebihannya, metode kompos itu bisa dilakukan di dalam rumah dan cukup praktis.
Dengan peduli lingkungan kita bakal lebih empati pada sekeliling kita. Kita juga jadi jadi peduli kepada bayi-bayi yang belum lahir atau generasi mendatang kelak.
Rizqah Pangestu
Seiring berjalannya waktu, dia belajar dengan metode yang lain. Saat ini dia melakukan kompos dengan menggunakan ember bekas yang dilubang-lubangi.
Pemerintah Kota Depok, kata dia, juga tengah menjalankan program pengolahan sampah organik. Mereka meletakkan satu ember besar di beberapa titik di perumahan. “Jika komposku masih penuh di rumah, maka aku letakkan kompos organik yang lain. Mereka pun mengangkutnya setiap hari,” jelas dia.
Dalam menerapkan eco lifestyle di kehidupan sehari-harinya, tak dimungkiri dia mengalami kendala tersendiri karena dia menantang “arus” gaya hidup pada umumnya. Sebagai orang yang berusaha konsisten menjalani gaya hidup tanpa plastik, dia masih kesulitan menemukan barang-barang yang tak dikemas dengan menggunakan plastik.
Dia pun mengetahui ada sejumlah toko yang mengusung gaya hidup hijau (green lifestyle) yang menyediakan beberapa bahan-bahan secara curah, sehingga konsumen hanya tinggal menimbang dan meletakkan bahan-bahan dalam kantong yang dibawa sendiri dari rumah. Namun, toko-toko itu cukup jauh dari tempat tinggalnya saat ini.
Di sisi lain, Rizqah tak sepakat dengan anggapan gaya hidup ramah lingkungan itu mahal. Sebagai contoh, tumbler yang berbahan plastik, sebenarnya tetap bisa dipakai meskipun mahal karena kualitasnya yang bisa dipakai sampai lama. “Kita bisa memakai itu sampai masa bakti dia selesai atau benar-benar rusak. Jadi jangan memperparah dengan membeli lagi,” kata dia.
Rizqah menekankan, dalam perjalanannya bergaya hidup ramah lingkungan pun memiliki banyak manfaat. Di antaranya, tubuh menjadi lebih sehat karena mengkonsumsi makanan yang segar dan tidak dalam kemasan plastik, meningkatkan ekonomi lokal karena mengurangi carbon footprint, dan lingkungan sekitar rumah menjadi lebih bersih.
Menurutnya, orang yang telah menerapkan gaya hidup ramah lingkungan, pasti akan terperosok lebih jauh lagi untuk mendalami gaya hidup ini. Gaya hidup nol sampah atau zero waste tak hanya mengganti botol plastik menjadi tumbler, atau mengganti sedotan plastik menjadi sedotan stainless.
“Aku terperosok dalam banget, sampai pada tahun ini aku punya target untuk ke sekolah-sekolah menengah untuk mengajak mereka agar mereka memahami mencintai lingkungan,” tutur Rizqah.
Sehingga, ketika generasi penerus ditanya alasan mengapa kita harus menerapkan gaya hidup ramah lingkungan, jawabannya pun bukan sekadar ‘siapa lagi kalau bukan kita’. Dia berharap mereka akan memiliki jawaban-jawaban konkrit dan pasti mengapa mereka mencintai bumi.
“Bahwa bumi itu cantik, alam itu indah. Flora dan fauna di alam itu sangat beraneka ragam. Jangan sampai karena bumi atau tempat tinggal kita rusak, flora dan fauna kita punah, maka anak-anak cucu kita tidak bisa ikut melihat keindahan itu semua,” jelas dia.
Siapa Bilang Mahal dan Ribet?
Gaya hidup ramah lingkungan acapkali disebut sebagai gaya hidup yang mahal dan terkesan repot. PR dan Project Manager Zero Waste Indonesia, Amanda Zahra Marsono pun membenarkan adanya stigma yang mengiringi orang-orang yang mencoba bergaya hidup ramah lingkungan tersebut. Dia menyebutnya sebagai miskonsepsi.
“Masalah besar yang dihadapi masyarakat saat ingin menerapkan green lifestyle adalah adanya miskonsepsi bahwa gaya hidup berkelanjutan itu ribet dan mahal,” ujar Amanda melalui keterangan yang diberikan kepada Republika, pekan lalu.
Oleh karenanya, untuk menghadapi tantangan tersebut, dia membagikan sejumlah saran mengenai bagaimana mengatasi tantangan tersebut. Pertama, penting bagi kita yang hendak melakukan gaya hidup ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk mencari alasan untuk melakukan sesuatu, seperti mencoba mengganti gaya hidup menjadi berkelanjutan.
“Cari tahu bagaimana dampak yang terjadi akibat sikap atau perilaku manusia terhadap lingkungan. Terus gali ilmunya, pahami sebab-akibat. Pemahaman yang baik, akan membuat motivasi dalam melakukan sesuatu lebih kuat,” tutur Amanda.
Setelah mengetahui realita yang ada, inilah saatnya untuk berbuat sesuatu. Amanda pun tak menyarankan untuk melakukan sesuatu yang amat besar dan ekstrem. Justru, kita bisa memulainya dengan hal-hal kecil dan mudah, tentunya secara konsisten.
Jika kita langsung memulai dengan langkah yang ekstrem, kata Amanda, biasanya hal itu justru yang malah membuat kita kesulitan sendiri. Ketika kita merasa susah untuk melakukan gaya hidup berkelanjutan karena langkah yang besar itu, maka kemungkinan kita bisa berhenti melakukan niat baik kita melindungi bumi karena enggan serta kapok. ''Don't give up. Karena memang sebagian besar masyarakat masih belum biasa dengan sikap dan perilaku kepedulian lingkungan ini,” ungkap Amanda.
Tak jarang niat baik mengubah gaya hidup ramah lingkungan tak disenangi oleh sejumlah orang. Mulai dari tatapan aneh dari para penjual yang kita sodori tempat makan sebagai wadah makanan yang kita beli, bahkan sampai menolak sikap dan perilaku kita itu. Amanda pun menyarankan untuk tidak berhenti dan terus lakukan saja di setiap kesempatan.
Selanjutnya, kita juga perlu untuk menemukan lingkungan yang positif yang mendukung perubahan perilaku kita. Di sana, kita bisa berbagi perasaan dan pengalaman, serta bisa menjadi wadah untuk saling mendukung perubahan gaya hidup menjadi ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Sehingga ketika diri sendiri kehabisan ‘bensin’ terkait motivasi, maka kita akan terisi kembali, atau recharge untuk terus konsisten melakukan gaya hidup berkelanjutan,” jelas Amanda.
Amanda mengatakan, gaya hidup berkelanjutan bisa dilakukan oleh setiap orang di segala usia. Sebab, gaya hidup ini merupakan sebuah proses, bukan merupakan hasil akhir.
Menurutnya, setiap individu bisa memulai untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kenyamanan, usia, latar belakang, dan karakter masing-masing. Oleh karenanya, bentuk pengimplemantasiannya pun tentu berbeda-beda.
Artinya, tidak ada patokan khusus untuk memulai dari bentuk perubahan gaya hidup yang mana. Masing-masing orang bisa menyesuaikan diri secara fleksibel, mencari kenyamanan sendiri sesuai dengan kenyamanan, keyakinan, situasi, dan kondisi masing-masing.
“Walau mungkin misalnya yang dilakukan adalah aksi sederhana seperti membawa tas belanja sendiri daripada plastik ketika pergi ke pasar misalnya, namun jika dilakukan bersama-sama akan membawa dampak yg sangat besar. Nothing is perfect but every little steps counts! #SustainabilityStartsWithYou,” kata Amanda.
Amanda pun memiliki target tersendiri bagi komunitas Zero Waste Indonesia pada tahun ini. Secara khusus, komunitas ini ingin mewujudkan segera salah satu bentuk wirausaha sosial impian yaitu Toko Fisik #TukarBaju. “Terwujudnya toko ini akan berdampak selain utk membiayai operasional komunitas Zero Waste Indonesia, tapi juga pada bertambahnya kesadaran masyarakat akan sampah tekstil dan solusinya di Indonesia,” jelas dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.