Kisah Dalam Negeri
Dokter Perempuan Pertama dari Manado yang Terlupakan
Marie dianggap telah membuka jalan bagi perempuan Indonesia menempuh pendidikan kedokteran, menyingkirkan banyak rintangan.
OLEH PRIYANTONO OEMAR
Pada 2 Februari 1931, koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie menurunkan berita dengan subjudul “4 dalam 85 Tahun!” Judul beritanya: “Dokter-Dokter Perempuan Pribumi”.
Di berita itu disebutkan dua dokter perempuan lulus dari School Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), Batavia, dan dua lagi lulus dari Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Surabaya. STOVIA dibuka pada Januari 1851 dengan nama Dokter Djawa School. Pada 1931 berarti baru 80 tahun.
NIAS dibuka pada 1913. Keempat dokter perempuan pribumi itu: Marie Thomas, Anna Warouw, Soerti Tirtotanojo, dan Moerdjani.
Pada tanggal kelahirannya yang ke-125 tahun, 17 Februari 2021, profil Marie Thomas menjadi Google Doodle. Marie Thomaslah yang menjadi dokter perempuan pribumi pertama, setelah belajar di STOVIA selama 10 tahun. Ia masuk 1912 dan lulus pada 1922. Sewaktu masih bernama Dokter-Djawa School, lama pendidikan cuma tiga tahun.
Pada 2 Mei 1922, koran Expres menurunkan berita kelulusan Marie Thomas dalam subjudul “Dokter Hindia Perempuan Pertama”. Judul beritanya “Dokter Hindia Baru”:
Weltevreden, 29 April.
EJ Karamoy (Menado), Marie Thomas (Menado), JM Leimena (Ambon), Mohamad Joesoef (Loeboek Sikaping), dan Goelam (Fort de Kock) dinyatakan lulus, sedangkan enam calon harus ditolak.
Tuan Karamoy memenangkan hadiah kehormatan (arloji emas).
Ada satu hal yang perlu diperhatikan di sini. Yang ini, bahwa Nona Thomas adalah dokter Hindia perempuan pertama. Sungguh menyenangkan!
Lulusan STOVIA memang disebut sebagai dokter Hindia (Indische Arts). Sebelumnya disebut dokter Jawa.
Atas nama Ikatan Dokter Hindia dan siswa STOVIA, seperti diberitakan De Sumatra Post 11 Mei 1922, hadiah penempatan kerja pun ditawarkan kepada Marie Thomas, tapi belum ditentukan lembaganya.
Marie kemudian bekerja di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) --kelak menjadi RSCM-- sebelum akhirnya pindah ke Sumatra Barat mengikuti suami. Di Sumatra Barat, Marie menjadi dokter kandungan dan mendirikan sekolah kebidanan. Ia melayani pasien tak mampu secara gratis.
Mohamad Joesoef dari Lubuk Sikaping-lah yang kelak menjadi suami Marie dan memboyong Marie ke Bukittinggi (Fort de Kock). Dari enam mahasiswa yang tidak lulus, ada nama Soekiman. Sebagai ketua Jong Java, Soekiman terlalu sibuk di organisasi, sehingga harus ikut ujian lagi pada 1923.
Anna Warouw merupakan perempuan kedua yang lulus dari STOVIA pada 1924. Di Surabaya, Soerti menjadi perempuan pertama yang lulus dari NIAS pada 1929, disusul oleh Moerdjani yang lulus pada 1931.
Perlu usaha yang cukup bagi Marie untuk bisa masuk STOVIA yang semula dikhususkan untuk laki-laki itu.
Perlu usaha yang cukup bagi Marie untuk bisa masuk STOVIA yang semula dikhususkan untuk laki-laki itu. Tanpa ikatan dinas pun akan ia jalani jika ia diperbolehkan masuk.
Namun rupanya, teman-teman Eropanya banyak membantu. Mereka tergabung di Vereeniging tot Bevordering van Inlandsche Ziekenzorg. Salah satu aktivisnya, Arletta Jacobs --dokter perempuan pertama di Belanda yang juga sahabat tokoh politik etis van Deventer, pernah bertemu dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mempersoalkan STOVIA yang tertutup bagi perempuan.
“Sampai sekarang semua gadis pribumi yang mendaftar ke Sekolah Dokter Djawa ditolak. Selalu dengan alasan tertentu, tetapi sebenarnya karena mereka yang berwenang memandang perempuan akan mengalami banyak kesulitan menjalani pendidikan kedokteran bersama para pemuda dan mereka merasa tidak berkeinginan mempunyai dokter perempuan pribumi,” tulis Aletta di buku Reisbrieven uit Afrika en Azie, seperti dikutip javapost.nl.
Pada 1912, Gubernur Jenderal mengizinkan STOVIA menerima siswa perempuan, tetapi tanpa ikatan dinas dan asrama. Marie masuk STOVIA pada 1912 saat berusia 16 tahun (lahir 17 Februari 1896). Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang lulus STOVIA tahun 1905, masuk sewaktu usia 13 tahun.
Marie masuk STOVIA pada 1912 saat berusia 16 tahun.
Charlote Jacobs, adik Arletta yang menjadi perempuan apoteker pertama di Belanda, lantas menggalang beasiswa untuk pendidikan dokter perempuan pribumi lewat lembaga Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Inlandsche Artsen (SOVIA). SOVIA dibentuk bersama penulis Marie Kooij-van Zeggelen dan Elisabeth van Deventer-Maas, istri van Deventer. Marie sebagai penerima beasiswa pertama.
“Ketika di tahun-tahun berikutnya perempuan Hindia dengan hak yang sama dapat menyelesaikan studi kedokteran, maka pertama-tama dia harus memikirkan Marie Thomas, yang maju dengan penuh semangat dan mencapai tujuannya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk mereka yang mengejarnya,” tulis Java Bode yang dikutip De Sumatra Post dan Rotterdamsche Courant.
Marie dianggap telah membuka jalan bagi perempuan Indonesia menempuh pendidikan kedokteran, menyingkirkan banyak rintangan. Namun, Liesbeth Hasselink --penulis buku The Early Years of Nursing in the Dutch East Indies, 1895–1920 -- menulis di resources.huygens.knaw.nl pada 2017, “Di Indonesia saat ini, Marie Thomas sudah tidak dikenal lagi. Sekolah kebidanan yang ia dirikan pun bahkan tak memakai namanya.”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.