Tema Utama
Malapetaka Bagi Malcolm X di Aula Audubon
Tokoh Muslim Amerika Malcolm X wafat dibunuh saat hendak menyampaikan orasi.
OLEH HASANUL RIZQA
Pada 21 Februari 1965 atau 56 tahun yang lalu, sebuah kericuhan berdarah terjadi di Aula Audubon, sekitaran Manhattan, Kota New York, Amerika Serikat. Peristiwa pada musim dingin itu berujung malapetaka bagi Malcolm X, seorang Muslim pejuang hak-hak sipil kulit hitam.
Awalnya, pria yang lahir dengan nama Malcolm Little itu hendak berpidato. Di aula tersebut, ratusan orang sudah siap menyimak orasinya. Pendiri Organisasi Persatuan Afro-Amerika (OAAU) itu lantas naik ke atas panggung. Seperti biasa, lelaki bersorot mata tajam ini tampak penuh wibawa. Sembari tangannya memegang mikrofon, ia pun mengucapkan salam khas agama Islam kepada hadirin, “Assalamualaikum!”
Belum tuntas memberikan kata sambutan, dia dikejutkan oleh keributan di baris bangku kedelapan dari depan. Seseorang berteriak kepadanya, “Hai Negro, keluarkan tanganmu dari sakumu!” Malcolm berusaha untuk tidak terpancing emosi. Beberapa petugas mencoba menenangkan segelintir perusuh.
Tiba-tiba, seorang pria mendekati panggung dan menodongkan senapan-sebar (shotgun) berlaras pendek ke hadapan Malcolm. Seketika, beberapa peluru ditembakkan, menerjang sang orator. Dua orang lagi datang dan menembak korbannya dengan pistol.
Tubuh aktivis berusia 39 tahun itu tersungkur di atas panggung. Orang-orang berhamburan keluar dari Aula Audubon. Namun, tak sedikit yang berupaya meringkus tiga penembak. Seorang dari mereka babak-belur dihajar massa yang gelap mata.
Belakangan, pelaku teridentifikasi sebagai Thomas Hagan alias Talmadge Hayer. Menurut keterangan sejumlah saksi mata, dua pelaku lainnya di tempat kejadian perkara ialah Norman 3X Butler alias Muhammad Abdul Aziz dan Thomas 15X Johnson. Ketiganya kala itu merupakan anggota organisasi Nation of Islam (NOI).
Hasil autopsi beberapa hari kemudian menunjukkan, ada 21 tembakan melukai dada, bahu kiri, serta lengan dan kaki Malcolm X.
Malcolm sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi nyawanya tak terselamatkan. Pada pukul 15.30 waktu setempat, para dokter mengumumkan el-Hajj Malik el-Shabazz —demikian namanya sesudah menunaikan ibadah haji— meninggal dunia. Hasil autopsi beberapa hari kemudian menunjukkan, ada 21 tembakan melukai dada, bahu kiri, serta lengan dan kakinya.
Dua hari sebelum wafat, Malcolm mengungkapkan kecurigaannya terhadap NOI. Padahal, ia sempat cukup lama menjadi anggota organisasi itu sebelum akhirnya keluar pada 8 Maret 1964.
Menurut jurnalis Gordon Parks, suami Betty Shabazz itu pernah mengatakan bahwa NOI telah berkali-kali merencanakan pembunuhan terhadapnya. Apalagi, sesudah dirinya berseberangan pemikiran dengan sang pemimpin NOI, Elijah Muhammad.
Pemakaman jenazah Malcolm X di Kompleks Ferncliff, New York, dihadiri puluhan ribu pelayat. Sejumlah stasiun televisi lokal menyiarkannya secara langsung. Banyak tokoh aktivis kesetaraan rasial menyatakan bela sungkawa atas kepergian Muslim tersebut. Di antaranya adalah John Lewis, Bayard Rustin, James Forman, James Farmer, Jesse Gray, dan Andrew Young.
Martin Luther King Jr berkirim surat kepada Betty untuk menyatakan dukanya, “Meskipun antara kami berdua tidak selalu sepakat dalam melihat persoalan rasial di negeri ini, saya selalu mempunyai simpati yang mendalam untuk Malcolm. Dia memiliki kemampuan yang hebat dalam mengungkapkan akar masalah (rasialisme),” tulis aktivis beragama Nasrani ini.
Menyisakan 'misteri’
Talmadge Hayer memang sudah mengakui sebagai pembunuh Malcolm X dan dihukum penjara seumur hidup sejak 1966. Namun, Hayer menyatakan, dua pelaku lainnya bukanlah Norman 3X Butler maupun Thomas 15X Johnson.
Barulah pada 1977-1978, bekas simpatisan NOI itu menyebut empat nama yakni para anggota NOI dari Masjid Newark No 25 turut serta dalam serangan terhadap Malcolm. Namun, pernyataannya tidak menyebabkan kasus dibuka kembali di pengadilan.
Berpuluh tahun sejak wafatnya Malcolm X, publik masih menyimpan tanda tanya terkait aktor intelektual di balik kasus tersebut. Pada 2020, terbit film dokumenter berseri di Netflix berjudul “Who Killed Malcolm X?”
Tak lama berselang, Kantor Kejaksaan Manhattan pun seperti memberikan sinyal positif, yakni mempertimbangkan apakah meninjau kembali atau tidak kasus pembunuhan yang mengorbankan nyawa sang aktivis kulit hitam.
Jurnalis John Leland dalam artikelnya di The New York Times 6 Februari 2020 berpandangan agak skeptis. Sebab, belum ada iktikad serius dari Kejaksaan AS untuk mengadakan kembali penyelidikan atas kematian Malcolm, khususnya pascapengakuan tertulis Hayer.
Karena itu, berbagai teori konspirasi pun menyeruak. Di antaranya menyalahkan kepolisian New York saat itu yang dinilai lamban dalam mengatasi kerusuhan sebelum insiden penembakan terjadi di Aula Audubon, 21 Februari 1965. Malahan, ada yang menaruh kecurigaan terhadap keterlibatan Biro Investigasi Federal (FBI) atau agen rahasia CIA.
Earl Grant, seorang saksi mata kejadian menuturkan kesaksiannya dalam buku Malcolm X: The Man and His Times (1990), “Sekitar lima menit kemudian (setelah Malcolm X ditembak), terjadilah pemandangan yang paling mengejutkan saya. Belasan aparat kepolisian memasuki aula. Tetapi, mereka berjalan saja, seperti sedang berpatroli di sebuah taman yang lengang. Mereka tampak sama sekali tidak bersemangat atau mungkin cemas akan keadaan.
Saya hampir tidak percaya akan apa yang saya lihat. Di sini, ada polisi Kota New York, memasuki ruangan tempat kejadian perkara. Setidaknya, belasan kali tembakan peluru baru saja terdengar. Namun, tidak satu pun dari mereka yang mengeluarkan senjatanya! Faktanya, beberapa dari mereka bahkan memasukkan tangan ke dalam saku celana.”
Kini, sudah lebih dari lima dekade berlalu sejak insiden yang merenggut nyawa sang pejuang hak asasi manusia (HAM). Leland mengutip perkataan David Garrow, sejarawan hak-hak sipil AS sekaligus pemenang Hadiah Pulitzer, “Kebanyakan orang kulit putih saat itu berpendapat, kasus ini adalah kejahatan sesama kulit hitam, atau mungkin kejahatan antar-ekstremis kulit hitam. Hingga beberapa dekade setelahnya, seakan-akan muncul konsensus di internal komunitas kulit hitam, bahwa kita enggan menggali lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
Terkesima haji
Perjalanan hidup Malcolm X memang cukup singkat. Usianya belum genap 40 tahun tatkala mengembuskan napas terakhir. Akan tetapi, tindakan, pemikiran, dan perkataannya terus menginspirasi siapapun yang mendambakan keadilan dan kesetaraan rasial di manapun berada.
Popularitas Malcolm melejit sejak dia bergabung dengan NOI. Bahkan, namanya kemudian disebut-sebut lebih bersinar daripada pemimpin NOI kala itu, Elijah Muhammad. Ketika pecah kongsi dengan Elijah dan akhirnya mendirikan OAAU, nama lelaki berkaca mata itu sudah dikenal tak hanya di Amerika, tetapi juga dunia berkat media massa.
Baginya, popularitas hanyalah jalan untuk lebih memasifkan ide perjuangan kesetaraan rasial. Dan, satu momen membuka mata batinnya tentang makna kesetaraan: ibadah haji. Pada April 1964, atau kurang setahun dari kematiannya, Malcolm berangkat ke Tanah Suci dengan sokongan dana dari seorang saudara tirinya.
Sesampainya di Jeddah, otoritas lokal sempat meragukan keislamannya. Dengan bantuan seorang penulis, Abdul Rahman Hassan Azzam, pihak imigrasi akhirnya dapat diyakinkan bahwa Malcolm memang seorang Muslim. Alhasil, perjalanannya berlanjut ke Haramain.
Pemandangan di Masjidil Haram membuatnya terkesima. Lautan manusia dari berbagai ras, suku, dan bangsa tumpah ruah di sana.
Pemandangan di Masjidil Haram membuatnya terkesima. Lautan manusia dari berbagai ras, suku, dan bangsa tumpah ruah di sana. Mereka tidak tersekat-sekat satu sama lain. Semuanya tampak khidmat dan setara, sebagai sama-sama hamba Allah yang beriman. Bagi Malcolm, keadaan ini sungguh mempesona.
Di Makkah, dia menjumpai orang-orang kulit putih dan kulit hitam berjalan beriringan, sama-sama melafalkan talbiah dan berpakaian ihram. Kesan ini disampaikan Malcolm dalam surat tertanggal 26 April 1964 yang ditujukannya kepada kawan-kawannya di Amerika.
“Saya melihat dalam mata biru mereka (jamaah haji kulit putih –Red) dan menyaksikan bahwa mereka menganggap saya pun sebagai saudara. Keyakinan mereka kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, telah menghapuskan stigma 'kulit putih' di pikiran mereka, mengubah sikap dan tindakan terhadap orang-orang yang berbeda warna kulit.”
Ibadah haji membuka kesadaran baru dalam dirinya. Sebelumnya, Malcolm selalu berkeyakinan tentang keunggulan ras kulit hitam; serta menganggap bahwa ras kulit hitam dan putih mustahil bersatu.
Faktanya, jamaah di Tanah Suci membuktikan persatuan di atas perbedaan bisa terjadi. “Sungguh, apa yang telah saya saksikan dan alami dalam perjalanan haji ini memaksa saya mengubah anggapan tentang banyak hal selama ini!” tulisnya lagi.
'Islam, Solusi Persoalan Rasial Amerika'
Malcom X (1925-1965) bukan hanya seorang legenda dalam sejarah perjuangan hak-hak asasi warga kulit hitam Amerika Serikat. Diakui atau tidak, pemilik nama el-Hajj Malik el-Shabazz itu juga berkiprah dalam dakwah Islam di Negeri Paman Sam. Bahkan, hingga tahun-tahun terakhir dalam kehidupannya aktivis pendiri Muslim Mosque Inc itu berupaya mendekatkan publik AS dengan Islam.
Seperti dikutip dalam buku The Autobiography of Malcolm X (1965) karya kolaboratifnya dengan Alexander Murray Palmer Haley, Amerika sudah sepantasnya memahami agama ini dari dekat; mengambil hikmah dari ajaran Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Malcolm menyatakan, “Karena Islam adalah satu-satunya agama yang menghapus segala masalah rasial dari semua masyarakat. Anda boleh jadi terkejut mendengar kata-kata ini keluar dari mulut saya. Tetapi, dari ibadah haji yang saya lakukan, apa yang saya lihat, saya alami (di Tanah Suci), telah membuat saya mengubah pola-pola pikir yang sebelumnya saya yakini.”
Di Masjidil Haram, Makkah, dia merasa terpukau. Malcolm menjumpai banyak orang kulit putih yang ramah terhadapnya.
Di Masjidil Haram, Makkah, dia merasa terpukau. Malcolm menjumpai banyak orang kulit putih yang ramah terhadapnya. Orang-orang itu memandangnya sebagai sesama manusia. Muncul kesadaran yang teguh dalam diri tokoh ini, Allah menciptakan perbedaan rasial semata-mata agar manusia saling mengenal.
Dia pun membaca pesan tersebut di dalam Alquran, seperti surah al-Hujurat ayat 13. “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Selama di Arab Saudi, dia diterima dengan baik oleh Pangeran Faishal bin Abdul Aziz. Setelah berhaji, Malcolm melakukan lawatan ke sejumlah negara di Timur Tengah dan Benua Afrika, seperti Mesir, Etiopia, Nigeria, Ghana, Guinea, Sudan, Senegal, Liberia, Aljazair, dan Maroko.
Di Kairo, ia selaku delegasi Organisasi Persatuan Afro-Amerika (OAAU) menghadiri pertemuan akbar Organisasi Persatuan Afrika (OAU). Dalam rentang tahun 1964, tokoh kelahiran Nebraska itu telah bertukar pikiran dengan beberapa pemimpin nasionalis Afrika, semisal Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan Presiden Aljazair Ahmed Ben Bella.
Saya akhirnya menyadari, rasisme tidak hanya soal hitam dan putih.
“Menyimak para pemimpin seperti Nasser, Ben Bella, dan Nkrumah telah menyadarkan saya tentang bahaya rasisme. Saya akhirnya menyadari, rasisme tidak hanya soal hitam dan putih. Ini lebih sebagai pemicu pertumpahan darah di tiap bangsa di muka bumi,” kata Malcolm dalam suatu wawancara dengan jurnalis kulit hitam AS, Gordon Parks.
Demikianlah, sejak mendirikan OAAU pada Juni 1964 hingga ujung usianya, lelaki bersorot mata tajam ini cenderung mengubah haluannya menjadi moderat. Perjalanan haji membuatnya sadar akan fakta dan makna keberagaman. Mulai saat itu, falsafah hidupnya diikuti lebih banyak orang, dan menuai respek dari beragam kalangan.
Beberapa hari setelah wafatnya, pada 27 Februari 1965 jasadnya dikebumikan. Banyak sejarawan memandang, pengaruh Malcolm X justru kian membesar sejak wafatnya, baik bagi negerinya, dunia, maupun dakwah Islam di Barat secara keseluruhan.
NOI setelah kematian Elijah Muhammad pada 1975, dipimpin Warith Deen. Lambat laun, Deen merombak paham organisasi tersebut agar selaras dengan falsafah yang dianut Malcolm di ujung usianya, yakni Islam moderat. Langkah ini diikuti puluhan ribu anggota NOI.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.