Opini
Nasib Bahasa Ibu
Ketika benteng pertahanan di keluarga tak terjaga, nasib bahasa ibu tinggal menunggu kepunahan.
E AMINUDDIN AZIZ, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud
Walaupun tidak menjadi faktor langsung penyebab pecahnya Pakistan Timur menjadi Bangladesh terpisah dari Pakistan pada 1971, setidaknya kerusuhan besar pada 21 Februari 1952 oleh mahasiswa Universitas Dhaka ikut meletupkan gairah perpisahan itu.
Sejarah mencatat, pada tanggal itu mahasiswa berdemonstrasi menuntut diakuinya bahasa Bengali sebagai bahasa ibu suku Bengal. Sementara, Gubernur Jenderal Pakistan Muhammad Ali Jinnah menyatakan, bahasa resmi Pakistan adalah Urdu.
Tak pelak lagi, terjadi demonstrasi berkepanjangan, memakan banyak korban jiwa dan akhirnya berdirilah Bangladesh. Rafiqul Islam, tokoh Bangladesh, pada 9 Januari 1998 mengusulkan kepada Sekjen PBB Kofi Annan agar PBB menggagas Hari Bahasa Ibu Internasional.
Indonesia memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini.
Tanpa perdebatan panjang, 17 November 1999, dengan dukungan dari 188 negara, PBB menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Sejak 2000, melalui UNESCO, PBB memperingatinya setiap tanggal 21 Februari. Tanggal ini merujuk peristiwa di Dhaka itu.
Indonesia memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini. Bahasa-bahasa daerah itu umumnya sekaligus menjadi bahasa ibu masyarakat kita, walaupun secara konsep bahasa ibu tidak sama dengan bahasa daerah.
Bahasa ibu lebih merujuk bahasa yang pertama kali diperoleh seseorang saat dibesarkan dan berinteraksi dengan bahasa itu di lingkungan keluarganya. Bahasa daerah lebih dinisbatkan pada bahasa yang digunakan kelompok masyarakat atau suku bangsa tertentu yang secara sosiologis berhubungan.
Hingga kini, survei Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (atau Badan Bahasa) berhasil memetakan 718 bahasa daerah di seluruh Indonesia dan tentu banyak bahasa daerah yang belum terpetakan. Dari jumlah itu, hampir 90 persen tersebar di wilayah timur Indonesia: 428 di Papua, 80 di Maluku, dan 72 di Nusa Tenggara Timur, dan 62 di Sulawesi.
Hasil kajian vitalitas bahasa menunjukkan, ada delapan bahasa dikategorikan punah, lima bahasa kritis, 24 bahasa terancam punah, 12 bahasa mengalami kemunduran, 24 bahasa dalam kondisi rentan (stabil tetapi terancam punah), dan 21 bahasa berstatus aman.
Tuntutan pemisahan diri dari NKRI karena bahasa daerah (atau bahasa ibu) mungkin tak akan (dan tidak perlu) terjadi. Namun, bukan hal mustahil.
Pengalaman bangsa Indonesia menetapkan bahasa resmi dan bahasa negara berbeda dengan bangsa lain. Walaupun bukan bahasa mayoritas penduduk bangsa Indonesia, bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa persatuan pada 28 Oktober 1928 saat deklarasi Sumpah Pemuda, kemudian menjadi bahasa negara pada 18 Agustus 1945 (Pasal 36 UUD 1945).
Saat itu, dengan rasa yang sama sebagai bangsa terjajah, urusan kedaerahan dan kesukuan dari penduduk mayoritas seperti Jawa, Sunda, Madura, Batak, dan Minang benar-benar dikesampingkan. Hanya ada satu tekad dan satu kata: Indonesia!
Tuntutan pemisahan diri dari NKRI karena bahasa daerah (atau bahasa ibu) mungkin tak akan (dan tidak perlu) terjadi. Namun, bukan hal mustahil. Maka, negara perlu melindungi sekaligus mengembangkan bahasa daerah.
UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan memerintahkan, pemerintah daerah (pemda) memelihara dan mengembangkan bahasa daerah.
Mereka menganggap, bahasa ibu kurang bergengsi, hanya romantisme kedaerahan, dan sikap lain yang tak terlalu menunjukkan penghargaan pada bahasa ibu.
Sayangnya, tak semua pemda memiliki tingkat perhatian sama, bahkan banyak yang abai. Akibatnya, dari waktu ke waktu terjadi penurunan jumlah penutur bahasa ibu dan akhirnya punah. Kepunahan sebuah bahasa ibu bisa disebabkan berbagai alasan.
Bisa karena kawin campur antarsuku, migrasi, bencana, atau perang. Namun, yang paling berpengaruh karena sikap bahasa para penuturnya. Berbagai hasil penelitian menunjukkan, kualitas sikap bahasa para penutur bahasa ibu, terutama generasi muda, cenderung kurang baik.
Mereka menganggap, bahasa ibu kurang bergengsi, hanya romantisme kedaerahan, dan sikap lain yang tak terlalu menunjukkan penghargaan pada bahasa ibu. Mereka lebih senang berbahasa asing, bahkan saat bertutur dalam bahasa Indonesia walau hanya sebagai campuran.
Di psikologi, gejala ini disebut xhenophilia atau xhenomania, yaitu lebih menyukai dan menganggap hal dari luar (negeri) lebih baik daripada yang dari daerah/negara sendiri.
Sebaliknya, UNESCO justru mengampanyekan bahasa ibu untuk pembelajaran terutama di kelas-kelas awal. Anjuran ini beralasan karena siswa lebih mudah berkomunikasi dan memahami pelajaran andaikata disampaikan dalam bahasa ibunya.
Ini asumsinya, siswa memiliki bahasa ibu yang (relatif) homogen dan bahasa Indonesia masih menjadi bahasa kedua mereka.
Di perkotaan, mungkin sulit menerapkan anjuran ini. Namun, di perdesaan, bisa menjadi salah satu jalan keluar. Rendahnya daya nalar siswa seperti ditunjukkan survei PISA, misalnya, dapat ditingkatkan melalui proses pembelajaran menggunakan bahasa ibu.
Ini asumsinya, siswa memiliki bahasa ibu yang (relatif) homogen dan bahasa Indonesia masih menjadi bahasa kedua mereka.
Dari sisi ini, keluarga berperan sentral dalam pelestarian bahasa ibu. Ketika benteng pertahanan pertama di keluarga tak terjaga lagi, nasib bahasa ibu tinggal menunggu waktu kepunahannya.
Masyarakat semakin tak acuh terhadap bahasa ibu, apalagi kalau pemda pun sudah tak melihat nilai pentingnya bahasa ibu. Atau, tak pedulinya pemda karena keluarga dan masyarakat pemilik bahasa ibu justru sudah tak mau menaruh perhatian kuat lagi?
Wallahu a’lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.