Narasi
Saat Anak-Anak Sedunia Terpaku pada Gawai
Orang tua harus mengawasi penggunaan gawai oleh anak.
Setahun lebih pandemi Covid-19 mulai menampakkan dampak-dampak sampingan terhadap anak-anak dan remaja. Di sela ancaman kesehatan yang belum juga mereda, gejala-gejala dampak negatif penggunaan gawai yang berlebihan membuat orang tua dan guru kewalahan. Republika coba menyoroti fenomena tersebut. Berikut ini tulisan bagian pertama.
Di Kota Bogor, Jawa Barat, seperti di tempat-tempat lain seantero bumi, sudah setahun lebih para murid belajar dari rumah. Telepon genggam yang mulanya menjadi sarana pembelajaran perlahan berubah menjadi gawai yang tak bisa lepas dari sebagian anak dan remaja.
Salah seorang guru dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kedung Badak 2, Kota Bogor, Annisa Nurul Dhiani atau yang biasa disapa sebagai Nisa (29 tahun) menceritakan kisah salah seorang siswa didiknya. F (11 tahun) yang duduk bangku kelas VI SD kini turut kecanduan gim daring.
“Baru-baru ini kemarin ada kejadian salah satu murid yang kabur dari rumah karena ribut sama orang tuanya. Sebelumnya, dia ditegur karena Wi-Fi yang dipasang orang tuanya malah dipakai untuk game online dan Tiktok,” ujar Nisa kepada Republika, Selasa (16/2).
Sejak terpaku dengan gim daring, Nisa mengatakan, F terhitung jarang mengumpulkan tugas. Padahal, F sebelumnya merupakan siswa yang tergolong aktif dan berprestasi. Oleh karena itu, orang tua F meminta tolong kepada Nisa agar putranya tersebut teralihkan dari penggunaan gawai yang berlebihan.
Akhirnya, Nisa memberi solusi untuk mengizinkan F pergi ke sekolah guna menyerahkan tugas ketika Nisa sedang work from office (WFO) di sekolah. “Jadi ortu-nya minta tolong gimana F belajar supaya enggak teralihkan ke handphone. Akhirnya saya kasih solusi. Setiap saya WFO, silakan F datang ke sekolah untuk minta tugas,” ucapnya.
Nisa menilai, semestinya setelah memberi fasilitas tersebut orang tua tidak melepas anaknya begitu saja. “Saya dapat aduan, tapi menurut saya itu kontrol orang tua. Ternyata, walaupun sudah difasilitasi, jangan dilepas begitu saja. Ini ada ketidaksiapan orang tua buat nanganin anak selama di rumah,” tuturnya.
Untuk itu, dirinya menyarankan kepada orang tua F untuk membuat kontrak perilaku seperti yang dilakukannya kepada setiap orang tua siswa dengan membuat kontrak belajar. Dari kontrak tersebut, siswa, orang tua, dan guru bisa menyinkronisasi cara belajar dengan kebiasaan anak di rumah, termasuk persepsi dari anak didik.
F di Bogor tak sendirian. Di Tangerang Selatan, Banten, ada AP (14 tahun). Siswi salah satu sekolah swasta di sana itu mulanya adalah anak yang berprestasi, baik secara akademis maupun ekstrakurikuler olahraga. Belakangan, kata orang tuanya, AP kebanyakan di kamar dengan gawainya.
Begitu selesai pelajaran jarak jauh pada siang hari, telepon genggam tak lepas dari AP hingga waktu tidur di malam hari. “Jadi mager (malas gerak) sekarang,” ujar AP.
Ia menuturkan, sang anak sehari-hari menghabiskan waktu memainkan gim daring Ghenshin Impact yang tengah naik daun belakangan. Gim jenis open world role playing game tersebut diisi karakter-karakter bergaya animasi Jepang.
Kepala Sekolah KB-TK IT Assalam Bekasi, Sulkhiyah, tidak memungkiri adanya dampak negatif dari penggunaan gawai yang kini telah bertransformasi menjadi media pembelajaran utama. “Dampak negatifnya setelah melakukan kegiatan PJJ, para siswa yang tidak mendapatkan pendampingan dari keluarga, akhirnya melanjutkan memakai gadget untuk bermain game dan lain-lain,” ujar dia saat dihubungi Republika, Selasa (16/2).
Sulkhiyah mengatakan, kondisi tersebut terjadi karena kurangnya fasilitas untuk melakukan kegiatan lain yang tidak bersinggungan dengan gawai. Sebagai gantinya, pihak sekolah pun dituntut untuk berstrategi dalam mengatasi dampak negatif tersebut. “Kalau di Assalam, insya Allah, kami selalu mengingatkan orang tua untuk selalu mendampingi putra atau putrinya saat PJJ,” tutur dia.
Sekolah juga tidak melulu menghadirkan kegiatan yang bersinggungan dengan gadget. Misalnya, sekolah juga menjalankan kegiatan tentang life skill dan lain-lain.
Cerita serupa, nun di Amerika Serikat. Sejak pandemi melanda Amerika Serikat, John Reichert dari Boulder, Colorado, terbiasa menyaksikan anaknya, James (14 tahun), terpaku di depan televisi bermain konsol gim Xbox. Tak jarang pula putranya beralih ke gawai untuk bermedia sosial atau memainkan gim virtual lainnya.
Meski mulai terbiasa, Reichert tetap tak dapat menampik perasaan risih yang timbul dari dalam batinnya. Sebab, sebelum pandemi, James kerap memanfaatkan waktu luang untuk bersepeda gunung atau bermain basket. Kini, sekitar 40 jam dalam sepekan, James bertatapan dengan layar televisi atau gawai.
Reichert pernah berusaha membatasi James mengakses gawai atau bermain konsol gim. Namun, putranya memprotes. Dia menyebut bahwa ponsel adalah hidupnya. "Itu adalah titik kritisnya. Seluruh hidupnya? Saya tidak akan kehilangan putra saya karena ini," katanya, dikutip the New York Times bulan lalu.
Pengalaman Reichert juga dirasakan Wendy James asal Victoria, Australia. Sejak Victoria menerapkan lockdown, kedua putra James keranjingan bermain gim. "Mereka memang menghabiskan terlalu banyak waktu bermain gim, tanpa diragukan lagi," katanya, dikutip laman ABC, beberapa waktu lalu.
James berharap kedua putranya bisa keluar dan melupakan sejenak gim atau gawainya. "Dengan Covid dan lockdown, ini sudah terlalu berlebihan."
Berdasarkan statistik di AS, terdapat peningkatan tajam aktivitas anak-anak di platform media sosial, seperti Tiktok dan Snapchat. Sebuah aplikasi gim bernama Roblox yang sangat populer di kalangan anak-anak usia 9 dan 12 tahun di AS rata-rata memiliki 31,1 juta pengguna per hari selama sembilan bulan pertama 2020. Jumlah itu meningkat 82 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Menurut Qustodio, sebuah perusahaan yang melacak penggunaan puluhan ribu perangkat telekomunikasi pada anak-anak, secara keseluruhan waktu pemakaian gawai oleh anak berusia 4-15 tahun di seluruh dunia meningkat dua kali lipat pada Mei tahun lalu.
Di AS, misalnya, pada Maret-April 2020, anak-anak menghabiskan rata-rata 97 menit per hari di platform Youtube. Angka itu meningkat jika dibandingkan dengan Februari yang berkisar 57 menit. Jika dibandingkan dengan 2019, angka-angka tersebut meningkat hampir dua kali lipat. Seberapa berbahaya fenomena tersebut?
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.