Opini
Relaksasi PPnBM untuk Siapa?
Persoalan tak kalah penting, apakah insentif PPnBM betul-betul dibutuhkan calon pembeli.
HARYO KUNCORO, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta dan Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta
Insentif fiskal tampak menjadi andalan pemerintah menggeliatkan kembali aktivitas ekonomi nasional yang terpapar dampak Covid-19. Setelah sehimpun insentif digelontorkan bagi produsen sepanjang tahun lalu, pemerintah kini mulai berpaling pada sisi konsumen.
Insentif kepada konsumen diberikan dalam bentuk pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) atas kendaraan bermotor, khususnya roda empat kelas 1.500 cc.
Berlaku mulai 1 Maret 2021, pemerintah menanggung PPnBM secara bertahap sebesar 100, 50, dan 25 persen. Dengan relaksasi PPnBM semacam ini, Kementerian Perindustrian memperkirakan produksi kendaraan meningkat hingga 81.752 unit.
Industri pendukung otomotif, menyumbang lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi PDB sebesar Rp 700 triliun.
Pulihnya produksi dan penjualan otomotif kelas 1.500 cc diyakini membawa dampak luas bagi industri pendukungnya. Industri bahan baku, misalnya, berkontribusi sekitar 59 persen dalam industri otomotif.
Industri pendukung otomotif, menyumbang lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi PDB sebesar Rp 700 triliun, memberikan loncatan awal pada perekonomian dengan aneka mata rantai turunannya. Namun, pembebasan PPnBM atas kendaraan tak lepas dari polemik.
Pemilihan insentif pada industri otomotif tentu menjadi pertanyaan utama. Argumen bahwa industri otomotif merupakan salah satu sektor manufaktur paling besar terkena dampak pandemi Covid-19 masih bisa diperdebatkan.
Data kuartal IV 2020 menunjukkan, produksi mobil justru meningkat 84 persen dibandingkan periode sebelumnya. Penjualannya pun meningkat 43 persen. Artinya, kinerja industri otomotif sejatinya tidak buruk-buruk amat.
Karena itu, tanpa insentif fiskal sekalipun, sektor otomotif dinilai masih bisa bertumbuh.
Karena itu, tanpa insentif fiskal sekalipun, sektor otomotif dinilai masih bisa bertumbuh. Pemilihan waktu insentif PPnBM juga dipandang tidak tepat. Pemberian insentif pajak tidak salah asalkan dilakukan pada saat yang pas dan mendahulukan skala prioritas.
Jelasnya, insentif pemotongan PPnBM mestinya diluncurkan ketika momentum pemulihan ekonomi sudah lebih stabil. Mengadopsi cerita sukses dari negeri jiran, Malaysia, dalam merelaksasi PPnBM juga tidak keliru asalkan cermat.
Pengurangan PPnBM yang berhasil mendongkrak penjualan mobil di sana, ditempuh tatkala sudah tak ada pembatasan sosial karena masyarakat tertib protokol kesehatan. Persoalan tak kalah penting, apakah insentif PPnBM betul-betul dibutuhkan calon pembeli.
Jangan sampai, insentif fiskal dijadikan senjata untuk mengatasi persoalan yang sejatinya bukan berada di ranah fiskal. Efek bumerang bakal terjadi. Insentif PPnBM tidak nendang, sementara pemerintah kehilangan penerimaan.
Berkaca pada tahun lalu, sejumlah insentif perpajakan yang ditawarkan pemerintah tak banyak dimanfaatkan konsumen. Rumah tangga konsumen lebih fokus restrukturisasi dan konsolidasi sambil memantau perkembangan ekonomi menuju arah lebih baik.
Dalam skala lebih luas, stimulus PPnBM niscaya menimbulkan kecemburuan sosial.
Kalaupun sesuai kebutuhan calon pembeli, persoalan tak selesai di situ. Efek insentif pajak butuh tenggat lama. Keputusan membeli kendaraan tak sama dengan membeli kacang goreng yang begitu harga diturunkan, kuantitas yang diminta langsung melejit.
Alhasil, relaksasi PPnBM kendaraan bermotor tak serta-merta meningkatkan kredit perbankan. Relaksasi PPnBM 100, 50, dan 25 persen tetap menghendaki kenaikan daya beli riil masyarakat, alih-alih hanya potongan harga, insentif fiskal, atau semacamnya.
Stimulus fiskal PPnBM ini agaknya lebih menyasar kelompok menengah ke atas, yang memiliki potensi daya beli lumayan besar. Namun, segmen masyarakat itu justru lebih memilih menimbun tabungan di bank daripada membelanjakannya.
Dalam skala lebih luas, stimulus PPnBM niscaya menimbulkan kecemburuan sosial. Insentif fiskal ini lebih memihak golongan menengah atas, alih-alih kelompok bawah. Padahal, dampak ekonomi Covid-19 jauh lebih berat dirasakan kelompok bawah.
Jelasnya, asas kegentingan tidak terpenuhi. Atribut ‘barang mewah’ pada relaksasi PPnBM mempertegas, golongan menengah atas pada masa pagebluk bisa ‘bermewah-mewah’.
Meningkatnya penduduk miskin, pengangguran, dan rasio gini yang baru diumumkan Badan Pusat Statistik, menjadi justifikasi valid. Maka itu, relaksasi PPnBM kendaraan bermotor perlu diimbangi insentif sejenis, yang langsung menyasar golongan masyarakat lapis bawah.
Insentif fiskal untuk barang habis pakai, alih-alih barang tahan lama, seperti kendaraan roda empat, lebih cepat ‘ngefek’ pada perekonomian.
Bantuan langsung tunai, perlindungan sosial, subsidi upah pekerja sedikit-banyak menahan mereka masuk jurang kemiskinan. Insentif fiskal untuk barang habis pakai, alih-alih barang tahan lama, seperti kendaraan roda empat, lebih cepat ‘ngefek’ pada perekonomian.
Alhasil, upaya menumbuhkan kembali kegiatan ekonomi lewat insentif fiskal, baik melalui sisi produsen maupun konsumen, tidak bisa dilakukan parsial, tetapi memperhatikan keseluruhan ekosistemnya.
Desain insentif fiskal yang mempertimbangkan skala prioritas dan keberimbangan antaraspek akan lebih efektif. Akhirnya, semua pemangku kepentingan tinggal menggantungkan asa pada suksesnya vaksinasi dan disiplin masyarakat menjalani protokol kesehatan.
Kekebalan komunitas, niscaya menjadi titik tolak pergerakan kembali manusia dan perekonomian makro. Bukan begitu?
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.