Nasional
Otsus Papua Dinilai Belum Efektif
Otsus Papua masih jauh dari efektif. Terutama untuk menyentuh orang asli Papua.
JAKARTA -- Akademisi Universitas Papua (Unipa), Agus Sumule, menilai, pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua masih jauh dari efektif. Terutama untuk menyentuh orang asli Papua (OAP). Meskipun, Otsus Papua sudah berlangsung selama 20 tahun.
"Walaupun ada banyak kemajuan, tapi jelas dia masih jauh dari efektif," kata Agus dalam diskusi Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik LP3ES secara daring, Senin (15/2). Agus mengatakan, kemajuan hanya terlihat di kawasan ibu kota provinsi, kabupaten, dan kota. Sementara di kampung masih jauh dari memadai. "Padahal, OAP (orang asli Papua) di situ, bukan di kota, kebanyakan di kampung-kampung," ujarnya.
Selain itu, Agus juga menyoroti persoalan pendidikan di Papua yang masih harus ditingkatkan. Ia mengakui pembangunan sekolah memang mengalami penambahan. Namun, masih ada sekitar 250 ribu penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah. Agus mengatakan, ada empat program yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan pendidikan.
Pertama, menambah jumlah dan mutu guru. Kedua, menyelenggarakan sekolah sepanjang hari. Ketiga, menyediakan fasilitas pendukung sekolah, dan yang keempat pendidikan remedial. Selain itu migrasi yang masuk dalam jumlah yang sangat besar juga mengakibatkan proses marginalisasi OAP semakin cepat. Ia juga melihat ketergantungan Papua terhadap dana transfer sangat besar.
Dr Adriana Elisabeth tentang Otonomi Khusus Papua.(Istimewa)
Apabila dana otsus berhenti, hal tersebut akan menghantam Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat dengan luar biasa. Hal itu karena kontribusi dua persen dari dana alokasi umum nasional tersebut lebih dari 50 persen APBD. "Kemandirian fiskal yang adalah prasyarat suatu daerah otonom masih jauh dari harapan," ungkapnya.
Akademisi Universitas Cenderawasih, Elvira Rumkabu, mengatakan, ada beberapa indikator yang menunjukkan Otsus Papua belum efektif. Dalam konteks resolusi konflik, negara gagal dalam upaya memitigasi konflik di Papua. Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua masih rendah dan tingginya angka kematian ibu melahirkan dan balita di Papua.
"Angka kematian balita itu mencapai 109 per seribu. jadi ada 109 kematian per seribu kelahiran,” ujarnya.
Elvira menilai, semangat otonomi khusus juga seharusnya ada perhatian terhadap masyarakat adat. Namun, yang terjadi masyarakat adat justru menjadi bagian yang paling tersisih dalam program-program pembangunan.
Ia juga menyinggung soal pembangunan berbasis tujuh wilayah adat yang kerap disampaikan Presiden Joko Widodo, tetapi sampai saat ini dirinya tidak memahami apa yang dimaksud dengan pembangunan berbasis tujuh wilayah adat.
Ia menuturkan, proses lahirnya otsus di Papua dengan di Aceh berbeda. UU Otonomi Khusus Aceh lahir dari sebuah perjanjian damai yang muncul dari negosiasi politik antara aktor signifikan yang memang berkonflik. Sementara di Papua, memang lahir dari tuntutan merdeka tapi dia tidak muncul proses negosiasi formal yang mendudukan semua pihak yang berkonflik.
Selain itu, menurut dia, perbedaan antara otsus yang ada di Papua dengan otsus di Aceh, yaitu tidak didasari adanya kesetaraan. Ada kesepakatan dalam proses MoU Helsinki bahwa kedua pihak dalam posisi setara
"Kesetaraan itu dari awal tidak ada dan kesetaraan yang tidak ada itu sangat mempengaruhi bagaimana 20 tahun implementasi otsus itu dari proses yang memang tidak setara sejak awal," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.