Terdakwa kasus penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Pinangki Sirna Malasari bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2) | Republika/Putra M Akbar

Nasional

Pinangki Dihukum 10 Tahun

Hakim menegaskan, tuntutan jaksa terhadap Pinangki terlalu rendah.

JAKARTA -- Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari. Tak hanya pidana badan, Pinangki juga dihukum membayar denda Rp 600 juta dalam kasus suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat pembebasan Djoko Sugiarto Tjandra.

"Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp 600 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan kurungan selama enam bulan," kata hakim Ignasius Eko Purwanto saat membacakan amar putusan, Senin (8/2). 

Majelis hakim menilai Pinangki terbukti menerima suap 500 ribu dolar AS dari 1 juta dolar AS yang dijanjikan oleh terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Majelis hakim juga menilai Pinangki terbukti melakukan pemufakatan jahat dan pencucian uang atas uang suap yang diterimanya dari Djoko Tjandra.

photo
Terdakwa kasus penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Pinangki Sirna Malasari bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2). Pinangki Sirna Malasari divonis bersalah dengan hukuman sepuluh tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan. - (Republika/Putra M. Akbar)

"Menyatakan Pinangki Sirna Malasari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi seperti didakwakan dalam dakwaan kesatu subsider, dan pencucian uang sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua, dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan ketiga subsider," kata hakim Eko.

Vonis terhadap mantan kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung itu lebih tinggi daripada tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Pinangki dengan pasal berlapis.

Pertama, Pinangki menerima suap 500 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra. Dakwaan kedua, Pinangki dinilai terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp 5.253.905.036. 

Dakwaan ketiga, Pinangki dinilai terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Tujuannya untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra selaku terpidana kasus cessie Bank Bali dengan cara meminta fatwa MA melalui Kejaksaan Agung. Pinangki pun dituntut dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta.  

Hakim Eko mengungkapkan, sejumlah pertimbangan dalam putusan Pinangki. Hakim menyatakan, tuntutan yang dimohonkan oleh jaksa terlalu rendah. 

"Bahwa memperhatikan hal-hal tersebut, serta mengingat tujuan dari pemidanaan bukan pemberian nestapa, melainkan bersifat preventif, edukatif, dan korektif, maka tuntutan yang dimohonkan penuntut umum terlalu rendah. Sedangkan, pidana yang dijatuhkan terhadap diri terdakwa dalam amar putusan dipandang laik dan adil serta sesuai dengan kesalahan terdakwa," kata Eko. 

Majelis hakim menilai ada sejumlah hal memberatkan yang membuat Pinangki harus dihukum lebih berat. Pertama, Pinangki adalah pejabat di Kejakgung yang justru membantu Djoko Tjandra menghindari hukuman dalam perkara korupsi Rp 94 miliar. Selama menjalani persidangan pun Pinangki dinilai terus menyangkal dan menutupi keterlibatan pihak lain dalam perkara ini. 

Meski begitu, Pinangki merupakan ibu dari seorang anak. "Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan punya anak berusia empat tahun," kata hakim.

Pinangki sebelumnya menegaskan tidak pernah mengkhianati institusi kejaksaan. Hal tersebut ia sampaikan dalam pledoi yang ia bacakan pada Rabu (20/1/2021). "Rasa kebanggaan dan segenap syukur kepada institusi kejaksaan tersebut selalu terpatri dalam diri sehingga tidak mungkin bagi saya untuk mengkhianati institusi kejaksaan yang sangat saya cintai ini dengan cara menghindarkan seorang buronan untuk dilakukan eksekusi," ujar Pinangki. 

Vonis lebih tinggi terhadap Pinangki setidaknya menjawab tuntutan para pegiat antikorupsi yang menilai tuntutan dalam skandal Djoko Tjandra terkesan tidak serius. Sebelum sidang vonis digelar, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak majelis hakim untuk menjatuhkan vonis maksimal selama 20 tahun penjara kepada Pinangki. 

"Jika hakim menjatuhkan vonis ringan atau sekadar mengikuti tuntutan jaksa maka dapat dikatakan institusi kekuasaan kehakiman tidak serius dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, hal tersebut juga akan berimbas pada penurunan kepercayaan publik pada pengadilan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Senin (8/2). 

Nyanyian Napoleon yang tak Disambut

Terdakwa perkara dugaan suap penghapusan red notice, Irjen Napoleon Bonaparte, tidak hentinya ingin meyakinkan hakim adanya pihak lain yang bertanggung jawab dalam skandal Djoko Sugiarto Tjandra. Dalam persidangan kemarin, Napoleon kembali mengajukan sebuah rekaman yang disebut percakapan antara dirinya dengan Tommy Sumardi saat berada di sel tahanan.

Namun, 'nyanyian' Napoleon itu tidak disambut mulus.

photo
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menunggu waktu sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2/2021). - (Republika/Putra M. Akbar)

Rekaman itu disebut merupakan bukti fakta terkait perkara suap penghapusan daftar buron Djoko Tjandra yang menjerat dirinya, Brigjen Prasetijo Utomo, dan pengusaha Tommy Sumardi. "Ya, ada (pertemuan dengan Tommy Sumardi pada 14 Oktober 2020)," kata Napoleon dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/2).

Soal pertemuan itu ditanyakan oleh pengacara Napoleon, Santrawan T Paparang, dalam sidang pemeriksaan terdakwa. Santrawan pun meminta izin kepada majelis hakim untuk mendengarkan dan melihat rekaman itu. Namun, jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung langsung menyelak dengan mempertanyakan sumber bukti rekaman tersebut.

"Mohon izin yang mulia, barangkali dijelaskan terlebih dahulu bagaimana bisa mendapatkan rekaman tersebut dan segala macam. Sesuai dengan Perma," kata Jaksa Erianto. Jaksa menilai cara Napoleon mendapat rekaman itu dilakukan secara ilegal dan tak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma).

Padahal, rekaman tersebut diklaim kubu Napoleon sebagai bukti fakta terkait perkara suap penghapusan red notice yang sedang dipersidangkan. "Maksud dari pertanyaan kami yang mulia, ketika putusan Perma Nomor 20 Tahun 2016 terkait informasi atau dukungan elektronik sebagai barang bukti, maka harus dipastikan dan diperiksa terlebih dahulu," terang jaksa.

Pengacara Napoleon menjelaskan, percakapan antara Napoleon dan Tommy direkam saat mereka berada dalam sel tahanan. "Kondisinya kami jelaskan, pada tanggal 14 Oktoer 2020, terdakwa berada di dalam tahanan, Tommy Sumardi berada di dalam tahanan, dan Irjen Prasetijo juga berada di dalam tahanan," terang Santrawan.

Hanya saja tak dijelaskan secara rinci soal asal-usul rekaman tersebut. Pun tak disampaikan apakah rekaman itu berkaitan dengan perkara dugaan suap penghapusan red notice atau tidak.

"Makanya mohon izin, untuk melakukan penilaian, kami rasa saudara jaksa penuntut umum tidak bisa menilai, makanya kami serahkan kepada yang mulia, karena ini adalah fakta. Persoalan diterima atau tidak kami serahkam kepada yang mulia," sambung Santrawan.

photo
Terdakwa selaku perantara pemberian suap dari Djoko Tjandra, Tommy Sumardi, menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (29/12/2020). Tommy Sumardi divonis dengan hukuman pidana dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan. - (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Namun, jaksa tetap bersikukuh menolak rekaman percakapan ketiga terdakwa diperdengarkan di ruang sidang. Ketua majelis hakim, Muhammad Damish, kemudian memutuskan tidak memutar rekaman tersebut. "Bagaimana kalau diserahkan ke majelis hakim agar didengar dan dianalisis," kata hakim Damis.

Dalam perkara ini, Irjen Napoleon Bonaparte didakwa menerima suap sebesar 200 ribu dolar AS dan 270 ribu dolar AS. Suap diberikan agar menghapus nama Djoko Tjandra dari red notice Interpol Polri karena saat itu Djoko masih berstatus DPO dalam kasus hak tagih Bank Bali.

Usai persidangan, Santrawan mengungkapkan isi dalam rekaman percakapan tersebut sangatlah sensitif. Pihaknya berjanji akan menguraikannya dalam nota pembelaan atau pledoi. "Terlalu sensitif isinya," kata dia kepada Republika

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat