Mujadid
KH Ahmad Rifai Arief, Ulama Santun Pendidik Umat
KH Ahmad Rifai Arief adalah Ulama dari Kampung Pasir Gintung. Dia sukses mendirikan banyak pondok pesantren.
Untuk merintis sebuah pondok pesantren, seseorang perlu berikhtiar dan melalui upaya yang tidak mudah. Bila lebih dari satu lembaga didirikannya, tentu kerja keras yang dilaluinya luar biasa.
Itulah yang dialami KH Ahmad Rifa’i Arief. Ulama dari Tangerang, Banten, tersebut berhasil mendirikan empat lembaga pendidikan Islam sekaligus. Keempatnya adalah Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Pondok Pesantren La Tansa, Pondok Pesantren Sakinah La Lahwa, serta Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi/Sekolah Tinggi Agama Islam (STIE/STAI) La Tansa Mashiro.
Ahmad Rifa’i Arief merupakan putra sulung dari pasangan Haji Qasad Mansyur bin Markai Mansyur dan Hajjah Hindun Masthufah binti Rubama. Di Kampung Pasir Gintung, Jayanti, Tangerang, Haji Qasad dikenal sebagai seorang mubaligh.
Sehari-hari, suami Hj Hindun itu bekerja selaku guru agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah Masyariqul Anwar. Dengan latar keluarga demikian, Ahmad sejak kecil tumbuh dalam lingkungan yang islami.
Di rumahnya, ia lebih sering dipanggil dengan sapaan sayang, “Lilip.” Kelak ketika dewasa, masyarakat setempat pun memanggilnya dengan sebutan itu, yakni Abah Lilip. Ia memiliki tiga orang adik laki-laki serta empat orang adik perempuan. Secara berturut-turut, seluruh adiknya adalah Umrah, Dhofiah, Farihah, Huwaenah, Ahmad Syahiduddin, Nahrul Ilmi Arief, dan Odhi Rosikhuddin. Di mata mereka, ia merupakan sosok teladan.
Pendidikan dasar ditempuhnya di Sekolah Rakyat (SR) Kampung Sumur Bandung, Balaraja—nama Jayanti tempo dulu. Proses belajar di SR tersebut dijalaninya hanya selama tiga tahun. Sebab, ayahnya kemudian memindahkannya ke MI Masyariqul Anwar.
Mungkin, alasan kepindahannya itu agar Rifa’i kecil dapat langsung diajarkannya, terutama dalam hal pendidikan agama Islam. Bagaimanapun, Haji Qasad sendiri menginginkan supaya putranya itu mendapatkan bimbingan dari KH Syihabudin Makmun, seorang dai terkemuka yang masih berkerabat dengannya.
Pada 1958, Rifa’i akhirnya lulus dari MI tersebut. Ayahnya ingin agar dirinya meneruskan studi di lembaga pendidikan Islam yang bercorak modern. Mau tidak mau, keinginan ini berarti merantau. Sebab, di Banten saat itu belum ada pesantren yang menawarkan cara belajar modern.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, Haji Qasad pun mendaftarkan anaknya itu ke Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Kurikulum yang dipakai tidak hanya menyajikan ilmu-ilmu agama, tetapi juga umum kepada para santri.
Mulanya, cukup banyak anggota keluarga besar yang menentang keputusan Haji Qasad untuk membawa Rifa’i ke Gontor. Beberapa mengeluhkan jauhnya jarak antara Ponorogo dan Tangerang. Sebagian yang lain merasa, masih banyak pondok-pondok pesantren di Banten yang cukup representatif atau sebanding dengan Gontor.
Bagaimanapun, keluhan-keluhan itu dapat dijawab Haji Qasad dengan bijaksana. Rifa’i pun memperoleh restu untuk berangkat menuju lembaga yang didirikan Trimurti ulama, yaitu KH Ahmad Sahal (1901-1977), KH Zainudin Fananie (1908-1967), dan KH Imam Zarkasyi (1910-1985).
Di Gontor, Rifa’i belajar dengan tekun. Guru-guru dan rekan-rekannya sesama santri kerap mengagumi disiplinnya dalam menuntut ilmu. Di antara kemahirannya adalah berpidato dan mengarang, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Selain itu, jiwa kepemimpinannya juga tampak terasah. Antara tahun 1965-1966, dirinya didaulat menjadi ketua organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang Gontor.
Pada masa kepemimpinannya di PII itu, Gontor sedang berbenah untuk mendirikan perguruan tinggi pesantren pertama di Indonesia. Momen peluncurannya sudah disiapkan. Beberapa santri setempat ditugaskan untuk menjemput para tamu undangan, yang terdiri atas sejumlah duta besar negara-negara sahabat, menteri-menteri pemerintahan, gubernur, dan alim ulama. Rifa’i bertindak selaku ketua panitia acara penyambutan ini.
Pada 1965, Rifa’i dinyatakan lulus. Para kiai Gontor kemudian mengangkatnya sebagai guru atau ustaz. Tugasnya sehari-hari tidak hanya mengajar para santri di kelas. Sebab, dirinya juga diminta untuk menjadi sekretaris pribadi gurunya, KH Imam Zarkasyi.
Tugas yang dipikulnya cukup berat seperti menjadwalkan kegiatan pimpinan, membuat konsep-konsep kebijakan pondok, menyunting bahan-bahan ceramah, dan lain sebagainya. Namun, semua itu dikerjakannya dengan ringan hati dan cermat. Alhasil, wawasannya kian luas, reputasinya di mata para kiai pun semakin bersinar.
Sekitar dua tahun lamanya Rifa’i mengabdi di almamaternya. Sesudah itu, ia pun kembali ke kampung halamannya. Demi memenuhi keinginan kedua orang tuanya, sang pemuda saleh ini mengamalkan ilmu dan pengalamannya selama di Gontor kepada masyarakat.
Namun, hal itu dilakukan tidak secara seketika. Sebab, dirinya masih memerlukan beberapa penyesuaian. Seperti diketahui, metode pendidikan di Gontor tidak cukup marak mengajarkan kitab-kitab klasik. Padahal, umumnya pesantren di Banten melakukan cara tersebut.
Karena itu, Rifa’i tidak langsung memimpin atau mendirikan sebuah pondok pesantren, sebagaimana yang didambakan ayah dan ibunya. Mula-mula, ia mengasah kemampuannya dalam bertutur bahasa asing. Ia pun mendaftar pada Akademi Bahasa Asing (ABA) di Bandung, Jawa Barat.
Di luar itu, ia juga memanfaatkan waktu untuk mendalami kitab-kitab klasik. Dengan demikian, kelak dirinya benar-benar siap ketika diminta mengasuh sebuah pesantren.
Beberapa bulan kemudian, Haji Qasad memanggil pulang putra sulungnya itu. Rupanya, Rifa’i diajaknya untuk turut merumuskan rencana pendirian pondok pesantren. Ada beberapa tokoh lokal yang duduk bersama. Mereka membahas sistem, metode pembelajaran, dan pengajaran yang akan dijalankan di pesantren tersebut.
Mengamalkan ilmu
Hasil pertemuan itu menyepakati, lembaga pendidikan yang akan dirintis ini mengambil model Pondok Modern Darussalam Gontor. Pada saat yang sama, sistem klasikal pun tetap dipakai. Seluruh hadirin pertemuan itu lantas mematangkan berbagai persiapan. Akhirnya, berdirilah Madrasah al-Mu’allimin al-Islamiyah (MMI) yang sepaket dengan Pondok Pesantren Daar el-Qolam. Tepat pada 20 Januari 1968, kegiatan belajar-mengajar dimulai untuk pertama kalinya di sana.
Para tetua setempat menunjuk KH Ahmad Rifa’i sebagai pengasuh MMI-Pesantren Daar el-Qolam. Pada tahap awal, banyak tantangan dihadapinya. Tak sedikit warga yang menyuarakan pesimisme terhadap sistem yang diaplikasikan lembaga tersebut.
MMI-Daar el-Qolam mengharuskan seluruh peserta didik untuk menggunakan bahasa Indonesia. Kiai Rifa’i pun diledek hendak memindahkan Jakarta ke Pasir Gintung. Sewaktu kewajiban mempelajari bahasa Inggris diterapkan, malahan ada yang menuding sang kiai muda sebagai sesat. Secara salah kaprah, mereka mengutip hadis Nabi SAW, “Barangsiapa yang mengikuti suatu kaum, maka ia termasuk ke dalamnya.”
Padahal, yang diajarkan MMI-Daar el-Qolam hanyalah pengusaan bahasa asing. Dengan penuh kesabaran, Kiai Rifa’i terus mendidik para santrinya dengan sistem pengajaran yang sudah dicanangkan. Terhadap para pengkritik, ia pun selalu bersikap santun dan lemah lembut. Hasil kerja kerasnya kian tampak pada akhir 1970-an. Jumlah peserta didik di lembaga tersebut kian banyak. Mereka datang dari banyak daerah, termasuk Jakarta, Bandung, Karawang, dan Bekasi.
Reputasi Kiai Rifa’i terus berkibar. Atas dasar itu, pihak kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Serang menerimanya sebagai mahasiswa. Padahal, dirinya tidak memegang ijazah SMA dari Gontor karena memang pondok pesantren itu tidak mengeluarkan dokumen resmi demikian. Selama menempuh studi pendidikan tinggi, ia tidak mengalami kesulitan berarti. Pasalnya, banyak materi yang diajarkan di sana sudah diselaminya selama //mondok// di Ponorogo maupun Banten.
Di tengah kesibukannya itu, Kiai Rifa’i tetap menjaga silaturahim dengan guru-gurunya, seperti KH Imam Zarkasyi atau KH Abdul Wahab Afif di Serang. Namanya kian dikenal figur-figur nasional, termasuk tokoh Masyumi Mohammad Natsir. Pak Natsir membidani lahirnya forum komunikasi pimpinan-pimpinan pesantren, yakni Rabithah Maretahid al-Islamiyah (RMI).
Dalam sebuah kesempatan, perdana menteri pertama RI itu terkesan dengan perkembangan MMI-Daar el-Qolam. Melalui RMI, ia membantu Kiai Rifa’i untuk mendapatkan bantuan sebesar Rp 64 juta dari Kerajaan Arab Saudi. Jumlah tersebut sangat besar nilainya pada waktu itu. Dana yang ada dipakai seluruhnya untuk membangun berbagai fasilitas penunjang pendidikan. Akhirnya, makin banyak santri berdatangan dari pelbagai wilayah Indonesia dan bahkan mencanegara untuk menuntut ilmu di sana.
Semangat berkiprah di dunia pendidikan
Walaupun sudah cukup sukses dengan Madrasah al-Mu’allimin al-Islamiyah (MMI) dan Pondok Pesantren Daar el-Qolam, KH Ahmad Rifa’i Arief masih bervisi mendirikan beberapa lembaga pendidikan Islam lainnya. Menurut ulama asal Kampung Pasir Gintung, Tangerang, Banten, ini, semakin banyak sekolah, kaum Muslimin pun lebih merasakan manfaat pencerahan.
Pada 1989, ia mendapatkan lahan seluas kira-kira 13 hektare di kawasan Parakansantri, Lebakgedong, Lebak, Banten. Di sana, alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor ini merintis institusi baru, yang dinamakannya Pondok Pesantren La Tansa Mashira. Nama itu terinspirasi dari surah al-Qasas ayat 77, sehingga maknanya adalah “tetaplah fokus pada akhirat, tetapi jangan melupakan dunia.”
Kepeduliannya pada dunia pendidikan tidak berhenti sampai di situ. Pada akhir 1993, Kiai Rifa’i melebarkan sayar pesantren dengan adanya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi/Sekolah Tinggi Agama Islam (STIE/STAI) La Tansa Mashiro. Dengan begitu, para santri setempat dapat meneruskan studi hingga ke jenjang pendidikan tinggi.
Kira-kira dua tahun kemudian, putra pasangan H Qasad dan Hj Hindun ini merintis pesantren baru lagi. Kali ini, lokasinya terletak di dekat pantai Pandeglang, Banten. Lembaga itu kemudian dinamakan sebagai Pondok Pesantren Wisata La Lahwa. Nama tersebut bermakna “para santri jangan lalai dengan dunia.” Disebut sebagai “pesantren wisata” karena beberapa vila kecil dan resor didirikan di sana. Tujuannya agar pondok itu tidak hanya sebagai tempat untuk menikmati keindahan alam, tetapi juga mentadaburi keagungan ciptaan Allah SWT.
Pondok-pondok pesantren yang didirikan Kiai Rifa’i sering dikunjungi banyak tokoh, baik dalam skala nasional maupun internasional. Di antara tamu yang pernah menyambangi tempat-tempat itu adalah delegasi dari Universitas al-Azhar Kairo (Mesir), menteri agama Malaysia pada 1995, dan jajaran kabinet Presiden Soeharto pada 1990-an.
Selama tiga dasawarsa sang kiai mengasuh keempat lembaga pendidikan Islam tersebut. Sebagai upaya regenerasi dan kaderisasi, ia pun menempatkan adik-adiknya sebagai penanggung jawab keberlangsungan pondok-pondok pesantre itu.
Pernah dirinya mengutarakan di hadapan seluruh santri, “Walaupun saya mati, pondok-pondok pesantren ini tidak boleh mati. Harus tetap hidup dengan sistemnya, bukan sosok kiainya.” Nasihat itu seperti menjadi wasiatnya menjelang tutup usia.
Pada 14 Juni 1997, Kiai Rifa’i ditemukan seorang putranya dalam keadaan pingsan di atas sajadah shalat. Ulama tersebut segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Para dokter menyatakan, mubaligh ini terkena serangan jantung dan harus menjalani perawatan medis.
Namun, kondisinya terus menurun. Dua hari kemudian, tepatnya pada 16 Juni 1997 dokter mengatakan bahwa Kiai Rifa’i telah meninggal dunia. Kabar tersebut kemudian tersiar luas melalui televisi dan media massa nasional.
Dengan penuh kedukaan, lautan manusia mengiringi proses pemakaman jenazahnya. Sepeninggalan almarhum, sejumlah karib keluarga-terdekat meneruskan amanah dalam mengasuh empat lembaga pendidikan yang telah dirintisnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.