Tema Utama
Nahdlatul Ulama Menjawab Tantangan Masa Kini
Nahdlatul Ulama selalu berkomitmen dalam menjaga dan menyebarkan paham Aswaja.
Sejak awal, Nahdlatul Ulama (NU) berdiri dengan mengusung nilai-nilai Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja). Paham tersebut berbasis pada tradisi keilmuan silsilah sanadiyah dan bermazhab.
Secara khusus, sang perintis jam’iyah ini Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari telah merumuskan pemikirannya mengenai Aswaja dalam kitab Qanun Asasi dan I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Keduanya lantas diejawantahkan sebagai Khittah NU, yang menjadi rujukan seluruh Nahdliyin dalam berpikir dan bertindak, baik di ranah keagamaan, sosial, maupun politik.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Said Aqil Siroj mengatakan, ciri utama Aswaja ala NU adalah moderat (wasathiyah). Karakteristik itu kemudian memiliki berbagai derivasi, yakni antara lain toleransi (tasamuh), seimbang (tawazun), dan tegak lurus (i’tidal). Dapat disimpulkan, warga Nahdliyin memiliki sifat yang akomodatif dan terbuka, serta pada saat yang bersamaan juga tegak lurus dan tegas.
Pada hari ini, Ahad (31/1), NU genap berusia 95 tahun. Menurut Rais Syuriah PBNU KH Muh Musthofa Aqil Siroj, organisasi tersebut akan selalu komitmen dalam menjaga dua amanah Mbah Hasyim Asy’ari, yakni Aswaja dan kebangsaan. Antara keduanya tak dapat dipisahkan karena merupakan suatu keutuhan.
“NU tetap komitmen dalam memperjuangkan himayatu ad-daulah wa himayatu ad-din, menjaga negeri dan menjaga agama,” ujar Kiai Musthofa Aqil kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, ini menjelaskan, Aswaja menjadi tumpuan dalam menyebarkan sifat Islam, rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). Karena itu, lanjut dia, para ulama Nusantara sejak dahulu tidak pernah mendoktrin para santrinya untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam berdakwah. Yang selalu diutamakan adalah akhlak yang baik dan menciptakan persatuan.
Pada era kini, berbagai tantangan mesti dihadapi para penjaga Aswaja di Nusantara. Sebagai contoh, adanya paham-paham transnasional yang memiliki kecenderungan ekstrem dan takfiri. Kiai Musthofa mengatakan, jangan sampai kelompok-kelompok tersebut dibiarkan sehingga dapat menciptakan kegaduhan di Tanah Air.
“Kalau ada kegaduhan, kita tidak aman, dan kalau tidak aman, lalu bagaimana akan melaksanakan ibadah dengan tenang?” ucap sosok penasihat Panglima TNI ini.
Katib Syuriah PBNU KH Mujib Qulyubi menekankan, tantangan zaman kini lebih “berat” karena pesatnya perkembangan teknologi informasi. Tak sedikit orang yang terbuai belajar agama secara mandiri melalui konten-konten di internet yang dapat diaksesnya. Padahal, dalam tradisi Aswaja, menuntut ilmu-ilmu agama haruslah dengan sanad keilmuan yang jelas.
“Kalau tidak berguru kepada ulama langsung, itu yang berbahaya. Berusaha memahami Islam dengan tidak pakai sanad, tidak pakai guru, maka akhirnya pemahaman yang didapat itu sepotong-potong. Inilah tantangan besar Aswaja saat ini,” ucap Kiai Mujib.
Dalam menjawab persoalan tersebut, NU tidak bisa menafikan kemajuan teknologi. Justru, yang mesti dilakukannya adalah memanfaatkan teknologi itu untuk lebih menyebarluaskan paham Aswaja. Tidak hanya di Indonesia, melainkan juga dunia internasional.
Untuk itu, warga Nahdliyin diharapkan lebih kreatif lagi dalam menyuguhkan konten-konten dakwah yang menarik sekaligus berisi. Menurut data yang diterima Republika, ada sekitar 23 ribu pesantren yang berafiliasi dengan NU. Bahkan, jam’iyah ini telah melebarkan kiprahnya hingga ke dunia pendidikan tinggi. Tercatat, sebanyak 248 universitas berdiri di bawah bendera NU.
Semua pesantren dan kampus itu, sambung Kiai Mujib, hendaknya menjadi motor penggerak dakwah Aswaja. Dengan demikian, pesan-pesannya lebih bisa menyasar generasi milenial, Generasi X, dan Generasi Z.
Ketua Umum Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU KH Abdul Ghaffar Rozin meyakini, adaptasi menjadi kunci kemajuan dunia pesantren saat ini. Tidak ada alasan bagi generasi Nahdliyin untuk menjadi jumud di tengah gegap-gempita perubahan. Di satu sisi, kemampuan mendayagunakan dan bahkan menciptakan teknologi mesti dikuasai. Di sisi lain, tradisi sebagaimana diwariskan ulama-ulama Nusantara dahulu tetap dijaga sebaik-baiknya.
“Kontekstualisasi adalah kunci dari strategi pertama ini,” ujar sosok yang akrab disapa Gus Rozin ini.
Hadir untuk negeri
NU tidak hanya mengisi peran dalam dunia dakwah dan pendidikan, tetapi juga ekonomi dan kesehatan. Seperti diketahui, tahun 2020 lalu menjadi masa yang penuh ujian bagi Indonesia. Pandemi Covid-19 telah berdampak pada banyak sektor. Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini mengatakan, NU sejak awal merebaknya epidemi tersebut turut berperan aktif mengatasinya.
Melalui Satuan Tugas (Satgas) NU Peduli Covid-19, bantuan dan dukungan diberikan kepada berbagai kalangan, khususnya masyarakat yang paling terdampak. “Satgas kami hadir dan tersebar di seluruh Indonesia,” ujar Helmy kepada Republika baru-baru ini.
Hingga tulisan ini dibuat, sekitar Rp 278 miliar donasi telah disalurkan Satgas NU Peduli Covid-19 kepada orang-orang yang membutuhkan. Jumlah penerima manfaat tercatat sebanyak 60 juta orang. Adapun dana bantuan itu berasal dari warga Nahdliyin, masyarakat umum, ataupun swasta. Pihaknya juga terus memberikan pendampingan dan penanganan terhadap pesantren-pesantren dan masjid-masjid di penjuru Tanah Air agar tangguh dalam menghadapi pandemi.
Sudah hampir setahun Indonesia berurusan dengan pandemi. Bagi Helmi, banyak hikmah yang bisa dipetik dari masa-masa yang cukup berat ini. Bukan hanya tentang menerapkan gaya hidup sehat, sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Covid-19 pun telah “mengingatkan” seluruh elemen bangsa agar selalu mendekatkan diri kepada Allah. “Penyadaran diri bahwa sesungguhnya kita semua lemah hingga Allah memberikan kepada kita kekuatan,” ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.